08/10/2024

KANTOR HUKUM NENGGALA ALUGORO

Konsultan Hukum Dan Bisnis

Pemasungan Terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan Dan Gangguan Jiwa Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-Undangan

8 min read

Pemasungan Terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan Dan Gangguan Jiwa Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-Undangan – Maraknya berita pemasungan salah seorang artis di Indonesia yang diduga mengidap masalah kejiwaan atau gangguan jiwa menyebabkan kontroversi di masyarakat. Pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa tersebut merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi dengan akan diundangkannya Undang-Undang tentang kesehatan jiwa yang telah disahkan dalam rapat paripurna tanggal 8 Juli 2014.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pasung adalah alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang, dipasangkan pd kaki, tangan, atau leher; sedangkan memasung artinya 1 membelenggu seseorang dng pasung; memasang pasung pd…; 2 memasukkan ke dl kurungan (penjara); 3 ki membatasi (menghambat) ruang gerak. Berdasarkan pengertian tersebut tentu saja pemasungan itu merampas kebebasan seseorang dengan perlakuan yang tidak manusiawi sehingga melanggar hak asasi manusia.

Pemasungan masih banyak terjadi hingga kini terhadap orang dengan gangguan jiwa, di Indonesia dinas kesehatan Purbalingga mencatat terdapat 14 orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa yang dipasung keluarganya. (Di Purbalingga Masih Ada Orang Gila yang Dipasung http://kotaperwira.com/di-purbalingga-masih-ada-orang-gila-yang-dipasung,). Pemasungan ini diyakini sejumlah

pihak bak fenomena gunung es. Pemasungan tidak hanya berupa membatasi gerak dengan mengikat dengan kayu dan rantai, dengan kayu atau mengubur, melainkan juga mengurung dalam kamar.

Pada laporan Paripurna pengesahan Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Menteri kesehatan, Nafsiah Mboi menyatakan bahwa berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, pada penduduk di atas usia 50 tahun dijumpai prevalensi Orang dengan Gangguan Jiwa Ringan (ODGJR) berjumlah 6% atau sekitar 16 juta orang. Sedangkan prevalensi Orang dengan Gangguan Jiwa Berat (ODGJB) 1,72 per seribu atau sekitar 400 ribu orang, 14,3% atau sekitar 57 ribu orang dengan Gangguan Jiwa Berat pernah dipasung oleh keluarga (Naskah Undang-Undang Kesehatan Jiwa disetujui

http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=NW.201407200002). Pemasungan tersebut terjadi karena penderita sering mengamuk dan     membahayakan  lingkungan       serta keluarga, selain itu juga disebabkan oleh minimnya pengetahuan keluarga tentang larangan pemasungan (18.000 penderita gangguan jiwa di http://www.antaranews.com/berita/359636/18000-penderita-gangguan-jiwa-di-indonesia-dipasung).

Dengan masih banyak terjadinya pemasungan di Indonesia, sebenarnya bagaimana pengaturan mengenai pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa di Indonesia.

Pemasungan Dalam Perundang-Undangan Indonesia

Pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945:

Pasal 28G ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

Ketentuan Pasal 28G ayat (2) tersebut menyatakan pemasungan merupakan salah satu bentuk penyiksaan karena orang yang dipasung dirampas kebebasannya dan merasakan sakit baik fisik maupun psikis kemudian Pasal 28I ayat (1) menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Ketentuan Pasal 28I tersebut lebih jelas lagi menguraikan tentang hak orang agar tidak disiksa dan tidak dirampas kemerdekaan pikiran dan hati nuraninya, dalam hal ini orang yang dipasung tentu saja merasa tersiksa dan terampas kemerdekaan pikiran dan hati nuraninya.

Jelaslah bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melindungi hak semua orang termasuk orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa.

Kemudian Pengaturan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia menyatakan:

“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 42 tersebut orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa dianggap sebagai cacat mental maka mereka berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya Negara, sehingga tidak seharusnya orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa dipasung.

Selanjutnya dalam Pasal 147, Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur juga mengenai hak bagi penderita gangguan jiwa:

Pasal 147:

(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita.

(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 147 menyatakan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab dalam melakukan upaya penyembuhan penderita gangguan jiwa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang ditempat yang tepat dan tetap menghormati hak asasi manusia. Pemasungan tentu saja bertentangan  dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 147 tersebut, tindakan pemasungan bukan merupakan upaya penyembuhan serta bukan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan tentu saja melanggar hak asasi manusia. Seharusnya untuk merawat penderita ganguan kesehatan jiwa digunakan fasilitas kesehatan khusus yang memenuhi syarat bukan dipasung.

Pasal 148 ayat (1):“Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.”

Berdasarkan pengaturan pasal tersebut, tersebut orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara sehingga bebas dari pemasungan.

Kemudian Pasal 149: “Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.”

Pasal 149 undang-Undang ini sebenarnya juga merupakan jawaban terhadap orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jwa yang seharusnya tidak dipasung tetapi wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Selanjutnya dapat dilihat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa, Rancangan Undang- Undang ini telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 8 Juli 2014 dan saat ini masih dalam proses penomoran di Sekretariat Negara:

Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa: Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat OMDK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami ganguan jiwa

Pasal 1 angka 3: Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGK adalah sesorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan fungsi sebagai manusia.

