Quo Vadis Keterbukaan Informasi Publik
5 min readQuo Vadis Keterbukaan Informasi Publik – Enam tahun sudah negara ini memiliki regulasi nasional terkait terkait informasi publik yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaaan Informasi Publik (UU KIP). Secara filosofi dan prinsip-prinsip demokrasi sulit dibantah bahwa memang UU KIP sangatlah penting dan strategis dalam kehidupan bernegara. Regulasi yang mengatur mengenai akses publik merupakan suatu hal yang positif dalam suatu negara demokrasi yang mengharapkan tercapainya pemerintah dan pengolahan badan-badan publik yang memiliki keterbukaan kepada publik. Keterbukaan informasi publik membuat masyarakat dapat mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Penyelenggaraan kekuasaan dalam negara demokrasi harus setiap saat dapat dipertanggungjawabkan kembali kepada masyarakat. Akuntabilitas membawa ke tata pemerintahan yang baik yang bermuara pada jaminan hak asasi manusia (HAM).
Hak atas informasi berkaitan dengan hak sosial-politik (sipol) dimana kesepakatan mengenai hak sipol ini berlaku secara universal sehingga telah banyak negara yang menjamin serta mengatur hak atas informasi ini jauh sebelum pemerintah Indonesia mengundangkan UU KIP pada tahun 2008.
UU KIP efektif berlaku dua tahun setelah diundangkan yaitu 30 April 2010, namun kenyataannya hingga kini (empat tahun setelah masa efektif berlaku) masih banyak hal yang belum sesuai dengan UU KIP, dari mulai hal-hal formiil hingga substansial. Hal paling mendasar dan mudah untuk menduga bahwa UU KIP belum diimpelentasikan sepenuhnya adalah kenyataaan bahwa hingga saat ini dari 34 Provinsi di Indonesia baru 21 provinsi yang memiliki Komisi Informasi Provinsi, padahal UU KIP mengamanatkan pembentukan Komisi Informasi Provinsi di seluruh Provinsi di Indonesia. Belum terpenuhinya salah satu amanat UU KIP ini tak sekedar dianggap ketidakpatuhan kepada undang-undang namun dapat berimplikasi kepada esensi dan semangat UU KIP secara keseluruhan, karena pembentukan Komisi Informasi Provinsi ini penting untuk mendorong, sosialisasi, serta penyelesaian sengketa mengenai informasi antara masyarakat dan badan publik. Salah satu fungsi khas dan pembeda yang dimiliki oleh Komisi Informasi jika dibandingkan institusi lain yang berkaitan dengan informasi adalah kewenangan Komisi Informasi untuk menerima aduan masyarakat dan menyelesaikan sengketa informasi melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.
Salah satu faktor penentu terbentuknya Komisi Informasi Provinsi adalah good will dari kepala daerah, karena memang pembiayaan operasionalnya bergantung pada APBD, hal terkait ketidakmampuan anggaran ini pula yang dijadikan alasan ketika suatu daerah tidak/belum membentuk Komisi Informasi Provinsi. Sebenarnya masalah keuangan ini bukanlah faktor utama dalam pembentukan komisi informasi, faktor pemimpin dan kemauan pemerintah daerah menjadi hal yang paling penting.
Sebagai contoh adalah provinsi DKI Jakarta yang secara keuangan dianggap mampu namun baru melantik Komisi Informasinya pada bulan Maret 2012, terlambat hampir 2 tahun dari waktu efektif berlakunya UU KIP, itupun setelah didesak oleh berbagai pihak. Ada kecenderungan sosialisasi mengenai UU KIP ini berjalan tidak merata. Di beberapa daerah keterbukaan informasi publik menjadi isu utama, sedangkan beberapa daerah lain belum belum menjadikan keterbukaan informasi dan partisipasi sebagai isu penting. Hal ini dapat terlihat dari beberapa daerah telah membentuk Komisi Informasi Provinsi sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, sedangkan yang lain belum. Ada juga beberapa daerah yang memiliki peraturan daerah terkait kebebasan informasi dan partisipasi publik sementara yang lain belum. Hasil penelitian yang dilakukan oleh puslitbang BPHN pada tahun 2013 menyatakan bahwa di daerah yang telah memiliki Komisi Informasi, keterbukaan informasi publik berjalan lebih baik dibanding daerah yang tidak/belum memiliki.
