PROSES BERACARA DALAM HUKUM ACARA PIDANA
5 min readHukum Acara Pidana Indonesia adalah serangkaian kaidah, prosedur, dan peraturan hukum yang mengatur pelaksanaan hukum pidana pada tata hukum positif yang berlaku di Indonesia. Istilah hukum acara pidana merupakan terjemahan dari strafvordering didalam Bahasa Belanda. Dalam kaitannya dengan hukum pidana, hukum acara pidana adalah hukum pidana formal yang berfungsi menjalankan hukum pidana substantif. Berdasarkan buku yang ditulis Wirjono Prodjodikoro dengan judul Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Hukum acara pidana formal mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
Berbeda dengan KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang kita miliki merupakan karya agung Bangsa Indonesia. KUHAP adalah hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana yang berisi bagaimana cara untuk menegakkan hukum pidana materiil. Tegasnya, KUHAP berisi tata cara atau proses terhadap seseorang yang melanggar hukum pidana.
Pada dasarnya proses pertama dalam hukum acara pidana dimulai dari penyelidikan kemudian penyidikan, penuntutan, putusan hakim. Dalam penyelidikan yang bertugas untuk melakukannya adalah Kepolisian Republik Indonesia. Akan tetapi, dalam Penyidikan yang memiliki wewenang adalah Kepolisian Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Kemudian untuk tahap penuntutan berada dalam wewenang Kejaksaan Republik Indonesia dan terakhir untuk putusan terhadap suatu tindak pidana berada dalam wewenang hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
A. Penyelidikan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan pengertian diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa penyelidikan bertujuan untuk menyatakan apakah suatu perbuatan itu digolongkan ke dalam suatu tindak pidana atau bukan.
B. Penyidikan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, dapat juga ditarik kesimpulan bahwa penyidikan itu merupakan suatu tindakan lanjutan dari penyelidikan dimana sudah dapat ditentukan bahwa perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana.
C. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (vide Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penuntutan merupakan suatu rangkaian tindakan setelah adanya penyelidikan dan penyidikan.
Setelah Penuntut Umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka ia akan segera mempelajarinya dan menelitinya serta dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Apabila dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara kepada Penuntut Umum.
D. Putusan Hakim
Pada dasarnya putusan hakim dalam hukum acara pidana merupakan suatu bentuk keadilan tertinggi yang diberikan kepada terdakwa dan putusan tersebut dianggap benar serta memiliki kekuatan yang mengikat sepanjang tidak ada upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa terhadap putusan tersebut. Dalam hal hakim memutus suatu perkara pidana, maka ia harus berlandaskan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hakim juga dalam memutus suatu perkara pidana harus berlandaskan keyakinan dan alat bukti yang dihadirkan ke persidangan.
Dalam teori hukum pembuktian, sistem hukum di Indonesia menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental yaitu negatief wettelijk bewijstheorie yaitu dasar pembuktian hukum pidana dilakukan menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan batasan untuk hakim dalam menjatuhkan hukuman pemidanaan terhadap seseorang harus berdasarkan keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti. Adapun bunyi Pasal 183 KUHAP adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
E. Upaya Hukum
Pada hakikatnya dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal adanya upaya hukum yang dilakukan oleh Terdakwa ataupun Penuntut Umum apabila merasa keberatan dengan putusan hakim pengadilan tingkat I. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Upaya Hukum terdiri dari 2 yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa terdiri dari upaya hukum banding dan upaya hukum kasasi. Dalam hal Terdakwa atau Penuntut Umum tidak menerima putusan pengadilan tingkat I, dapat dilakukan upaya hukum banding sebagai upaya hukum pertama. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa upaya hukum banding tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum, serta putusan pengadilan dalam acara cepat. Adapun pengaturan mengenai upaya hukum banding tertuang dalam pasal 233 sampai dengan pasal 243 KUHAP. Dalam hal Terdakwa atau Penuntut Umum ingin melakukan upaya hukum banding, maka maksimal jangka pengajuan banding adalah 7 hari sejak putusan pengadilan tingkat I dibacakan oleh Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Upaya hukum selanjutnya adalah upaya hukum kasasi. Upaya hukum kasasi tertuang didalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 262 KUHAP. Jangka waktu pengajuan kasasi adalah maksimal 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan. Upaya hukum kasasi ini dilakukan apabila salah satu pihak tidak menerima putusan Pengadilan Tinggi. Terhadap putusan bebas, Penuntut Umum juga dapat melakukan upaya hukum kasasi.
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa merupakan tahap akhir dari segala upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali dapat diajukan terhadap putusan kasasi apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan yang nyata pada hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.