Problematika Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penimbunan Pangan

Problematika Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penimbunan Pangan – Kasus Penimbunan Pangan

Saat ini Indonesia sedang dilanda krisis perekonomian, yang ditandai dengan rendahnya nilai Rupiah terhadap Dollar, banyaknya investasi asing yang keluar dari wilayah NKRI, rendahnya produksi dari industri manufaktur, sampai dengan ancaman gelombang PHK. Selain itu, kondisi ini diperparah dengan meroketnya harga-harga kebutuhan pangan akibat  keterbatasan persediaannya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keterbatasan ketersediaan pangan, diantaranya adalah gagal panen akibat kemarau yang berkepanjangan, mata rantai distribusi yang tidak efektif, sampai dengan adanya unsur kesengajaan berupa penimbunan pangan dari pihak-pihak tertentu dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga pangan pokok menjadi mahal atau melambung tinggi.

Terkait dengan kasus penimbunan pangan, baru-baru ini Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri bertindak cepat atas temuan dugaan penimbunan sapi yang dilakukan di dua peternakan sapi di daerah Tangerang, Banten yakni PT Brahman Perkasa Sentosa (BPS) dan PT Tanjung Unggul Mandiri (TUM). Setelah melakukan penggerebekan dan pengecekan pada Rabu 12 Agustus 2015 malam, polisi segera memeriksa

sejumlah pihak yang diduga turut terlibat dalam penimbunan sapi impor siap potong itu. Selain itu di perusahaan penggemukan (feedloter) yang lain, PT Widodo Makmur Perkasa di Cilengsi, Bogor, juga terindikasi melakukan hal yang sama. Hal ini menyebabkan harga normal sapi hidup perkilogram biasanya Rp.38.000,- sampai dengan Rp.39.000,-, tetapi sejak Agustus 2015 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) menaikan harganya hingga Rp.43.000,- per kg. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan, karena biasanya pascalebaran seharusnya harga daging sapi turun tetapi kali ini justru semakin tinggi (http://www.rmol.co/).

Pengusutan kasus tersebut berawal dari naiknya harga daging sapi beberapa waktu lalu, sehingga memicu para pedagang melakukan aksi mogok. Bareskrim menemukan bukti-bukti pelarangan pemotongan sapi dan dilakukan secara sengaja. Kesengajaan tersebut dilaksanakan secara terstruktur lewat cara mengeluarkan surat edaran pelarangan memotong sapi sehingga terciptakan kondisi kelangkaan daging sapi khususnya di wilayah Jakarta. Akibatnya, para pedagang daging tidak mendapat pasokan sehingga tak bisa berjualan. Dengan kata lain, upaya mengeluarkan edaran larangan pemotongan sapi, bisa dikategorikan sebagai salah satu upaya penimbunan pangan (http://www.rmol.co).

Untuk merespon dan agar kasus- kasus seperti di atas tidak terulang, Kepala Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan  Maklumat Nomor MAK/01/VIII/2015  tentang Larangan Melakukan Penimbunan atau Penyimpanan Pangan dan Barang Kebutuhan Pokok. Terdapat dua hal pokok yang dilarang dilakukan oleh para pedagang, yaitu pertama, pelaku usaha dilarang menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal yang diperbolehkan atau di luar batas kewajaran, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan sehingga mengakibatkan bahan pokok menjadi mahal atau melambung tinggi; dan kedua, pelaku usaha juga dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah atau waktu tertentu pada saat kelangkaan barang, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan (http://www.cnnindonesia.com).

Problematika Pengaturan

Pengaturan mengenai larangan sekaligus juga ancaman hukum bagi pelaku penimbunan pangan atau menyimpan pangan pokok melebihi jumlah maksimal sudah diatur secara jelas dan tegas didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan). Di dalam UU Pangan, Pasal 53 menyatakan; “Pelaku Usaha Pangan

dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.” Kemudian larangan tersebut dapat dikenai sanksi admnistratif, berupa denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; dan/atau pencabutan izin (Pasal 54 UU Pangan). Adapun sanksi pidana terhadap tindak pidana tersebut dapat diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) (Pasal 133 UU Pangan). Dalam hal perbuatan tersebut dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap perseorangan dan korporasi, yaitu dapat dikenai pidana tambahan berupa: pencabutan hak-hak tertentu; atau pengumuman putusan hakim (Pasal 148 UU Pangan).

