Membangkitkan Budaya Nusantara Yang Anti Korupsi

Membangkitkan Budaya Nusantara Yang Anti Korupsi – Selama ini terdapat anggapan bahwa sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia sebagai akibat pemahaman bahwa korupsi adalah budaya bangsa. Pemahaman ini diperkuat dengan banyaknya kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum. KPK mencatat terdapat 10 Hakim,12 kepala lembaga atau kementerian, 4 duta besar, 7 komisioner, 10 gubernur, 35 Wali Kota atau Bupati, 114 pejabat eselon, 74 anggota DPR/DPRD yang ditangani KPK sepanjang 2007-2014. Bahkan data dari Kementerian Dalam Negeri tahun 2013 menunjukkan sebanyak 290 kepala daerah sudah berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana karena terbelit kasus. Di antara kasus tersebut sebanyak 251 orang kepala daerah atau sekitar 86,2 persen terjerat kasus korupsi.

Pemahaman bahwa korupsi adalah budaya bangsa berdasarkan data di atas perlu diluruskan dengan menunjukkan bahwa budaya bangsa Indonesia adalah anti terhadap korupsi. Pengakuan terhadap budaya nusantara ini tertuang dalam Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 (1) UUD 1945.

Untuk dapat memahami hal ini perlu ada pemahaman juga bahwa Indonesia adalah Negara yang bersifat pluralistik baik suku, budaya, bahasa, kepercayaan maupun agama. Mengingat sangat beragamnya budaya yang tersebar di Indonesia maka budaya nusantara harus diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat, dan membangun keadilan sosial.

Transformasi budaya nusantara ke dalam format pembangunan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, bersumber dari dua elemen penting: pertama, yang dihasilkan dari nilai-nilai agama; dan kedua, yang dihasilkan dari nilai-nilai adat.

Budaya nusantara yang bersumber dari nilai agama antara lain dapat dilihat dari pandangan Islam yang menyatakan bahwa: “Tindak Pidana Korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan zhalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyarakat miskin yang mereka peroleh dengan susah payah. Bahkan perbuatan tersebut berdampak sangat luas serta berdampak menambah kuantitas masyarakat miskin baru”. Pernyataan ini diperkuat Fatwa Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama dari kalangan NU di Asrama Haji Pondok Gede, Agustus 2002 yang mengemukakan bahwa:

(1) Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan penghianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya,  korupsi  dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), perampokan (nahb);

(2) Pengembalian uang korupsi tidak menggugurkan hukuman. Karena tuntutan hukuman merupakan hak Allah, sementara pengembalian uang korupsi ke Negara merupakan hak masyarakat (hak adamiy). Hukuman yang layak untuk koruptor adalah potong tangan sampai dengan hukuman mati;

(3) Money politics sebagai pemberian (berupa uang atau benda lain) untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif dalam pandangan syariat merupakan suap (risywah) yang dilaknat Allah, baik yang memberi (rasyi), yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raaisyi).

Dalam agama Kristen, korupsi juga sangat dilarang, karena:

(1) korupsi identik dengan mencuri sebagaimana disebutkan dalam larangan kedelapan 10 Perintah Tuhan;

(2) korupsi adalah perbuatan melanggar hukum (Roma13:3);

(3) korupsi adalah pengingkaran kepada Tuhan yang Maha Memelihara Umatnya, sebagaimana disebutkan dalam Timotius 6: 6: “adalah benar bahwa melayani Allah membuat orang menjadi sangat kaya jika mereka telah merasa puas dengan yang dimilikinya”, serta Matius  6: 25-26 “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yanghendak kamu pakai,” : (4) korupsi adalah tanda ketamakan manusia (Raja- raja 5: 1-27).

Larangan korupsi juga ditemukan dalam agama Buddha yang mengatakan: “tujuan hidup yaitu nirwana (puncak), manusia korup akan tak bahagia”, kemudian agama Hindu yang menyebutkan: “pemimpin korup tak akan hidup kembali, suap sebagai pintu masuk dosa, pendosa tak diakui oleh Tuhan dan kena karma”, serta Konfusianis yang menyatakan: ”pendidikan beretika, pengendalian diri, pemerintahan akan hancur bila rakyat sudah tak menaruh kepercayaan terhadapnya.”

Budaya nusantara yang bersumber dari nilai adat pun memperlihatkan bahwa perbuatan menerima manfaat hasil korupsi sebagai suatu perbuatan menikmati hasil kejahatan, bertentangan dengan norma hukum adat. Beberapa norma hukum adat tersebut di antaranya adalah Adat Suku Tengger, Adat Dayak Ngaju, Adat Suku Samin, Adat Suku Bugis, Adat Papua, serta Adat Jawa.

