12/10/2024

KANTOR HUKUM NENGGALA ALUGORO

Konsultan Hukum Dan Bisnis

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA: Upaya Untuk Menata Kembali Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia

6 min read

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA: Upaya Untuk Menata Kembali Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia – Sumber daya mineral dan batubara (minerba) sejak masa awal berdirinya Republik Indonesia sampai dengan saat ini telah memainkan peran sangat penting dalam pembangunan pereekonomian Indonesia, yang berfungsi sebagai salah satu tulang punggung  penerimaan Negara. Prosentasi penerimaan negara dari sektor ini masih sekitar 30% dari total penerimaan bidang lainnya. Mengingat minerba sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan secara optimal, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar dapat memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan (Aryo Prawoto: 2015). Untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan minerba, pada tanggal 12 Januari 2009 telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Ini merupakan salah satu upaya untuk menegaskan kembali upaya pengelolaan sumber daya alam oleh Pemerintah sekaligus pula menegaskan kembali keberadaan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Seiring implementasinya, ternyata keberlakuan UU Minerba masih belum mampu menjawab beberapa permasalahan dan kebutuhan hukum di dalam pengelolaan minerba. Tercatat banyaknya kasus-kasus seperti tumpang tindih dan jumlah perizinan yang terlalu banyak serta tidak terkontrol, sinkronisiasi terhadap perundang-undangan yang terkait, pencemaran lingkungan hidup, izin penggunaan lahan, sampai kriminalisasi dan keluhan masyarakat sekitar daerah pertambangan atas operasional perusahaan pertambangan. Semua kondisi tersebut telah direspon DPR RI dan Pemerintah Pusat dengan mencantumkan UU Minerba masuk di dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2015 pada urutan nomor 25.

Urgensi Perubahan

Adapun beberapa substansi di dalam UU Minerba yang harus menjadi fokus dan perhatian untuk dilakukan penyempurnaan adalah, pertama, paradigma penyelenggaraan minerba, kekayaan alam yang melimpah ruang di bidang minerba belum mampu dilindungi oleh regulasi yang sekarang ada. Potensi penerimaan Negara dari sektor minerba ditengarai banyak yang bobol karena pola kerjasama dengan pihak asing yang tidak menguntungkan, sehingga materi muatan perubahan UU Minerba harus lebih berpihak kepada usaha Negara untuk mensejahterakan dan mengutamakan kepentingan rakyat sebagaimana termaktub di dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, beberapa substansi di dalam UU Minerba khususnya terkait dengan kewajiban harus lebih dikedepankan. Salah satunya mengenai pengolahan dan pemurnian minerba, yang kerap diekploitasi perusahaan asing untuk kemudian diekspor dalam  bentuk mentah keluar negeri, akibatnya nilai tambah yang seharusnya dapat dinikmati oleh Indonesia justru beralih ke luar negeri. Di dalam perubahan UU Minerba nantinya, klausula mengenai kewajiban untuk membangun instalasi pengolahan dan pemurniaan (smelter) hendaknya ditegaskan kembali, jika perlu diberikan sanksi yang lebih tegas. Hal ini dilakukan untuk memberi nilai nilai tambah di sektor minerba, sehingga pengaturan mengenai kewajiban pengolahan dan pemurnian yaitu semangat hilirisasi harus lebih diperkuat dan ditegaskan kembali dalam perubahan UU Minerba.

Kedua, tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam sejarah keberlakuannya, UU Minerba sudah beberapa kali dimohonkan untuk diuji terhadap UUD NRI Tahun 1945 oleh beberapa pemohon. Dari beberapa permohonan pengujian tersebut, tercatat 4 (empat) permohonan yang telah dikabulkan oleh MK baik itu secara sebagian atau secara keseluruhan. Walaupun Putusan MK bersifat putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru (constitutief) dan juga menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum (declatoir), tetapi putusan MK bersifat negative legislation, sehingga untuk itu setiap putusan MK seharusnya direspon oleh Pemerintah dan DPR RI sebagai pembentuk UU (positive legislation). Untuk itu di dalam perubahan UU Minerba nantinya, pasal-pasal yang telah mendapat judicial review oleh MK serta pasal-pasal terkait lainnya harus dirumuskan dan dikonstruksikan kembali di dalam perubahan UU Minerba, agar konsep pengaturannya menjadi lebih bulat dan mantap.

Ketiga, sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), dalam UU Pemda secara tegas dinyatakan, bahwa terkait urusan pemerintahan dibidang energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi (Pasal 14 ayat (1)). Selain itu, walaupun dalam urusan pemerintahan di bidang batu bara tidak dicantumkan secara tegas di dalam batang tubuh UU, tetapi bidang ini dimasukkan dalam lampiran UU Pemda yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU (Pasal 15 ayat (1)). Sehingga penyelenggaran urusan pemerintahan di bidang minerba dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Disisi lain pembagian kewenangan terkait penyelenggaraan urusan pemerintahan dibidang minerba yang ada di UU Minerba masih dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sehingga dalam perubahan UU Minerba ke depan hal ini menjadi salah satu poin krusial yang menjadi agenda penting perubahan UU Minerba, agar terjadi sinkronisasi antara UU Minerba dengan UU Pemda dan tidak saling bertolak belakang, yaitu mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang minerba di dalam perubahan UU Minerba menjadi bidang pemerintahan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, sementara Pemerintah Kabupaten/Kota tidak lagi memiliki kewenangan. Walaupun begitu peran pemerintah daerah kabupaten kota tetap diberikan porsi yang proporsional terkait dengan pengawasan wilayah pertambangan serta perizinan pertambangan dalam skala kecil/rakyat.

