Indenpendensi OJK Terusik
7 min readIndenpendensi OJK Terusik – Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedikit mulai terusik dengan adanya pengajuan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi dalam Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014. Sebagaimana diketahui, tahun 2011 lalu dengan dibentuknya UU OJK telah melahirkan suatu lembaga yang independen yaitu OJK yang merupakan hasil dari suatu proses penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga- lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK terhadap bank-bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Independensi OJK mulai dipertanyakan, salah satunya terdapat dalam permohonan uji materiil yang diajukan oleh Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi. Dalam permohonannya dinyatakan bahwa frasa independen atau independensi hanya dikenal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) melalui ketentuan Pasal 23D yaitu “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang.” Independensinya hanya dikenal melalui turunan regulasi yang merujuk dan mengacu pada ketentuan Pasal 23D UUD Tahun 1945 yang menyatakan Bank Sentral independen tetapi OJK bukan turunan dan/atau lembaga operasional dari fungsi dan tugas Bank Sentral. Selanjutnya selain adanya pengajuan uji materiil UU OJK, persoalan lain yang muncul di awal lahirnya UU OJK adalah apakah OJK ini akan menjadi independen jika pungutan atau iuran ditetapkan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang diawasinya? Hal ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi independensi OJK yaitu karena adanya pembiayaan di OJK yang bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Trend lembaga independen
Salah satu trend yang berkembang saat ini adalah mendorong pemberian peran yang lebih besar kepada masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Kesemuanya ini diarahkan untuk mewujudkan checks and balances system dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, yang diaktualisasikan secara institusional dan disesuaikan dengan bidang-bidang kekuasaan negara. Artinya, pada setiap bidang kekuasaan negara yang sudah memiliki lembaga yang definitif secara struktural masih diperlukan lembaga lain yang bersifat independen dan berstatus ekstra struktural.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengetahui kebutuhan lembaga yang independen dan berstatus ekstra struktural adalah dengan memetakan kembali bidang kekuasaan negara mana yang membutuhkan peran lembaga di luar lembaga definitif yang telah ada dan kekuasaan negara mana yang tidak. Kegiatan pemetaan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi keberadaan “kelembagaan independen yang berstatus ekstra struktural pemerintah” dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan atau yang dikenal dengan istilah “lembaga independen”.
Beberapa bentuk perwujudan lembaga independen tersebut berupa komisi independen (state auxiliary agencies), lembaga/badan pengatur independen (independent regulatory body) atau Quangos (Quasi-autonomous non governmental organizations) yang dapat berbentuk komisi (agency/commision), badan (body) atau dewan (board). Lembaga independen umumnya bersifat membantu/menunjang pelaksanaan kekuasaan negara tertentu baik di bidang eksekutif.
Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur dirinya sendiri yang berkembang di berbagai negara. Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang- undang, dan kekuasaan kehakiman.
Independensi OJK dalam UU OJK
Independensi dapat dimaknai sebagai suatu yang tidak tergantung, bebas atau merdeka dari pengaruh lain, serta bukan bagian dari pemerintah. Sehingga lembaga yang independen merupakan lembaga yang bebas dari pengaruh atau intervensi dari lembaga lain. Namun dengan tetap dibatasi oleh prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.Independensi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (UU BI), yang menyatakan bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dinyatakan bahwa “(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi: (b) perintah suatu Undang- Undang untuk diatur dengan Undang- Undang”, merujuk ketentuan dalam UU P3 tersebut tidaklah menyalahi karena UU OJK merupakan pelaksanaan amanat UU BI yang dibentuk secara konstitusional.
Mengambil inti sari dari pernyataan Prof. Jimly Ashidiqqie dalam Rapat Dengar Pendapat Umum pembahasan RUU OJK tanggal 17 Oktober 2011, soal independensi ini memang harus dikaitkan dengan prinsip check and balance. Independensi itu tidak ada yang mutlak, yang paling mutlak itu adalah kekuasaan kehakiman. Dari seluruh lembaga-lembaga independen, lembaga kekuasaan kehakiman adalah lembaga yang paling independen, tetapi tetap diperlukan check and balances. Dari cara pandang tersebut, lembaga tersebut tidak mutlak independensinya termasuk BI tetap harus ada check and balances-nya, bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. OJK merupakan lembaga yang independensi fungsional. Fungsinya nanti adalah independen. Independensi fungsional dimaknai dalam independensi bahwa suatu lembaga bebas menentukan cara dan pelaksanaan dari instrumen kebijakan yang ditetapkannya yang dianggap penting untuk mencapai tujuannya.
Persoalan lainnya yang mempengaruhi independensi OJK adalah pembiayaan di OJK yang bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan (Pasal 34 an Pasal 37 UU OJK). Penetapan besaran pungutan itu dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pungutan atau iuran dikhawatirkan akan mengurangi independensi OJK.
Dalam Penjelasan Pasal 37 UU OJK dinyatakan yang dimaksud dengan “pungutan” antara lain pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai APBN. Pungutan OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi, dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan.
Dalam Pasal 23A UUD Tahun 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan Undang-Undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan. Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara.
Pembiayaan OJK berupa pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, pengaturannya juga telah dilakukan oleh peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang menyatakan bahwa bursa efek dapat mengenakan biaya pencatatan efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang diberikan. Biaya dan iuran tersebut digunakan untuk kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mengatur bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, juga mengenakan biaya bagi perizinan.
Pungutan yang dilakukan oleh OJK harus dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai bentuk akuntabilitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 38 Bab IX tentang Pelaporan dan Akuntabilitas UU OJK. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 38 UU OJK dinyatakan Laporan kegiatan yang disusun OJK antara lain memuat: pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada periode sebelumnya serta rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang akan datang. Penyampaian laporan OJK kepada Presiden dan DPR dimaksudkan untuk menjelaskan pelaksanaan kegiatan dan kinerja OJK selama tahun berjalan. Dengan adanya ketentuan mengenai pelaporan dan akuntabilitas dalam UU OJK artinya terdapat kontrol atau pengawasan oleh masyarakat melalui DPR dan adanya audit dari BPK.
Independensi tak berlaku mutlak
Apabila dilihat, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak). Begitu juga dengan OJK tidak mutlak sebagai lembaga yang independen. UU BI menegaskan di dalam Pasal 4 ayat (2) yaitu BI adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. UU BI tidak berlaku keindependensian BI secara murni sebab pasal ini merupakan pasal pengecualian. UU OJK juga mengatur ketentuan pengecualian di Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) terdapat pengecualian yaitu OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang- Undang ini.
Independensi BI dan OJK tidak diserahkan kepada kedua lembaga ini secara mutlak. Ketika misalnya bank berdampak sistemik, maka dapat dicegah dan ditangani melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), sebab kondisi ini dikategorikan tidak normal sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat (2) UU OJK yaitu dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Sehingga dengan masuknya Menteri Keuangan dalam unsur FKSSK, keindependensian OJK tidak mutlak. Ini yang menjadi dari maksud Pasal 2 ayat (2) UU OJK.
Dengan demikian, meskipun OJK lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak). Sifat independensi yang melekat pada OJK, sejalan dengan asas independensi yang melekat pada tugas dan kewenangan OJK yang diartikan yaitu independensi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa sifat indenpedensi pada OJK juga dibatasi dengan prinsip check and balances yang tercantum dalam pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas yang terdapat dalam Pasal 38 UU OJK. Sehingga indepedensi OJK tidak berlaku secara absolut atau mutlak.