Suku Tengger memiliki petunjuk yang mengarah kepada keharmonisan dan kelestarian dalam persaudaraan, seperti yang terdapat  dalam lima petunjuk kesetiaan (sesanti pancasetia). Sesanti itu adalah taat dan hormat kepada adat (setya budaya), kata  harus  sesuai dengan perbuatan (setya wacana), selalu menepati janji (setya semaya), bertanggung jawab terhadap tugas (setya laksana) dan selalu membangun kesetiakawanan (setya mitra). Norma Hukum adat Dayak Ngaju melarang perbuatan mengambil manfaat dari hasil kejahatan yang dilakukan orang lain. Norma ini dikenal sebagai denda adat jual beli harang curian (Singer tadahan ramu).  Hukum  adat  Dayak Ngaju   juga mengenal norma hukum lain yang melarang menikmati hasil kejahatan ang dilakukan orang lain, yaitu disebut sebagai denda adat menyembunyikan harang curian (Singer pahaliman/milim takau). Sanksi perbuatan sedemikian  dapat diancam hukuman sebesar 15-30 kali ramu sambil mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya dan menanggung ongkos perkara adat setempat.

Adat Suku Samin orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau mengambil barang orang lain yang bukan haknya (petil jumput), tetapi juga tidak mau haknya dicuri (dimalingi). Suku Samin juga mengajarkan: “jangan dengki, berbuat jahat, iri hati, bertengkar, merampok, mencuri, dan menjambret, mengambil barang yang bukan miliknya, termasuk jika menemukan barang (Aja drengki srei, dahwen, kemeren, tukar padu, bedhog colong, begal kace aja dilakoni, apa maneh kutil jupuk, nemu wae emoh).”

Adat Suku Bugis melalui lontara’ Bugis sudah mengingatkan tentang bahaya korupsi. Pesan tersebut disampaikan lewat analogi tikus sebagai binatang yang paling mengganggu dan paling menjijikkan. Tikus digambarkan telah menggerogoti semua sumber kehidupan manusia. Tikus yang digambarkan merusak padi sebagai  sumber kehidupan mulai dari ketika padi masih di sawah, di tempat penyimpanan sampai setelah padi telah dimasak menjadi nasi. Begitu pula seorang koruptor menggerogoti sumber kehidupan masyarakat disemua sektor kehidupan mulai dari yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Korupsi juga tidak mengenal tempat, mulai dari lapangan (pungutan liar) hingga didalam ruangan. Tikus juga digambarkan sebagai binatang kecil yang lincah dan pergerakannya sulit diketahui sehingga sulit pula dicegah.

Dalam adat papua membunuh dan melarikan anak gadis orang memang dipandang sebagaikejahatan tetapi pelakunya mendapat apresiasi sebagai orang yang hebat oleh keluarga atau sukunya. Karena dianggap hebat maka keluarga atau sukunya rela mengumpul uang sebagai uang “tebus kepala” pada kasus pembunuhan yang akan dibayarkan kepada keluarga atau suku yang terbunuh. Tetapi dalam kasus pencurian, tak ada apresiasi kepada pelakunya sehingga pelaku harus menanggung sendiri perbuatannya. Ketika korupsi disamakan dengan mencuri maka secara adat papua para pelaku korupsi dipandang sebagai perbuatan tercela atau kejahatan yang tak diapresiasi sehingga pelakunya harus menanggung sendiri resikonya. Hal ini berbeda dengan kasus pembunuhan atau melarikan anak gadis orang. Dengan demikian korupsi menurut adat papua lebih tercela dibanding membunuh atau melarikan anak gadis. Dalam adat papua, pelaku pencurian dalam hal ini korupsi hukumnya adalah dipanah.

Adat Jawa terdapat ajaran kejawen, yang mengingatkan bahwa terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah- kaidah kemanusiaan, yakni; hawa nafsu (hawanepsu) dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu dan melepas pamrihnya. Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 (malima), yang terdiri dari: mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi (madat, madon, maling, mangan, main). Sedangkan bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif Kejawen:

(1) Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri;

(2) Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe;

(3) Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.

Budaya hukum yang berpijak pada budaya nusantara ini perlu dibangkitkan kembali bukan hanya di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan aparat penegak hukum (bureaucratic engineering). Hal ini penting mengingat bahwa penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, sangat bergantung pada seberapa kuatnya etika, integritas dan komitmen aparat penegak hukum itu sendiri. Jika pemahaman terhadap budaya nusantara ini sudah berhasil ditanamkan dalam mental setiap insan maka budaya anti korupsi akan terlahir selangkah lagi.

Categories:

Tinggalkan Balasan