PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH BAGI NON-MUSLIM
2 min readPerbankan syariah di Indonesia menganut sistem yang terbuka dan inklusif. Adapun Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU 21/2008) lebih menitikberatkan pada sistem perbankannya, yaitu perbankan syariah, dan juga berlaku dalam wilayah ekonomi syariah yang berjalan di atas prinsip-prinsip syariah. Definisi Bank Syariah tercantum di Pasal 1 angka 7 UU 21/2008 yang berbunyi:
“Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Sehingga subjek atau para pihak, baik sebagai nasabah, investor, atau pihak terafiliasi, tidak ditentukan secara khusus harus memeluk agama Islam. Misalnya syarat pendirian dan kepemilikan bank syariah, tidak disebutkan syarat harus memeluk agama Islam. Meskipun bank syariah dibangun oleh para pionir dari kalangan intelektual dan ekonom muslim, namun minat ke arah industri keuangan atau ekonomi syariah juga tidak dapat dilepaskan sebagai alternatif dari sistem ekonomi dan keuangan. Ringkasnya, pihak non-muslim terbuka peluang untuk terlibat dalam industri ekonomi syariah ini.
Sebagai konsekuensi dari sifat inklusif, siapa saja berpeluang terlibat dalam industri keuangan syariah secara umum, atau khususnya perbankan syariah. Sehingga, perlakuan yang sama diberikan kepada semua nasabah, tidak ada pembedaan atas dasar agama yang dianutnya, dan pembedaan lainnya. Oleh karenanya, akad-akad yang digunakan pada perbankan syariah adalah akad yang secara umum diterapkan kepada seluruh nasabah, termasuk nasabah non-muslim.
Ada beberapa hal yang membedakan antara nasabah non-muslim dengan nasabah muslim, seperti tata cara pelaksanaan dari akad dan pembiayaan. Namun prosedur yang dilaksanakan tetap menghormati kebebasan bergama dan berkeyakinan, misalnya pengucapan salam, basmalah, dan ikrar akad yang boleh jadi melibatkan hal-hal yang sifatnya agamawi. Namun secara umum tidak ada pembedaan dalam sebuah akad. Sebab akad syariah adalah akad yang memang dirancang untuk dapat dilakukan oleh siapa pun, sebagaimana asal muasal akad tersebut merupakan akad yang hidup dalam masyarakat, sehingga siapa saja melakukannya. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU 3/2006), disebutkan:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
- perkawinan;
- waris;
- wasiat;
- hibah;
- wakaf;
- zakat;
- infaq;
- shadaqah; dan
- ekonomi syari’ah.”
Mengenai tata cara penyelesaian perkara ekonomi syariah merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang sifat inklusif, siapa saja dapat bertransaksi sebagai pihak yang berkepentingan, utamanya adalah sebagai nasabah. Sehingga pihak selain yang beragama Islam, jika terlibat dalam sengketa ekonomi syariah harus diterima oleh Pengadilan Agama. Ini disebut dengan konsep penundukan diri seseorang dalam sistem hukum tertentu, seperti yang ditegaskan dalam bunyi Penjelasan Pasal 49 UU 3/2006, yaitu:
“Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.”
Jadi, siapa pun tidak memandang dari latar belakang agama, atas dasar asas penundukan diri tersebut, harus diterima dalam Pengadilan Agama. Sebab penyelesaian sengketa ekonomi syariah berada dalam kompetensi absolut Pengadilan Agama. (Tim Na/Ty)