Undang-Undang tentang kesehatan jiwa membagi menjadi 2 (dua) kriteria yaitu ada orang dengan masalah kejiwaan (OMDK) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Pasal 3 huruf c menyatakan bahwa: Upaya kesehatan jiwa bertujuan memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi OMDK dan ODGJ berdasarkan hak asasi manusia; Pemasungan tentu saja bertentangan dengan Pasal 3 yang menentukan bahwa tujuan  upaya kesehatan  memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi OMDK dan ODGJ berdasarkan hak asasi manusia karena pemasungan jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, Pasal 7 huruf b : Upaya promotif kesehatan jiwa ditujukan untuk menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian dari masyarakat;

Pasal 7 huruf c: Upaya promotif kesehatan jiwa ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa;

Pasal 7 huruf b dan huruf c tersebut menjelaskan bahwa upaya promotif kesehatan jiwa diharapkan dapat menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ yang sering terjadi di masyarakat salah satunya dengan pemasungan.

Pemasungan juga terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kesehatan jiwa, dengan demikian sesuai dengan ketentun Pasal 7 huruf c tersebut bahwa upaya promotif kesehatan jwa untuk meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa`

Pasal 8 ayat (2) Upaya promotif dilingkungan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan pola komunikasi dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat. Pemasungan sering dilakukan oleh keluarga oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) seharusnya upaya promotif kesehatan jwa di lingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan pola komunikasi dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat.

Terkait dengan Pasal 8 tersebut adalah Pasal 13: Upaya preventif dilingkungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilaksanakan dalam bentuk:

a. pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa;

b. komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga; dan

c. kegiatan lain sesuai denan perkembangan masyarakat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 tersebut dapat diketahui bahwa selain upaya promotif, keluarga juga melakukan upaya prefentif dengan pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga.

Pasal 22: Dalam hal ODGJ dapat menunjukkan pikiran dan/atau prilaku yang membahayakan dirinya, orang lain, atau sekitarnya, maka tenaga kesehatan yang berwenang dapat melakukan tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap ODGJ sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk mengendalikan perilaku berbahaya.

Pasal 22 jelas menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang berwenang dapat melakukan tindakan medis atau pemberian obat sesuai standar pelayanan kesehatan jiwa terhadap ODGJ yang membahayakan dirinya, orang lain, atau sekitarnya tidak dengan memasung ODGJ.

Selanjutnya dalam Pasal 68 huruf b dan huruf c menyatakan bahwa OMDK berhak:

b. mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau;

c. mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa;

Pasal 70 huruf a dan huruf b menyatakan bahwa ODGJ berhak:

a. mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau:

b. mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa;

Sesuai dengan ketentuan Pasal 68 huruf b dan huruf c dan Pasal 70 huruf a dan huruf b, OMDK dan ODGJ seharusnya tidak dipasung karena OMDK dan ODGJ berhak mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau serta mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa.

Selanjutnya dalam Pasal 70 huruf f ODGJ berhak:

f. mendapatkan perlindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi

ketentuan pasal 70 huruf f menegaskan bahwa ODGJ berhak mendapatkan perlindungan terutama terhadap setiap bentuk penelantaran dan kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi, sehingga pemasungan bertentangan dengan Pasal ini.

Terhadap ODGJ yang terlantar dan menggelandang Undang-Undang kesehatan jiwa juga memberikan pengaturan dalam Pasal 81 yaitu:

Pasal 81

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan upaya rehabilitasi terhadap ODGJ terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.

(2) ODGJ terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ODGJ:

a.   tidak mampu;

b.   tidak mempunyai keluarga, wali atau pengampu; dan/atau

c.    tidak diketahui keluarganya.

Dengan adanya pengaturan dalam Pasal 81 ini maka ODGJ yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu   ketertiban dan/atau keamanan umum wajib untuk direhabilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pengaturan ini juga mencegah agar ODGJ tidak berkeliaran dan membahayakan orang lain ataupun diri ODGJ. Hal ini berlaku bagi ODGJ yang tidak mampu, tidak mempunyai keluarga, wali atau pengampu; dan/atau tidak diketahui keluarganya.

Mengenai ketentuan pidana bagi orang yang memasung OMDK dan ODGJ, Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan jiwa tidak mengatur secara rinci tetapi mendelegasikan ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 86 Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan jiwa:

Pasal 86: Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap OMDK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 86 tersebut, ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sanksi pidana bagi orang yang melakukan pemasunga terdapat dalam Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan:

(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka- luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.

Memasung berarti merampas kemerdekaan seseorang. Dengan telah jelasnya pengaturan sanksi terhadap pihak yang memasung dalam Pasal 333 KUHP ini maka seharusnya Pemerintah lebih tegas menindak pelaku pemasungan sehingga diharapkan tidak adanya lagi pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa.

Kesimpulan

Pemasungan bertentangan dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan karena pengaturan mengenai larangan pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jwa sebenarnya telah lengkap diatur dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia hanya penegakannya yang masih perlu ditingkatkan. Kemudian perlu adanya kerjasama masyarakat dengan pemerintah untuk menghindari terjadinya pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa yang seharusnya dilindungi.

Tinggalkan Balasan

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.