Arbitrase sebagai Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal

Arbitrase sebagai Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal – Penanaman modal oleh sebuah negara atau korporasi dilakukan atas dasar perjanjian. Sebagai ajang tempat bertemunya banyak kepentingan yang berbeda, kegiatan penanaman modal tidak jarang menimbulkan sengketa. Oleh karena itu, para pihak yang melakukan kesepakatan penanaman modal selalu membekali diri dengan ketentuan tentang penyelesaian sengketa yang akan dijadikan dasar penyelesaian apabila di kemudian hari terjadi sengketa baik sengketa administratif, sengketa hukum maupun sengketa teknis.

Sengketa penanaman modal bisa terjadi antar negara, negara dengan subyek hukum bukan negara, subyek hukum bukan negara satu sama lain serta antara investor dengan masyarakat setempat. Penyelesaian sengketa penanaman modal dapat dilakukan melalui berbagai cara baik melalui proses ajudikasi, non-ajudikasi atau gabungan antara ajudikasi dan non-ajudikasi. Arbitrase merupakan proses penyelesaian dengan cara ajudikasi sebagaimana halnya litigasi. Menurut UNCTAD, reformasi sistem dalam negeri dan mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal merupakan salah satu bentuk kebijakan penanaman modal yang mempengaruhi arus investasi.

UNCTAD mencotohkan salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh negara misalnya Bahrain membentuk dua pengadilan khusus yang masing-masing menangani masalah perdagangan dan penyelesaian sengketa penanaman modal. Penyusunan undang-undang arbitrase juga merupakan salah satu bentuk kebijakan peanaman modal yang memberikan kerangka hukum yang komprehensif baik untuk arbitrase domestik maupun abitrase internasional.

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa melalui proses pemeriksaan dan pengambilan putusan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter dari lembaga arbitrase, baik oleh lembaga arbitrase yang berlingkup nasional maupun internasional, demikian pula lembaga arbitrase yang bersifat permanent maupun sementara (ad-hoc). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Arbitrase menjadi pilihan cara penyelesaian sengketa khususnya oleh pihak asing yang melakukan perjanjian karena beberapa alasan. Pertama, pada umunya pihak asing kurang mengenal system tata hukum negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektifitas pengadilan setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terlibat unsur asing. Ketiga, pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan pengadilan negara berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala internasional. Keempat, timbulnya dugaan dan kesan, penyelesaian sengketa melalui jalur formal lembaga peradilan memakan waktu yang lama.

Para pihak dalam sebuah perjanjianjuga memilih arbitrase karena proses yang cepat, terjamin kerahasiaanya, ditangani oleh arbiter atau wasit yang ahli di bidangnya, sehingga sengketanya dapat diputuskan menurut keadilan dan kepatutan. Senada dengan alasan-alasan tersebut, Priyatna Abdurrasyid, menyatakan bahwa arbitrase banyak dipilih karena beberapa alasan yaitu :

  1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiternya sendiri dan untuk ini tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai memiliki integritas, kejujura, keahlian, dan profesionalisme di bidangnya masing-masing dan sama sekali tidak mewakili pihak yang memilihnya. Ia seorang yang independen dan bukan penasehat hukumnya;
  2. Proses majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki;
  3. Putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak merupakan putusan final dan mengikat para pihak bagi sengketanya. Lain lagi dengan putusan pengadilan yang terbuka bagi peninjauan yang memakan waktu lama;
  4. Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya biasanya cepat, dengan biaya terukur serta jauh lebih rendah dari biayabiaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan;
  5. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable), memberi kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa.

Para pihak yang memilih penyelesaian melalui arbitrase juga dapat memilih apakah akan menggunakan arbitrase ad hoc atau arbitrase terlembaga. Baik arbitrase ad hoc maupun arbitrse terlembaga sama-sama memiliki kelebihan. Kelebihan arbitrase ad hoc yang pertama adalah fleksibilitas. Dengan fleksibilitas ini, prosedur arbitrase ad hoc dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Kedua, kelebihan yang dimiliki arbitrase ad hoc ada pada biaya yang harus dibayar dan jangka waktu penyelesaian sengketa. Dengan memilih arbitrase ad hoc para pihak tidak perlu membayar biaya administrasi sebagaimana yang dikenakan oleh sebagian besar lembaga arbitrase dan juga waktu yang dihabiskan untuk prosedur internal seperti pemilihan arbiter, pengarsipan dokumen, dan (sebagaimana yang berlaku di ICC) prosedur penentuan kerangka acuan dan peninjauan putusan.

