ARTI PENTING PERAMPASAN ASET DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
3 min readARTI PENTING PERAMPASAN ASET DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI – Korupsi sebagai kejahatan luar biasa membawa dampak yang luar biasa terhadap kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara. Kerugian yang diderita negara akibat korupsi adalah fenomena yang sangat disayangkan, oleh karena “uang negara” yang dikorupsi tersebut seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Maka idealnya pemberantasan korupsi lebih ditekankan kepada pengembalian kerugian negara akibat korupsi atau yang dikenal dengan pendekatan follow the money.
Mengingat pembuktian dari tindak pidana korupsi yang tidaklah mudah, dan memerlukan waktu yang lama serta biaya yang tinggi, maka perlu diterapkan mekanisme baru di dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara follow the money. Mekanisme yang dapat ditempuh adalah dengan segera memberlakukan Rancangan Undang Undang (RUU) Perampasan Aset yang beberapa waktu telah disusun oleh lembaga legislatif dan mengintegrasikannya dengan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 3 ayat (1) RUU Perampasan Aset menyebutkan bahwa “Setiap Orang yang memiliki Aset yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat membuktikan asal usul perolehannya secara sah maka Aset tersebut dapat dirampas berdasarkan Undang Undang ini.” Pasal ini secara gramatikal dapat dikaitkan dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara prinsip keduanya sama, yaitu dengan mekanisme pembalikan beban pembuktian, perbedaannya di dalam pasal RUU ini secara tegas menyatakan bahwa atas “ketidakmampuan” seseorang dalam membuktikan bahwa asset yang dimilikinya adalah diperoleh dari asal-usul yang sah akan berimplikasi pada perampasan asset “tidak sah” yang dimilikinya.
Lebih lanjut Pasal 3 ayat (2) RUU Perampasan Aset menyatakan “Aset yang tidak seimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Aset tidak wajar yang dihitung melalui total kekayaan dikurangi penghasilan yang diperoleh secara sah.” Ketentuan Pasal 3 ayat (2) tersebut memiliki makna bahwa perampasan asset dibatasi pada kepemilikan “asset yang tidak sah”.
Penyitaan terhadap asset yang tidak sah berdasarkan RUU Perampasan Asset dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Perampasan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum ini sangatlah efektif apabila diterapkan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehingga sedini mungkin, sejak awal tahap pemeriksaan di tingkat penyidikan sudah dapat dilakukan perampasan atau penyitaan terhadap asset yang “tidak sah” tanpa menunggu putusan hakim. Hal ini dapat menjawab permasalahan terkait dengan upaya koruptor untuk “mengolah asset tidak sah” yang dimilikinya atau yang dikenal dengan pencucian uang.
Bahkan dalam Pasal 12, mekanisme perampasan asset dalam RUU ini memungkinkan untuk penerapan “substitusi” apabila seseorang melarikan assetnya ke luar negeri, dan pemblokiran dan penyitaan atas asset di luar negeri itu ditolak dengan cara penyidik atau penuntut umum menyita asset yang ada di Indonesia. Tentu saja ini sangat membantu untuk pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime tindak pidana korupsi. Sehingga kesulitan di dalam pelacakan asset dan penyitaan asset di luar negeri bukan menjadi permasalahan lagi.
Lebih lanjut Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa perampasan asset tidak menghapuskan kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Implikasi dari pasal ini bahwa dengan perampasan asset, proses pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan, namun di sisi lain apabila terdapat kesulitan di dalam pembuktian perkara, misalnya tindak pidana korupsi setidaknya “follow the money” dapat tercapai, sekalipun terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Mekanisme ini sejalan pula dengan “illicit enrichment” dalam UNCAC yang secara garis besar menekankan kepada penambahan asset yang signifikan, dan seseorang/pejabat atau penyelenggara negara tidak dapat membuktikan bahwa pendapatannya berasal dari sumber yang sah.
Rekomendasi penulis untuk perampasan asset ini adalah dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset dan mengintegrasikan dengan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, atau mengadopsi mekanisme perampasan asset ini ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Kemudian yang tidak kalah penting adalah merivitalisasi mekanisme pelaporan kekayaan dengan LHPKN yang ditangani oleh KPK. Pemberian sanksi yang lebih tegas untuk pejabat negara yang tidak menyerahkan laporan LHKPN menjadi pintu masuk awal untuk pemberlakuan mekanisme ini. Kemudian ketika ditemukan asset yang tidak sah, KPK segera dapat menyita asset tersebut. Sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi lebih efektif dan efisien degan mengedepankan pendekatan “follow the money”.