Penegakkan Hukum Dalam Penanganan Konflik Terkait Agama

Penegakkan Hukum Dalam Penanganan Konflik Terkait Agama – Kasus Konflik Terkait Agama

Bangsa kita beberapa kali mengalami konflik sosial dengan pemicu sentimen agama. Hal ini ditunjukan dengan kejadian beberapa tahun terakhir di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Madura, Poso, Aceh dan kejadian terakhir yang terjadi di Tolikara, Papua.

Konflik terkait agama dapat bersumber dari perseteruan antar-umat beragama dan/atau inter-umat beragama, antar-suku, dan antar-etnis (lihat Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial/UU Penanganan Konflik Sosial). Konflik yang dimaksud dapat berupa perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial yang dapat mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

Konflik-konflik yang terkait agama tersebut sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, apabila tidak segera direspon dan ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang maka akan berpotensi untuk membesar menjadi konflik yang lebih luas skala dan tingkatannya, karena isu tentang suku, agama, dan ras sangat sensitif

dan bisa memicu orang untuk bertindak dan melakukan hal-hal yang di luar kendali bahkan melanggar hukum. Menurut Mada Zainal Abidin Bagir, konflik yang melibatkan atau menggunakan simbol-simbol agama dan berkaitan dengan umat beragama tidak sepenuhnya mengenai agama. Dalam laporan Center for Religious and Cross- cultural Studies (CRCS) mengenai Politik Lokal dan Konflik Keagamaan, semua konflik keagamaan yang dibahas menunjukkan ciri bertemunya kepentingan politik lokal dengan (manipulasi) simbol keagamaan. Setiap ada konflik yang melibatkan atau menggunakan simbol-simbol agama dan berkaitan dengan umat beragama hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa setiap konflik tidak pernah memiliki hanya satu sebab tunggal, tetapi memiliki banyak penyebab (http://nasional.republika.co.id/).

Jaminan Kebebasan Memeluk/Beribadat Menurut Agama/Kepercayaan

Salah satu tugas Negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, hal ini jelas diatur di dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Sebagai salah satu wujud dari perlindungan tersebut,  Negara melindungi sekaligus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama/kepercayaan masing- masing (lihat Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945). Jaminan tersebut mencakup juga hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga, hal ini secara tegas juga diatur diatur didalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

Sudah menjadi tugas dan kewajiban Negara untuk melakukan perlindungan bagi setiap warga negara atau penduduk, baik sesama pemeluk agama/kepercayaan atau antar umat beragama, sehingga mereka dapat hidup bersama dan berdampingan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jaminan kebebasan dan perlindungan oleh Negara tersebut bertujuan pula untuk menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya diantara pemeluk agama dan kepercayaan. Hal ini sebagai implementasi Sila Ke-Tiga Pancasila, yaitu sila Persatuan Indonesia, yang di dalamnya terkandung pula nilai kerukunan dalam  sistem  penyelenggaraan pemerintahan Negara yang mencita-citakan adanya tata kehidupan umat beragama yang berjalan dalam semangat persatuan dan kesatuan, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Penegakkan Hukum Dalam Konflik Terkait Agama

Negara memiliki sifat memaksa agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan dapat ditaati, penertiban masyarakat dapat terlaksana secara efektif, dan perilaku anarki dapat dicegah. Semua ini dapat terlaksana karena negara memiliki kekuasaan yang legal untuk menggunakan kekuatan fisik dengan menggunakan berbagai sarana yang dimiliki seperti kepolisian, kejaksaan, dan sistem peradilan (Umar Ma’ruf: 2013). Adapun usaha kongkret Negara untuk melindungi kemerdekaan setiap warga Negara untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing tersebut adalah dengan melakukan upaya penanganan konflik dan penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu terhadap tindakan-tindakan dari oknum atau segelintir orang yang telah melakukan tindakan kekerasan sehingga menimbulkan konflik terkait agama.