Tiadanya prosedur internal seperti ini bisa mempersingkat waktu penyelesaian sengketa. Sementara kelebihan utama dari arbitrase terlembaga adalah dalam hal perancangan persetujuan arbitrase. Dengan memilih arbitrase ad hoc para pihak tidak perlu lagi merancang kesepakatan arbitrase tetapi dapat menggunakan peraturan lembaga yang dirancang oleh para professional di bidang komersial dan sudah teruji oleh waktu.

Kedua, pemilihan arbiter. Arbitrase terlembaga lebih unggul dalam hal pemilihan arbiter. Sangat mungkin terjadi dalam arbitrase ad hoc para pihak memilih orang yang sama untuk menjadi arbiter tanpa harus menggunakan jasa arbitrase terlembaga. Namun, dalam banyak hal, pada arbitrase ad hoc, sangat sulit bagi para pihak untuk mencapai kata sepakat tentang arbiter yang dipilih karena rendahnya tingkat kepercayaan pada masing-masing pihak sehingga penunjukan arbiter independen yang dilakukan oleh sebuah lembaga yang netral dapat mempermudah proses pembentukan majelis arbitrase. Arbitrase terlembaga juga memiliki wasit administratif yang bertugas untuk memastikan bahwa semua arbiter, termasuk arbiter yang ditunjuk para pihak, benar-benar independen. Lembaga memiliki kewenangan untuk mengganti arbiter yang tidak disetujui oleh salah satu pihak.

Ketiga, arbitrase terlembaga memiliki sekretariat dan staf profesional yang siap membantu para pihak yang bersengketa dalam proses arbitrase di antaranya melayani permintaan untuk arbitrase dan menjawab surat-surat, memproses penentuan biaya, mengingatkan para pihak tentang waktu memberikan tanggapan, memilih arbiter, dan lain-lain.

Keempat, arbitrase terlembaga telah semakin diakui oleh lembaga peradilan nasional. Secara umum pengadilan nasional menjadi lebih berterima untuk mengakui putusan di bidang perdagangan apabila ada semacam jaminan bahwa sebuah badan yang netral seperti lembaga arbitrase secara adil telah menyelesaikan kontroversi baik mengenai prosedur beracara maupun persoalan substansi yang muncul selama pelaksanaan arbitrase.

Kelima, adanya prosedur yang dimiliki oleh lembaga arbitrase untuk meneruskan pemeriksaan tanpa kehadiran salah satu pihak apabila pihak tersebut telah dipanggil secara patut dan arbiter yakin bahwa panggilan telah diberikan dan telah diterima namun para pihak tidak hadir tanpa alasan yang sah. Dalam hal demikian, pemeriksaan arbitrase yang dilakukan dianggap telah dihadiri oleh para pihak. Prosedur seperti ini sangat penting apabila pihak yang tidak hadir adalah pemerintah suatu negara atau lembaga yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara. Pengadilan yang akan menguatkan putusan arbitrase yang prosesnya tidak dihadiri oleh salah satu pihak tersebut (default award) juga lebih yakin apabila putusan itu dikeluarkan oleh arbitrase terlembaga.

Dalam perjanjian penanaman modal para pihak atau setidaknya pihak pemberi modal biasanya menuntut agar perjanjian yang dibuat memuat klausula arbitrase yang tunduk pada Convention on the Settlement of Investment Dispute Between States and National of Other States yang tunduk pada ketentuan ICSID. Indonesia sendiri bahkan telah pernah menjadi pihak dalam sengketa penanaman modal yang diputus melalui mekanisme ICSID seperti perkara Nusa Tenggara Partnership B.V. and PT Newmont Nusa Tenggara v. Republic of Indonsia, Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia, Cemex Asia Holdings Ltd v. Republic of Indonesia dan Amco Asia Corporation and Others v. Republic of Indonesia.

Categories:

Tinggalkan Balasan