Adapun di dalam UU Perdagangan pengaturan mengenai larangan sekaligus ancaman terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pangan diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) yang menyatakan: “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang”. Kemudian pengaturan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur  dengan  atau berdasarkan Peraturan Presiden. Selanjutnya Pasal 107 mengatur ancaman sanksi terhadap larangan yang ada di dalam Pasal 29 ayat (1), yaitu berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Hanya saja di dalam implementasinya, penegakan hukum terhadap tindak pidana menimbun atau menyimpan pangan pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 UU Pangan dan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan tersebut tidak bisa dilaksanakan secara efektif karena, pertama, apabila merujuk Pasal 53 UU Pangan, pelaku usaha pangan dilarang menimbun atau menyimpan pangan pokok melebihi jumlah maksimal dimaksud dalam Pasal 52. Adapun ketentuan Pasal 52, dalam hal perdagangan pangan, Pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan yang diatur dengan atau berdasarkan pada Peraturan Pemerintah. Kemudian pendelegasian lebih lanjut dari Pasal 52 ayat (2) UU Pangan tersebut diatur di dalam Pasal 64, Pasal 65,  Pasal  66, dan Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan (PP Ketahanan Pangan), yang pada intinya mengatur terkait dengan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. Tetapi disisi lain peraturan menteri perdagangan yang dimaksud sampai dengan saat ini belum juga diterbitkan, sehingga pelaksanaan Pasal 53 jo Pasal 133 UU Pangan sampai dengan saat ini belum bisa dilakukan karena pengaturan lebih lanjut mengenai teknis mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku  yang seharusnya diatur didalam peraturan teknis menteri perdagangan sampai saat ini belum terbit. Kedua, ketentuan Pasal 29 (1) UU Perdagangan menyatakan pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Kemudian Pasal 29 (3) UU Perdagang mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden, yang diimplementasikan di dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Perpres Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting), dimana Pasal 11 menyatakan dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan waktu tertentu diluar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal. Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) yang memberikan batas waktu maksimal 3 (tiga ) bulan untuk menyimpan kebutuhan pokok dan/atau barang penting ini yang ternyata telah menimbulkan problem tersendiri di dalam penegakan hukum. Karena kondisi dilapangan, menyimpan kebutuhan pokok dan/atau barang penting “sebelum” waktu 3 (tiga) bulan ternyata telah dapat menyebabkan kelangkaan suplai kebutuhan pokok dan atau barang penting, sehingga dalam kontek kasus penimbunan daging sapi seperti di atas, penegak hukum tidak dapat mengenakan Pasal 29 ayat (1) jo. Pasal 107 UU Perdagangan, karena unsur yang diatur di dalam peraturan teknisnya yaitu Pasal 11 ayat (2) Perpres Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting tidak terpenuhi padahal secara nyata akibat dari perbuatan tersebut telah dapat dirasakan.

Pengaturan Dimasa Mendatang

Ditengah dugaan adanya tindak pidana penimbunan pangan atau menyimpan pangan pokok melebihi jumlah maksimal yang jelas-jelas sudah diatur dan dilarang di dalam UU Pangan dan UU Perdagangan, ternyata sampai saat ini penegakan hukumnya belum berjalan dengan efekif, karena masih terdapat kelemahan didalam substansi pengaturan teknisnya sehingga bisa berpotensi    menghambat  dalam pelaksanaan penegakan hukumnya. Untuk itu kedepan beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah pertama, perlu perbaikan di dalam pengaturan syarat-syarat teknis mengenai penimbunan, khususnya didalam Perpres Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, dimana kriteria delik penimbunan pangan tidak saja diatur berdasarkan waktu atau lamanya penyimpanan (formil), tetapi juga dipertimbangkan efek yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut (materiil). Karena dalam faktanya, waktu yang diatur didalam peraturan yang bersangkutan belum terpenuhi unsurnya tetapi secara nyata akibat perbuatan penimbunan tersebut telah dirasakan oleh masyarakat. Sehinga kedepan diperlukan amandemen terhadap peraturan pelaksananya, yaitu dengan memasukkan unsur materiilnya, dengan menambahkan klausula, pelanggaran hukum terjadi saat akibat penyimpanan barang pokok itu telah menimbulkan “keresahan dan merugikan masyarakat”. Selain itu, sebagai tindak lanjut dari UU Pangan dan PP Ketahanan Pangan dan Gizi, segera dibentuk paraturan menteri perdagangan yang mengatur mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha, agar ketentuan Pasal 53 jo Pasal 133 UU Pangan bisa dilaksanakan sebagai dasar hukum memberikan sanksi bagi pelaku yang menimbun atau menyimpan pangan pokok melebihi jumlah maksimal yang disyaratkan; kedua, memaksimalkan peran dan fungsi Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), sebab penimbunan atau penyimpanan pangan lebih mudah dilakukan perusahaan karena menyangkut kapital atau modal, tidak mungkin dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak memiliki modal besar, dan ketiga, tidak semua pelaku penimbunan pangan melakukannya dengan maksud mencari keuntungan yang sebesar- besarnya, akan tetapi terdapat juga pelaku usaha yang melakukannya dikarenakan rasa kekhawatiran tidak memiliki stock pangan, kesulitan dalam mengakses rantai distribusinya, dan lain- lain. Untuk itu wajib dilakukan sosialisasi kepada para pedagang atau pelaku usaha di bidang pangan tentang pengaturan tindak pidana penimbunan pangan yang ada di dalam UU Pangan dan UU Perdagangan.

Categories:

Tinggalkan Balasan