Kode Etik Penyelenggaraan Negara Sebagai Upaya Penegakkan Etika Bagi Penyelenggara Negara
8 min readKode Etik Penyelenggaraan Negara Sebagai Upaya Penegakkan Etika Bagi Penyelenggara Negara – Terselenggaranya tata pemerintahan yang baik merupakan tuntutan dalam administrasi publik. Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat dan semakin efektifnya interaksi internasional sebagai bagian dari proses globalisasi. Menyadari pentingnya arti mewujudkan kepemerintahan yang baik, setiap penyelenggara negara harus mampu menjadi panutan dalam mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara negara, termasuk di dalamnya kepedulian terhadap nilai moral dan norma etika yang seharusnya patut dihormati dan dipatuhi dalam hubungan bermasyarakat maupun bernegara.
Banyaknya penangkapan terhadap penyelenggara negara seperti hakim, anggota DPR, anggota DPRD, gubernur, bupati, walikota, pejabat Bank Indonesia, pimpinan partai, dan menteri yang sedang menghadapi tuntutan hukum atau sudah divonis dalam perkara korupsi menunjukan bahwa penyelenggara negara mempunyai persoalan etika dan moral. Di samping itu, terdapat kasus yang melibatkan mantan Bupati Garut dengan persoalan nikah kilatnya. Kasus ini kemudian menyeruak dan sempat menjadi topik yang hangat di media massa. Publik masih ingat ketika kasus sejumlah kepala daerah yang sudah dinyatakan terdakwa, tetapi yang bersangkutan masih dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara negara. Secara hukum normatif tindakan para kepala daerah yang sudah dinyatakan sebagai terdakwa masih menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara negara sah-sah saja, namun dari segi moral, publik mempertanyakan kepada para penyelenggara negara tersebut dan juga kepada sistem hukum yang mengaturnya.
Penyelenggara negara menurut Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggara negara mempunyai peran yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan negara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya dalam Pasal 2 dinyatakan Penyelenggara Negara meliputi : 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kode etik sebenarnya, bukanlah sesuatu yang baru. Kode etik tertua adalah “Sumpah Socrates” pada abad ke-5 SM. Sumpah Socrates ini menjadi kode etik pertama untuk profesi dokter pada masa Yunani Kuno. Kode etik mengatur tingkah laku moral suatu kelompok dalam masyarakat melalui ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok. Kode etik diibaratkan sebagai kompas yang menunjukan arah moral bagi suatu kelompok dan menjamin mutu moral anggota kelompok tersebut dalam masyarakat serta sebagai sarana kontrol sosial.
Dogma hukum menentukan bahwa kode etik sangat terkait dengan suatu profesi artinya bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar kegiatan anggota suatu profesi. Sekarang ini terjadi pergeseran dogma hukum bahwa kode etik yang pada awalnya melekat pada profesi bergeser ke non profesi di tingkat undang- undang, sebagai contoh penerapan kode etik DPR, hakim dan komisi yudisial, aparatur sipil negara, dan intelejen. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa penyelenggara negara merupakan pekerjaan non profesi yang baru akan dibuat kode etik.
Kode etik sebagai produk dari etika terapan, dihasilkan dari penerapan pemikiran etis pada wilayah tertentu, termasuk wilayah penyelenggara negara. Salah satu syarat berfungsinya kode etik adalah kode etik harus dibuat oleh kelompok di mana kode etik tersebut diberlakukan. Kode etik penyelenggara negara tentunya dibuat oleh penyelenggara itu sendiri. Dengan demikian cita-cita dan nilai yang hidup dapat terserap dalam kode etik yang dibuat dan diberlakukan. Kode etik tersebut akan menjadi pengaturan diri (self regulation) bagi penyelenggara negara. Dengan membuat kode etik, berarti telah menuangkan secara tertulis niat tulus para penyelenggara negara untuk mewujudkan nilai moral yang hakiki dan mencegah terjadinya perilaku tidak etis.
Kode Etik dari Berbagai Peraturan Perundang Undangan/Peraturan Internal Organisasi baik Profesi maupun Non
Profesi
Peraturan Perundang
Undangan/Peraturan Internal
Definisi Kode Etik
Substansi Kode Etik
a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
b. Peraturan Ikatan Notaris Indonesia mengenai Kode Etik Notaris Indonesia tertanggal 28 Januari 2005 yang ditetapkan di Bandung
Kode etik profesi Notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasar keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.
Sumpah jabatan Notaris yang menyatakan bahwa “… bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris …“ dan Pasal 83 ayat (1) menyatakan bahwa “Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.” Kode Etik Notaris terdiri atas: (1) Bab I Ketentuan Umum; (2) Bab II Ruang Lingkup Kode Etik; (3) Bab III Kewajiban, Larangan dan Pengecualian; (4) Bab IV Sanksi; (5) Bab V Tata Cara Penegakan Kode Etik; (6) Bab VI Pemecatan Sementara; (7) Bab VII Kewajiban Pengurus Pusat; (8) Bab VIII
Ketentuan Penutup
Undang-Undang
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim dalam menjalankan tugas profesinya dan dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
b. Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesian dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/
PPasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.