Penanganan konflik dilakukan melalui penghentian kekerasan fisik; penetapan status keadaan konflik; tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan/atau bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI (Pasal 12 UU Penanganan Konflik Sosial). Setelah konflik dapat ditangani, barulah dilakukan penindakan atau penegakan hukum melalui pengenaan pasal-pasal dalam KUHP terhadap pelaku, yaitu pengenaan delik yang berhubungan dengan agama dan menjadi pemicu adanya konflik. Adapun delik yang berhubungan dengan agama dalam KUHP diatur dalam Pasal 156a, Pasal 175, Pasal 176, dan Pasal 503 ayat (2) KUHP, yang meliputi perbuatan-perbuatan pertama, mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun (Pasal 156a); kedua, merintangi suatu pertemuan umum agama yang tidak terlarang, upacara agama atau upacara penguburan mayat, yang diancam pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan (Pasal 175); ketiga, mengganggu dengan mengadakan huru-hara membuat gaduh suatu pertemuan agama umum yang tidak terlarang atau upacara penguburan mayat, yang diancam dengan pidana denda Rp. 1.800,- (seribu delapan ratus rupiah) (Pasal 176); dan keempat, membuat riuh dekat rumah yang digunakan untuk melakukan ibadah yang tidak terlarang atau ketika orang sedang melakukan ibadah, yang dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) hari atau denda maksimal Rp. 225,- (dua ratus dua puluh lima rupiah) (Pasal 503 ayat (2)). Selain itu, diluar KUHP masih ada lagi peraturan yang dapat menjerat perbuatan yang dapat menimbulkan konflik antar agama, yaitu delik larangan menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu, yang bisa dipidana maksimal 5 (lima) tahun (Pasal 1 jo. Pasal 5 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama).

Isu-isu konflik  keagamaan  di Indonesia seperti isu  moral, sektarian, komunal, terorisme, politik, dan lain-lain bisa  diminimalisir dengan adanya pendekatan hukum yang tegas dan adil, pendidikan dan dakwah yang berdimensi pluralistik dan penuh kebijaksanaan, serta mengupayakan terciptanya keadilan dalam semua ranah kehidupan masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya maupun agama (Saidin Mansyur). Konflik yang terkait agama sangat rawan terjadi di Indonesia dan berpotensi menimbulkan jumlah korban yang tidak sedikit, selain dapat juga merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari suku, agama, dan ras yang sangat majemuk.

Untuk itu diperlukan suatu tindakan yang tegas dan tidak pandang bulu terhadap usaha-usaha untuk memperkeruh suasana apalagi menggunankan simbol- simbol agama. Untuk merespon hal tersebut, hendaknya pertama, dalam setiap penanganan konflik yang terkait dengan agama, penegak hukum dalam hal ini Polisi harus segera merespon dengan cara mengusut setiap kasus secara cepat, tegas, tanpa pandang bulu, dan tuntas, karena apabila penangannya berjalan lambat ekses yang ditimbulkan dapat merembet kesegala bidang; kedua, pihak-pihak yang terkait hendaknya mampu menjaga diri dengan tidak memperkeruh suasana. Indonesia dibangun salah satunya dengan berdasarkan pada Bhineka Tunggal Ika, negara yang berdasar atas keragaman suku bangsa, ras, dan agama. Sudah menjadi kewajiban kita semua sebagai warga negara untuk saling menjaga dan menahan diri, serta menjadikan keberagaman itu membuat kita saling menghargai dan mengembangkan sikap toleransi; ketiga, perlu mempercepat pengesahan RUU Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB), sehingga dapat dijadikan salah satu payung hukum bagi pengaturan hubungan antara umat bergama yang sangat majemuk dan penyelesaian konflik yang terkait dengan agama, dimana substansi RUU ini nantinya harus dapat menjangkau dan mengatur masalah-masalah krusial umat beragama, seperti pendirian tempat ibadah, penodaan agama, penyebaran agama, dan lain-lain yang terbukti telah menjadi akar konflik umat beragama.

Harapan ke depan akan tercipta masyarakat yang tidak saja terjamin haknya dalam memeluk dan beribadah menurut agama/kepercayaan, tetapi juga tercipta masyarakat yang saling menghargai dan memiliki sikap toleransi yang tinggi, sehingga tercipta persatuan dan kesatuan Indonesia. Kerukunan umat beragama itu sendiri berupa hubungan antar umat beragama yang dilandasi semangat toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya, dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Categories:

Tinggalkan Balasan