Optimalisasi Pemberdayaan Konsumen Melalui Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen
6 min readOptimalisasi Pemberdayaan Konsumen Melalui Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen – Perlindungan Konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999) dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan, pengawasan, dan pendidikan bagi konsumen. Dasar pertimbangan dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu Pertama, pembangunan perekonomian nasional opada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen; kedua, semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar; ketiga, untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab.
Walaupun sudah diundangkan selama kurang lebih 15 (lima belas) tahun, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 belum efektif diberlakukan, terutama dalam mengatasi permasalahan di bidang pelayanan umum, seperti bidang industri pangan, transportasi umum, komunikasi, perbankan, perhubungan, dan lain-lain. Masih banyak kita temukan gugatan yang dilakukan oleh konsumen, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama- sama (class action) kepada pengusaha karena hak-hak konsumen dirugikan. Hal ini menunjukan masih terjadinya ketidakserasian antara kenyataan yang ada dan hal ideal yang dicita-citakan untuk melindungi konsumen. Dalam permasalahan tersebut kedudukan pelaku usaha dan konsumen cenderung tidak seimbang sehingga konsumen selalu berada dalam posisi yang lemah.
Kondisi demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi tersebut dapat mengakibatkan konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui promosi, cara penjualan, dan penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Perlindungan konsumen juga dituntut dengan adanya globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, yang telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara sehingga barang dan/jasa yang ditawarkan bervariasi, baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Bertepatan dengan ASEAN Economic Community (AEC) yang akan diberlakukan pada akhir tahun 2015, dapat dijadikan sarana untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat secara keseluruhan di kawasan ASEAN pada khususnya dan di pasar dunia pada umumnya. Negara ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, invenstasi, tenaga terampil, dan arus modal yg lebih bebas. Dengan terbentuknya pasar tunggal yang bebas tersebut akan membuka peluang Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya di kawasan ASEAN. Untuk itu, harus ada kesiapan Pemerintah
dalam memproteksi masuknya arus bebas barang dan jasa dari negara lain. Dalam hal ini konsumen juga harus mendapatkan pemahaman dan pemberdayaan secara optimal mengenai tata cara pemilihan produk barang dan jasa yang baik dan benar.
Dengan demikian upaya pemberdayaan konsumen sangat penting dilakukan karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, terutama yang berasal dari luar Indonesia. Hal ini mutlak diperlukan karena pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Jika dibiarkan tanpa kendali Pemerintah, prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemerintah harus menjamin piranti hukum yang melindungi konsumen, yang salah satunya dapat dilakukan melalui perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Perubahan ini tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan dan pemberdayaa konsumen dapat mendorong iklim usaha yang sehat yang mendorong lahirnya pelaku usaha yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 juga diharapkan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional, termasuk pembangunan di bidang ekonomi akan memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen sehingga tercipta optimalisasi pemberdayaan konsumen di masyarakat
Efektivitas Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, keberadaan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 belum mampu menjawab semua permasalahan terkait konsumen, terutama dalam hal perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan konsumen. Penyebab kelemahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dapat dilihat dari Undang- Undang itu sendiri, pengakan hukum, sarana dan prasarana pendukung, dan budaya hokum di masyarakat.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 masih mempunyai kelemahan dalam perumusannya sehingga menimbulkan multiintepretasi. Bahkan, terjadi tumpang tindih pengaturan materi muatan antara satu pasal dengan pasal lainnya. Beberapa kelemahan tersebut salah satunya dapat dilihat dari pengaturan mengenai klausula baku yang tidak jelas sehingga perlu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan klausula baku dan apa batasan dari kriteria baku tersebut. Misalnya apakah rumusan “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” dapat dikategorikan menjadi klausula baku atau tidak (Pasal 18 ayat (2));
materi muatan yang bertentangan misalnya, ketentuan Pasal 56 ayat (2) mengenai putusan BPSK yang masih bisa diajukan keberatan ke pengadilan tinggi padahal dalam Pasal 54 ayat (1) dan (3) disebutkan bahwa untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis dan putusan majelis bersifat final dan mengikat.