Kode etik pada lembaga yudikatif yakni berdasarkan Pasal 32A ayat (4) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa “kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung”. Berdasarkan pasal tersebut maka ditetapkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik
Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim
Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012- 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim yang memuat isi/substansinya sebagai berikut: (1) Bab I Ketentuan Umum; (2) Bab II Kewajiban dan Larangan; (3) Yurisdiksi; (4) Bab IV Tingkat dan Jenis Pelanggaran; (5) Bab V Sanksi; (6) Bab VI Pejabat yang berwenang; (7)
Keputusan; (8) Bab VIII Penutup.
Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Definisi kode etik dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012 – Nomor 11 Tahun 2012 – Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum dinyatakan bahwa Kode Etik Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disebut Kode Etik, adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan.
Pasal 9
Penyelenggara Pemilihan Umum berkewajiban:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi sumpah/janji jabatan dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya;
c. menjaga dan memelihara netralitas, imparsialitas, dan asas-asas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang jujur, adil, dan demokratis;
d.tidak mengikutsertakan atau melibatkan kepentingan pribadi maupun keluarga dalam seluruh pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajibannya;
e. melaksanakan tugas-tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum;
f. mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, dan jabatan, baik langsung maupun tidak langsung;
g.menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau jasa atau pemberian lainnya yang apabila dikonversi melebihi standar biaya umum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) jam, dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun tidak langsung dari calon peserta Pemilu, peserta Pemilu, calon anggota DPR dan DPRD, dan tim kampanye;
h.mencegah atau melarang suami/istri, anak, dan setiap individu yang memiliki pertalian darah/semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami/istri yang sudah bercerai di bawah pengaruh, petunjuk, atau kewenangan yang bersangkutan, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau bantuan apapun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Pemilu;
i. menyatakan secara terbuka dalam rapat apabila memiliki hubungan keluarga atau
sanak saudara dengan calon, peserta
Berdasarkan penjelasan isi/substansi kode etik dari peraturan perundangan- undangan dan peraturan internal di atas, tergambar bahwa kode etik selama ini hanya mengatur internal instansi masing-masing atau profesi tertentu. Kode etik lembaga penyelenggara negara tidak mengatur institusi penyelenggara negara melainkan mengatur sikap, perilaku, tindakan dan ucapan penyelenggara negara. Adapun konsep yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan batasan definisi kode etik sebagai berikut:
1. Kode etik merupakan aturan, norma, asas;
2. Kode etik merupakan panduan, pedoman, landasan;
3. Kode etik mengatur etika dalam hal bersikap, berperilaku, perkataan dan integritas untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban baik di dalam pekerjaannya maupun di dalam pergaulan hidup sehari- hari.
4. Kode etik wajib ditaati dan diberlakukan bagi setiap penyelenggara negara.
Kode etik penyelenggara negara sangat diperlukan karena dengan adanya kode etik akan dijadikan pedoman oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan kewenangan, tugas/fungsi, maupun tanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Selain itu juga sebagai jaminan bagi penyelenggara negara bahwa mereka tidak akan dikenakan sanksi terhadap tindakan yang dilakukan selama tindakan yang dilakukan sudah sesuai/tidak bertentangan dengan kode etik yang telah dirumuskan dan juga yang telah diakumulasikan dalam sumpah/janji yang diucapkan saat diangkat/dilantik sebagai penyelenggara negara.
Berkenaan dengan beberapa isi/substansi kode etik dari peraturan perundangan-undangan dan peraturan internal sebagaimana disebutkan di atas maka konsep yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan batasan isi/substansi kode etik sebagai berikut:
a. Kode etik penyelenggara negara menjadi panduan dan pedoman bagi lembaga penyelenggara negara
untuk membuat peraturan internal masing-masing terkait kode etik.
b. Setiap lembaga penyelenggara negara wajib membentuk dan menerapkan kode etik pada masing-masing
lembaganya, seperti yang sudah mempunyai kode etik dan sudah melaksanakan antara lain Kode Etik
DPR, Kode Etik Kehormatan Hakim, dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Kode etik wajib dilaksanakan
oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang penyelenggaraan negara.
c. Pengaturan terkait kode etik penyelenggara negara diharapkan bahwa lembaga penyelenggara negara
maupun profesi tertentu berpedoman kepada kode etik yang akan diatur dalam suatu undang- undang.
d. Dalam kode etik penyelenggara negara kiranya harus diperhatikan mengenai apa yang akan diatur dalam kode etik penyelenggara negara tersebut. Ada 2 (dua) hal secara garis besar dapat diatur dalam kode etik penyelenggara negara yaitu (1) definisi kode etik; dan (2) isi/substansi kode etik. Adapun kode etik paling sedikit memuat materi prinsip dan norma penyelenggara negara; tujuan dan sasaran; kewajiban, hak, dan larangan; bentuk pelanggaran kode etik dan sanksi; penegak kode etik dan tata kerjanya; tindak lanjut pelaksanaan penetapan putusan penegak kode etik; dan hal lain yang secara khusus sesuai karakteristik masing-masing lembaga penyelenggara negara.
e. Penegakan etika penyelenggara negara dilakukan melalui penerapan kode etik pada masing-masing
lembaga.
Kode etik penyelenggara negara sangat diperlukan karena kedudukan etika penyelenggara negara berada di antara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas penyelenggaraan negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi penyelenggara negara sehingga kode etik tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan dalam penyelenggaraan negara. Kode etik penyelenggara negara ditaati dan dipatuhi untuk dilaksanakan oleh setiap penyelenggara negara yang diwujudkan dalam bersikap, berperilaku, bertindak, dan berucap bagi setiap penyelenggara negara dalam menjalankan tugas penyelenggaraan negara.