Keempat, izin. Terkait izin merupakan salah satu masalah yang paling pelik di dalam pengelolaan minerba. Kasus yang paling banyak ditemui terkait izin adalah tumpang tindihnya izin di dalam satu wilayah yang sama, dalam arti terhadap satu wilayah pertambangan terdapat beberapa izin sehingga saling tumpang tindih. Hal ini tentu saja sangat merugikan pihak investor dan tidak menciptakan kepastian usaha. Disisi lain, Pemerintah Pusat yang seolah-olah lemah dan tidak memiliki kewenangan untuk dapat menertibkan dan membatasi jumlah izin usaha pertambangan. Padahal usaha pembatasan perizinan sangat diperlukan tidak saja untuk memudahkan kontrol dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan tahapan usaha pertambangan, tetapi juga untuk meminimalisir dari kerusakan lingkungan hidup sekaligus juga menyiapakan daerah pencadangan usaha pertambangan. Untuk itu di dalam perubahan UU Minerba nantinya harus ada materi-materi baru yang dapat mencegah atau meminimalisir tumpang tindih/duplikasi terhadap izin usaha pertambangan juga memperkuat kontrol pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kelima, kriminalisasi masyarakat sekitar daerah pertambangan, hal ini berawal dari salah satu ketentuan dalam Pasal 162 UU Minerba, yang mengatur pidana bagi setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dengan hanya merujuk kepada ketentuan Pasal 136 yang menyangkut penyelesaian hak atas tanah. Padahal disisi lain pemicu dari tindakan merintangi atau menghalangi yang dilakukan oleh masyarakat disekitar area pertambangan tidak hanya semata permasalahan hak atas tanah, tetapi juga karena tidak adanya mekanisme pengaduan oleh masyarakat terkait aspirasi mereka yang tidak tertampung atau tersalurkan melalui saluran yang ada, misalnya terhadap kasus-kasus pencemaran lingkungan atau masyarakat tidak merasakan langsung manfaat dari adanya perusahaan, disisi lain masyarakat merasa terganggu karena adanya potensi pencemaran atau kebisingan sebagai dampak dari operasional perusahaan. Untuk itu di dalam perubahan UU Minerba nantinya perlu ada klausula khusus yang mengatur pengecualian pengenaan sanksi pidana kepada masyarakat dalam hal kasus merintangi atau menghalangi yang berkaitan dengan kasus pencemaran lingkungan hidup. Hal ini akan sinkron pula dengan ketentuan di Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Selain itu, perlu juga ditambah ketentuan hak untuk mengajukan evaluasi, peninjauan, atau bahkan menolak oleh masyarakat di sekitar wilayah pertambangan atas pertambangan yang akan dibuka di wilayah mereka, dalam hal keberadaan kegiatan pertambangan tersebut nyata-nyata akan merugikan kepentingan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.

Keenam, kelestarian lingkungan hidup, banyak pelaku kegiatan usaha pertambangan kurang mengindahkan kaidah teknik pertambangan yang baik, terkait dengan aspek konservasi cadangan, kesehatan dan keselamatan kerja, dan pengelolaan lingkungan. Walaupun di dalam UU Minerba telah ada ketentuan mengenai kewajiban reklamasi dan kegiatan pascatambang, tetapi dalam praktiknya masih ada wilayah pertambangan atau kegiatan pascatambang yang dibiarkan rusak tanpa ada usaha untuk mengembalikan fungsi lahan ke kondisi semula. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan dan pembinaan dari Pemerintah Pusat maupaun Pemerintah Daerah dalam melaksanakan ketentuan reklamasi dan kegiatan pasca tambang, selain itu kurangnya keperdulian dan tanggungjawab pemilik izin pertambangan terhadap ketentuan reklamasi dan kegiatan pasca tambang karena sebagian dari mereka sudah menitipkan dana jaminan reklamasi dan kegiatan pasca tambang. Untuk itu di dalam perubahan UU Minerba ke depan perlu diatur ketentuan mengenai penekanan atau kewajiban untuk membiayai kerusakan lingkungan yang muncul akibat proses penambangan, juga sanksi baik itu yang bersifat administratif maupun pidana terhadap pelanggaran ketentuan kewajiban reklamasi dan kegiatan pasca tambang kepada pemilik izin.

Harapan Dimasa yang Akan Datang

UU Minerba merupakan salah satu ujung tombak bagi pengaturan dalam pengelolaan minerba di Indonesia, untuk itu penyempurnaan UU Minerba tidak saja penting untuk dapat mengatur dan mengelola potensi kekayaan minerbanya, tetapi juga untuk memberikan landasan hukum bagi upaya pembenahan, penertiban, maupun pengawasan sekaligus juga pembinaan terhadap pengelolaan minerba di Indonesia. Melihat urgensi yang telah diuraikan di atas terkait dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan, sinkronisasi dengan UU Pemda terkait pembagian urusan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengawasan dan pembinaan pengelolaan minerba, serta hal lain yang strategis menyangkut isu perizinan, lingkungan hidup, dan kepentingan langsung masyarakat di area pertambangan, nampaknya UU Minerba tidak hanya perlu dilakukan perubahan secara sebagai (parsial) tetapi harus dilakukan perubahan secara menyeluruh (penggantian), karena tidak saja substansi akan berubah lebih dari 50% tapi juga sudah menyangkut perubahan paradigma di dalam pengelolaannya.

Tinggalkan Balasan

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.