07/10/2024

KANTOR HUKUM NENGGALA ALUGORO

Konsultan Hukum Dan Bisnis

Problematika Penyelesaian Piutang BUMN Dalam Peraturan Perundang-undangan

6 min read

Problematika Penyelesaian Piutang BUMN Dalam Peraturan Perundang-undangan – Saat ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pengurusan piutang negara dan piutang daerah adalah Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Dalam Undang-Undang (UU) PUPN tersebut memberikan kewenangan kepada PUPN untuk melakukan pengurusan piutang instansi Pemerintah Pusat, instansi Pemerintah Daerah, lembaga-lembaga negara, dan badan-badan yang secara langsung maupun tidak langsung dikuasai negara (seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)). Hal tersebut sesuai dengan Pasal 8 UU PUPN, piutang negara didefinisikan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-Badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun.

Berdasarkan UU tersebut, seluruh institusi tersebut wajib menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada PUPN. PUPN dibentuk oleh Presiden dan bersifat interkementerian yang keanggotaannya terdiri dari beberapa unsur, yaitu pejabat Kementerian Keuangan, pejabat-pejabat Angkatan Perang dan pejabat-pejabat Pemerintah lainnya seperti Kejaksaan dan Bank Indonesia. PUPN bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Dalam perkembangannya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, PUPN Pusat beranggotakan wakil dari Kementerian Keuangan, wakil dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan wakil dari Kejaksaan Agung. Sementara itu, PUPN Cabang beranggotakan wakil dari Kementerian Keuangan, wakil dari Kepolisian Daerah, wakil dari Kejaksaan Tinggi, dan wakil dari Pemerintah Daerah.

Piutang BUMN dalam Peraturan Perundang-undangan

Pengertian keuangan negara dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah segala hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya, dalam Pasal 2 huruf g dijabarkan lebih lanjut bahwa keuangan negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Sesuai dengan ketentuan tersebut, dapat ditafsirkan bahwa kekayaan BUMN juga termasuk domain dari keuangan negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan (secara tidak langsung) bahwa piutang BUMN adalah termasuk piutang negara.

Tetapi ketentuan di atas menjadi kontradiktif dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yaitu dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN, disebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan pula bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam penjelasan atas Pasal 4 ayat (1) tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip- prinsip perusahaan yang sehat.

Dengan adanya penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut khususnya frasa “pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat” dapat diartikan bahwa pembinaan dan pengelolaan BUMN tunduk pada UU yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas, yang pada waktu itu masih berlaku adalah Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Sehingga, berdasarkan ketentuan dalam UU BUMN tersebut karena pembinaan dan pengelolaan BUMN tidak lagi didasarkan pada mekanisme APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, maka dapat ditafsirkan bahwa piutang BUMN terlepas dari sistem APBN dan berdampak piutang BUMN tidak dapat lagi disebut sebagai piutang negara sehingga tidak berlaku ketentuan di dalam UU PUPN.

Yang perlu menjadi perhatian, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, diundangkan dalam selisih hitungan bulan saja tetapi memuat rumusan pengaturan yang berbeda. Kondisi regulasi yang berbeda inilah yang membuat BUMN menjadi ragu peraturan perundang- undangan mana yang harus dijadikan dasar atau pedoman dalam penyelesaian piutang BUMN nya. Hal ini pun makin menjadi masalah dengan adanya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara diberikan batasan pengertian yang sama dengan UU PUPN terkait piutang negara dan piutang daerah, artinya ketentuan mengenai piutang BUMN menjadi bagian dari pengurusan piutang negara. Kemudian sebagai peraturan pelaksana dari UU Perbendaharaan Negara lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Dalam Bab V yang mengatur mengenai penghapusan piutang perusahaan negara/daerah yaitu Pasal 19 dan Pasal 20 yang menyatakan Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk di dalam pengertian Perusahaan Negara/Daerah antara lain adalah badan usaha yang dimiliki negara/daerah dan berbentuk Perseroan atau Perusahaan Umum. Dapat diartikan bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah ini piutang BUMN menjadi bagian dalam pengurusan piutang negara.

Dengan adanya problematika peraturan perundang-undangan dalam pengurusan penyelesaian piutang BUMN, munculah fatwa Mahkamah Agung mengenai piutang negara nomor: WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 yang menitikberatkan pada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005. Dalam fatwa tersebut dijelaskan mengenai kekayaan negara yang dipisahkan. Mahkamah Agung mengutip Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang menyebutkan modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sesuai bagian penjelasan, yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, melainkan pada prinsip- prinsip perusahaan yang sehat. Dengan kata lain, modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN. Fatwa tersebut membawa implikasi hukum terutama dalam penagihan kredit macet di BUMN. Berdasarkan fatwa, bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BTN, dan BRI, bisa menyelesaikan sendiri piutangnya melalui mekanisme korporasi. Fatwa MA juga mengesampingkan aturan kewajiban membayar piutang kepada negara yang terdapat dalam Pasal 8 UU PUPN.

Setelah munculnya fatwa Mahkamah agung tersebut kemudian lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah tersebut menghapus ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 sehingga tidak berlaku lagi. Kemudian dalam Pasal II diatur bahwa Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

a.Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.

b.Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara

c.q. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara tetap dilaksanakan berdasarkan Undang- Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.

Secara jelas ketentuan Pasal II merubah pengurusan piutang negara yang dapat ditafsirkan bahwa piutang macet milik perusahaan negara/daerah tidak lagi diurus oleh PUPN sebagaimana diatur dalam UU PUPN, melainkan dilakukan berdasarkan mekanisme korporasi pada umumnya.

Dari beberapa peraturan perundang-undangan di atas, problem yang muncul dalam pelaksanaannya akhirnya memperhatikan beberapa asas berlakunya undang-undang yang menyatakan bahwa undang-undang yang lebih baru mengalahkan undang-undang yang lebih lama (Lex posteriori derogat legi priori), undang-undang yang lebih khusus menyampingkan undang-undang yang lebih umum (Lex Specialis derogat

legi genaralis). Dengan tetap harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011

Dengan adanya problematika terhadap pengurusan penyelesaian piutang BUMN dalam peraturan perundang-undangan, kemudian pada tanggal 25 September 2012 diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi terkait uji materiil atas Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011. Pasal- pasal yang diuji dalam uji materiil tersebut antara lain Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 ayat (1). Dalam amar putusannya antara lain menyatakan bahwa frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1), frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4), frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8, serta frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat ditafsirkan bahwa PUPN tidak mempunyai wewenang lagi dalam pengurusan piutang BUMN karena seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan penyelesaian piutang BUMN ya dikembalikan kepada mekanisme korporasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berimpilkasi pro dan kontra dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian, kita harus menghormati Putusan tersebut dengan banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan antara lain bagi BUMN perlu membuat pedoman pengelolaan piutang atau kredit bermasalah yang efektif pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seharusnya membuat BUMN semakin yakin dalam melaksanakan pengelolaan piutang dengan memperhatikan manajemen risiko BUMN dan diharapkan tetap menjaga integritasnya

Selanjutnya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, seharusnya DPR dan Pemerintah dapat menyelesaikan revisi terhadap Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang pada periode DPR 2009-2014 telah dilakukan pembahasan atas revisi UU tersebut tetapi berhenti karena tidak adanya kesepahaman antara DPR dan Pemerintah. Diharapakan pula dengan adanya UU yang baru nanti dapat menjamin kepastian hukum dalam pengurusan piutang negara.

Tinggalkan Balasan

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.