Namun apakah di daerah yang telah memiliki Komisi Informasi benar-benar terwujud keterbukaan informasi publik yang dicita-citakan? selama ini yang seringkali dijadikan indikator keberhasilan dan pemberitaan adalah jumlah pengaduan dan sengketa terkait informasi publik yang ditangani oleh Komisi Informasi Provinsi setempat karena dianggap kesadaran masyarakat terkait informasi publik telah meningkat dan sosialisasi berjalan baik, namun di sisi lain bisa juga tingkat pengaduan yang tinggi itu menunjukkan bahwa keterbukaan informasi publik di daerah tersebut tidak berjalan baik sehingga banyak badan publik yang diadukan ke Komisi Informasi.
Begitu pula sebaliknya, jumlah pengaduan yang rendah bukan berarti badan publik telah menjalankan keterbukaan informasi publik dengan baik, karena bisa juga permasalahannya ada pada kinerja Komisi Informasi yang tidak optimal sehingga tingkat kesadaran masyarakat terkait hak mereka atas informasi publik masih rendah.
Peranan dan Kesadaran Masyarakat
Hal yang dipandang sangat penting adalah dengan adanya penerapan UU KIP ini apakah daya kritis masyarakat atau publik terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan terutama pelayanan publik semakin meningkat dan apakah tingkat penilaian atau pengaduan masyarakat atau publik terhadap prosedur dan kualitas layanan informasi publik juga semakin meningkat?
Secara umum, Undang-Undang KIP diharapkan akan membangun keterbukaan informasi di lembaga pemerintah dan non pemerintah yang selama ini dianggap sulit dijangkau oleh masyarakat. Secara khusus, eksistensi regulasi mengenai keterbukaan informasi publik dapat mendorong suatu masyarakat menjadi lebih demokratis dengan memungkinkan adanya akses masyarakat terhadap informasi yang dimiliki pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun lembaga- lembaga publik lain seperti lembaga pendidikan dan lembaga kesehatan, misalnya rumah sakit. Oleh sebab itu, Undang-Undang KIP mendukung keterbukaan informasi di seluruh lembaga pemerintah dan non pemerintah yang terlibat dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Dilain pihak, satu hal yang memiliki korelasi erat dengan keterbukaan informasi adalah tentang pelayanan publik di negeri ini, salah satu masalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah tidak adanya keterbukaan dan transparansi mengenai informasi-informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Kultur masyarakat yang belum merasa keterbukaan informasi dan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah hak mereka yang dijamin oleh peraturan perundang- undangan. Sikap apatis, ketidakpahaman atau bahkan mungkin ketidaktahuan masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam mengakses pelayanan publik khususnya terkait informasi pun tercermin dari fakta bahwa pemohon informasi kepada badan publik ataupun pihak yang mengadukan sengketa informasi kepada Komisi Informasi ternyata adalah pihak-pihak yang itu-itu juga, dalam artian pihak yang sama melakukan permohonan dan pengaduan secara berulang meskipun yang diadukan adalah badan-badan publik yang berbeda.
Komisi Informasi hanya dapat menindaklanjuti aduan, karena meski masih banyak badan publik yang tidak melaksanakan UU KIP namun KI tetap tidak dapat bergerak jika tidak ada yang mengadukannya. Oleh karena itu dalam hal pengaduan dan jumlah pengaduan maka yang paling menentukan adalah inisiatif dari masyarakat di daerah itu sendiri, inisiatif ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat mengenai hak-hak mereka terkait informasi publik dan sejauh mana mereka mengetahui mekanisme untuk mengadu dan menuntut hak informasi tersebut, hingga kepada menyengketakannya.
Akses informasi ibarat jembatan menuju hak-hak lainnya seperti kesehatan, pendidikan dsb. Jika selama ini masyarakat banyak yang mengeluhkan buruknya pelayanan publik maka keterbukaan informasi publik merupakan bagian penting dari penyelenggaraan pelayanan publik itu, dan merupakan hak yang sangat penting dan strategis bagi warga negara untuk menuju akses terhadap hak-hak lainnya, karena bagaimana mungkin akan mendapatkan hak pendidikan, kesehatan, dan pelayanan lainnya dengan baik jika informasi yang diperoleh mengenai hak-hak tersebut tidaklah didapatkan secara tepat dan benar.
Seluruh masyarakat secara luas harus memahami dan mampu memberdayakan mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa informasi sebagai hak yang dijamin secara konstitusional dan diatur oleh undang-undang, sehingga pengaduan tidak hanya didominasi oleh sekelompok atau segelintir masyarakat tertentu seperti LSM. Sehingga pada akhirnya inisiatif masyarakat itu sendiri yang menjadi kunci terwujudnya keterbukaan informasi publik yang ideal di negeri ini, ketika masyarakat menggugat maka UU KIP menyediakan jalan untuk memperkarakan, sekalipun yang diperkarakan itu adalah negara.