DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA

DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA – Pengaturan mengenai syarat bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berkeinginan untuk mencalonkan diri dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (Pilkada) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang- Undang (UU No. 1 Tahun 2015) jo Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 (UU No. 8 Tahun 2015), merupakan pengaturan yang seringkali mengalami judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Secara keseluruhan untuk semua pasal-pasal yang ada semenjak UU No. 8 Tahun 2015 diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015 sampai terlaksananya Pilkada serentak untuk pertama kalinya pada tanggal 9 Desember 2015, telah terjadi 25 (dua puluh lima) gugatan untuk UU No. 8 Tahun 2015 ke Mahkamah Konstitusi dimana terdapat 7 (tujuh) perkara diantaranya dikabulkan. Lebh lanjut lagi, dari 7 (tujuh) perkara yang dikabulkan tersebut terdapat 3 (tiga) perkara yang dikabulkan yang khusus terkait dengan Pasal 7, yakni Perkara MK No. 33/PUU- XIII/2015, Perkara MK No. 46/PUU- XIII/2015, dan Perkara MK No. 42/PUU- XIII/2015. Banyaknya pengujian terkait dengan Pasal 7 inipun disebabkan karena Pasal 7 ini mengatur mengenai persyaratan bagi WNI yang ingin mencalonkan diri dalam Pilkada dan juga bersentuhan langsung dengan hak konstitusional yang dimiliki WNI sebagaimana diatur salah satunya dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Norma Terkait dengan Petahana Dalam UU No. 8 Tahun 2015

Ketentuan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 2015 terkait dengan “Petahana” yang ingin maju mencalonkan diri pada Pilkada diatur beberapa ketentuan yakni Pasal 7 huruf n yang menyatakan “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota”, Pasal 7 huruf o yang menyatakan “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota”, dan Pasal 7 huruf p yang menyatakan “berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon”.

Ketentuan di UU No. 8 Tahun 2015 dalam Pasal 7 huruf n memiliki maksud untuk menutup kemungkinan Petahana menduduki jabatan lebih dari 2 (dua) kali masa jabatan, Pasal 7 huruf o mengatur mengenai Petahana untuk tidak bisa turun jabatan dari yang sebelumnya menjabat kepala daerah menjadi wakil kepala

daerah, dan Pasal 7 huruf p mengatur mengenai Petahana harus berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon jika mau maju di daerah lain. Pasal 7 huruf n, huruf o, dan huruf p tersebut memiliki semangat yang sama yakni untuk membatasi lamanya seseorang menduduki jabatan pemerintahan karena sesuai dengan hukum besi kekuasaan yakni setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Pembatasan ini memiliki maksud yang baik, justru jika tidak dibatasi maka akan menimbulkan iklim kinerja yang tidak sehat dalam pemerintahan daerah.

Konflik Norma Terkait Petahana Harus Mundur Dengan Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pasal 7 huruf p mengatur mengenai Petahana harus berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon hanya jika mau maju di daerah lain, sedangkan jika Petahana maju kembali di daerah sendiri diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2015 yang menyatakan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, b. menjalani cuti di luar tanggungan Negara, dan c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika pengaturan terkait Petahana dalam UU No. 8 Tahun 2015 jika mencalonkan diri di daerah lain harus berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon sedangkan ketika maju kembali di daerah sendiri cukup cuti.

Norma terkait dengan Petahana dalam Pasal 7 huruf p ini menjadi dilematis bilamana dibandingkan dengan Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 dimana dalam putusan tersebut telah mengubah norma bagi DPR, DPD, maupun DPRD dari yang semula cukup memberitahukan kepada pimpinan lembaganya masing- masing menjadi harus mundur pasca ditetapkan sebagai calon oleh KPU

Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 pada pokoknya berpegang teguh pada prinsip kesetaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sehingga menyamaratakan pengaturan baik itu bagi elected official dan appointed afficial. UU No. 8 Tahun 2015 pada pokoknya memang membedakan antara pengaturan bagi DPR, DPD, maupun DPRD ketika ingin maju menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dibandingkan dengan PNS, TNI/Polri, dan Pejabat BUMN/BUMD bilamana juga mencalonkan dalam Pilkada. Perbedaan tersebut didasarkan atas dasar jabatan pada PNS, TNI/Polri, dan Pejabat BUMN/BUMD merupakan jabatan appointed afficial (jabatan karir) sedangkan jabatan pada DPR, DPD, maupun DPRD merupakan jabatan elected official (jabatan politis/yang diperoleh berdasarkan pemilihan). Hal inilah yang kemudian menjadi dilematis bilamana dibandingkan dengan pengaturan bagi Petahana yang tidak hanya diatur harus berhenti jikalau mencalonkan diri di daerah lain dan cukup cuti jika di daerah sendiri, karena dalam aplikasinya justru Petahana yang maju di daerah sendirilah yang memiliki kecenderungan untuk masih bisa menggunakan pengaruh dan kekuasaannya ketika maju dalam Pilkada. Bagaimana tidak, Petahana yang sebenarnya juga merupakan elected official dan bukan appointed official hanya cukup cuti ketika kampanye, dan selebihnya masih dapat menggunakan kekuasaannya sebagai Petahana dalam Pilkada.