Kelemahan lain yang ditemukan dalam efektivitas pelaksanaan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 terkait dengan penegakan hukum. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya jumlah penegak hukum yang akan melakukan eksekusi terhadap pelanggaran yang dialami oleh konsumen dan dampaknya terhadap produsen yang melakukan ekspor terhadap produk yang dihasilkan. Penegak hukum yang berasal dari BPSK sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 hingga saat ini belum terbentuk di setiap provinsi, akibatnya jika timbul sengketa konsumen masih diselesaikan melalui pengadilan negeri bukan diselesaikan melalui BPSK.
Meskipun suatu Undang-Undang dibuat selengkap mungkin tetapi jika tidak ada sarana dan prasarana yang mendukung untuk pelaksanaannya, maka Undang-Undang tersebut maka tidak akan efektif. Sarana dan prasarana yang tidak mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, misalnya: kurangnya alokasi anggaran bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi program kegiatan terkait dengan perlindungan konsumen. Akibatnya, penyuluhan yang dilakukan oleh SKPD tidak secara rutin dan tidak dapat menjangkau seluruh pelosok kabupaten. Idealnya penyuluhan harus dilakukan secara rutin, khususnya kepada pelaku usaha industri rumah tangga agar dapat menjaga kualitas produknya untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Faktor lain yang turut menyebabkan belum efektifnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah kesadaran hukum masyarakat. Dalam hal ini masyarakat sebagai konsumen kurang aktif melaporkan kerugian yang dialaminya, bahkan terkesan tidak ingin melaporkanya kepada pihak yang berwenang. Alasan yang dikemukanan masyarakat sangat beragam, mulai dari tidak ingin mencemarkan nama baik pelaku usaha, posisi tawar masyarakat sebagai konsumen sangat lemah, kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat, budaya masyarakat yang masih enggan berhubungan dengan birokrasi bila melakukan pelaporan, dan masih terdapatnya tenggang rasa yang cukup tinggi sehingga tidak ada penuntutan kepada pelaku usaha yang merugikan kepentinganya.
Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Materi muatan lainnya yang harus disesuaikan apabila dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah ketentuan
Pasal 38 dan Pasal 39 mengenai pembinaan dan pengawasan. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan. Tentunya juga diselaraskan dengan usaha Pemerintah untuk menciptakan pemberdayaan konsumen dalam mengahdapi era globalisasi dan persaingan bebas.
Pembinaan perlindungan konsumen diselenggarakan oleh Pemerintah dalam upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen. Pembinaan terhadap pelaku usaha dan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di di masyarakat tidak hanya ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen, tetapi juga bermanfaat bagi pelaku usaha dalam upaya meningkatkan daya saing barang dan/atau jasa di pasar global.
Pembinaan dilakukan melalui upaya untuk menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; mengembangkan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; meningkatkan kualitas sumber daya manusia; dan meningkatkan kegiatan penelitian terkait dengan perlindungan konsumen. Sedangkan Pengawasan konsumen dilakukan melalui usaha bersama Pemerintah, masyarakat, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Pengawasan oleh Pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang/atau jasa; pencantuman label dan klausula baku; serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. Aspek pengawasan oleh Pemerintah dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan dan penjualan barang dan/atau jasa. Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar yang dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek
pengawasan oleh masyarakat dilakukan dalam bentuk pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang; pemasangan label dan klausula baku, tata cara pengiklanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pengawasan oleh LPKSM dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei. Aspek pengawasan oleh LPKSM, meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang; pemasangan label dan klausula baku; tata cara pengiklanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hasil pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat dan LPKSM dapat disebarluaskan agar konsumen semakin berhati-hati terhadap setiap produk barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsinya.