AMBIGUITAS KEDUDUKAN HUKUM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA SEBAGAI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PRAKTIK KETATANEGARAAN INDONESIA
4 min readAMBIGUITAS KEDUDUKAN HUKUM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA SEBAGAI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PRAKTIK KETATANEGARAAN INDONESIA – Indonesia adalah negara yang melegitimasi urusan pemerintahanya berdasarkan aturan hukum. Hal ini termaktub dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini menjadi titik acuan bagi pemangku kebijakan untuk mengedepankan aspek hukum dalam merumuskan sebuah kebijakan. Hal ini berkorelasi jika kita telaah dari asas hukum administrasi Indonesia yang mengandung asas legalitas, dimana pejabat pemerintah hanya boleh menjalankan urusan pemerintahan jika hal tersebut telah diamanatkan oleh undang-undang.
Sebuah polemik pun muncul saat pemangku kebijakan mengeluarkan sebuah produk hukum berupa Surat Keputusan Bersama. Hal ini bisa kita telik bersama dari berbagai Surat Keputusan Bersama yang dikeluarkan pemerintah untuk “menetapkan” hal-hal tertentu. Adapun beberapa surat keputusan Bersama yang dikeluarkan seperti Surat Keputusan Bersama Penguatan Wawasan Kebangsaan bagi Aparatur Sipil Negara, Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah, serta masih banyak lagi.
Sejenak kita bisa mengenyampingkan hal-hal bersifat substansial yang tengah menjadi dialektika di tengah masyarakat. Ini dikarenakan permasalahan substansial adalah hal yang bersifat perspektif dan subjektif, hingga dialektika yang terjadi pun akan kompleks dan beririsan dengan variabel yang kompleks pula. Sebuah permasalahan yang krusial justru timbul berkaitan dengan legalitas produk hukum ini dan sudah sepantasnya perlu dilakukan kajian secara sistematis agar prinsip dasar negara Indonesia dalam melakukan urusan kenegaraan tidak terkikis.
Jika kita membahas legalitas sebuah produk hukum, kiblat yang paling tepat untuk dijadikan titik acuan adalah Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan telah dijelaskan secara gamblang pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berisikan : ”Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Polemik pun timbul ketika kita menilik pasal 8 ayat (1) dan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pasal ini mengindikasikan bahwa Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang dikategorikan sebagai peraturan yang disebutkan di dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Peraturan ini diakui keberadaannya mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Secara teoritik, Pemangku kebijakan dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat mengeluarkan produk hukum berupa Ketetapan (Beschikking) dan Peraturan (Regeling). Suatu penetapan (beschikking) sifat normanya adalah individual, konkret dan sekali selesai (einmahlig), sedangkan norma dari suatu peraturan perundang-undangan selalu bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus-menerus (dauerhaftig), (Maria: 2019). Hal ini menjadi paradigma tersendiri jika kita melihat dari penamaan Surat Keputusan Bersama yang berupa sebuah Ketetapan (Beschikking) namun di dalamnya justru bermuatan (Regeling). Materi yang terkandung di dalam Surat Keputusan Bersama seakan abstrak, dan dapat berlaku terus menerus mengindikasikan adanya anomali yang terdapat di dalam kebijakan yang dibuat oleh Pejabat Pemerintahan ini.
Para ahli hukum masih terus melakukan kajian dan perdebatan berkaitan dengan legalitas Surat Keputusan Bersama ini. Hingga pada akhirnya para ahli hukum sepakat untuk mengkategorikan Surat Keputusan Bersama kedalam kategori Aturan Kebijakan (Beleidsregel). Beleidsregel
Secara Nomenklatur Peraturan Perundang-Undangan, kita mengetahui bahwasanya Indonesia memiliki mahkamah yang memiliki kompetensi absolut untuk menguji peraturan atau kebijakan yang terindikasi adanya sebuah kecacatan materil dan/atau formil di dalamnya. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 47 jo Pasal 50 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama yang dalam hal ini objek sengketa TUN adalah KTUN (Beschikking). Secara eksplisit kita memiliki tiga lembaga kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk menguji peraturan dan kebijakan dari pejabat pemerintahan yang diindikasikan memiliki kecacatan baik itu bersifat materil maupun formil.
Namun masih menjadi sebuah pertanyaan besar jika kita menyandingkannya dengan aturan kebijakan (beleidsregel) yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang dalam hal ini adalah Surat Keputusan Bersama. Surat Keputusan Bersama masih memiliki kedudukan yang “abu-abu” dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh pemangku kebijakan akan menjadi absolut jika tidak memiliki lembaga yang bertugas untuk menguji peraturan tersebut. Kecacatan akan menjadi hal yang “tertolerir” dan kesewenangan akan menjadi sesuatu yang mengikutinya. Seorang pemikir hukum yang sangat mempengaruhi perkembangan hukum modern, Lord Acton pernah berkata “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Permasalahan ini akan terus menjadi polemik ditengah masayarakat jika tidak diiringi dengan sebuah tindakan konkrit oleh pemerintah. Tindakan yang dimaksud adalah Tindakan progresif untuk memperbaiki anomali-anomali yang terjadi. Perumus kebijakan harus dengan sigap menghilangkan “keabu-abuan” Surat Keputusan Bersama ini agar tidak menjadi celah bagi oknum-oknum yang ingin menguntungkan diri sendiri dengan menghadirkan sebuah peraturan yang tidak bisa diuji kedudukannya. Setidaknya solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memasukan frasa beleidsregel kedalam hirarki Peraturan Perundangan-Undangan. Hal lain yang bisa dilakukan berkaitan dengan ekspansi wewenang PTUN untuk menguji beleidsregel. Tindakan ini dilakukan untuk memberikan status yang jelas kepada Surat Keputusan Bersama dan agar Surat Keputusan Bersama bisa menjadi produk hukum yang bisa dipertanggungjawabkan jika memiliki kecacatan di dalamnya.