Konflik Norma Terkait Petahana Harus Mundur Dengan Putusan MK NO. 17/PUU-VI/2008

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pernah ada norma bagi petahana yang ingin maju di daerahnya sendiri? Jawabannya adalah ada, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 12 Tahun 2008) ternyata pernah mengatur mengenai pengunduran diri bagi Petahana yang ingin maju di daerahnya sendiri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 yang menyatakan “mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya”. Lebih lanjut lagi,

Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 ini memiliki penjelasan yang menyatakan “Pengunduran diri dari jabatannya berlaku bagi: a. kepala daerah yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah di daerah sendiri atau di daerah lain; b. wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah di daerah sendiri atau di daerah lain; c. wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi wakil kepala daerah di daerah sendiri atau di daerah lain; d. bupati atau walikota yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi gubernur atau wakil gubernur; dan e. wakil bupati atau wakil walikota yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi gubernur atau wakil gubernur…”.

Adapun pada 4 Agustus 2008 terbit putusan MK nomor 17/PUU-VI/2008 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal

58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga norma yang terkandung baik di batang tubuh, Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 begitu pula dengan penjelasannya telah   dibatalkan keberlakuannya karena dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Hal ini menjadi dilematis kemudian jika dalam Pasal 7 huruf p UU No. 8 Tahun 2015 diatur bahwa Petahana jika mencalonkan diri dalam di daerah lain harus berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon sedangkan ketika maju kembali di daerah sendiri cukup cuti.

Sebagaimana diketahui bahwa UU No. 8 Tahun 2015 merupakan undang- undang perubahan yang materi pokoknya bersumber dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu No. 1 Tahun 2014). Lebih lanjut lagi, materi inti pada Pasal 7 huruf p pun merupakan materi asli dari Perppu No. 1 Tahun 2014. Perbedaannya hanya pada frase yang semula “Gubernur, Bupati, dan Walikota” dalam Pasal 7 huruf p Perppu No. 1 Tahun 2014 diubah menjadi “Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota”. Perubahan ini dimaksudkan karena pada UU No. 8 Tahun 2015, pemilihan dilakukan untuk memilih pasangan calon (berpasangan yakni kepala daerah dan wakil kepala daerah) sedangkan pada Perppu No. 1 Tahun 2014

pemilihan dilakukan hanya memilih kepala daerah saja.

Perbaikan Norma Dalam Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015

Berdasarkan hal-hal sebagaimana dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa sebenarnya pengaturan bagi Petahana yang maju kembali dalam Pilkada baik di daerah sendiri maupun di daaerah lain sebenarnya pernah ada dalam Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008, namun telah dibatalkan oleh putusan MK nomor 17/PUU-VI/2008. Pada Perppu No. 1 Tahun 2014 norma terkait bagi Petahana yang maju kembali dalam Pilkada dihidupkan kembali dalam Pasal 7 huruf p, namun dihidupkannya hanya sebagian yakni norma harus mundur bagi Petahana hanya maju di daerah lain saja, sedangkan di daerah sendiri cukup cuti. Konflik norma muncul ketika Petahana yang umumnya dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya dalam Pilkada dan merupakan elected official diatur berbeda dengan DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana tindak lanjut atas Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015. Sehingga dalam rangka perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 (UU No. 1 Tahun 2015), seharusnya dilakukan penyesuaian pula bagi norma bagi Petahan dalam Pasal 7 huruf p sebagaimana sesuai prinsip penyetaraan yang digunakan MK dalam memutus kewajiban mundur bagi DPR, DPD, dan DPRD dalam Putusan MK No. 33/PUU- XIII/2015. Hal ini juga merupakan wujud konsistensi atas norma yang telah dibatalkan oleh MK dalam Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 dan dihidupkan kembali dalam Pasal 7 huruf p Perppu No. 1 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dalam Pasal 7 huruf p UU No. 8 Tahun 2015, namun hanya untuk sebagian saja yakni hanya untuk Petahana yang maju di daerah lain saja.

Categories:

Tinggalkan Balasan