07/11/2024

KANTOR HUKUM NENGGALA ALUGORO

Konsultan Hukum Dan Bisnis

REFLEKSI ATAS CAPAIAN PEMBANGUNAN HUKUM TAHUN 2018

6 min read

REFLEKSI ATAS CAPAIAN PEMBANGUNAN HUKUM TAHUN 2018 – Telah banyak hal yang dicapai oleh pembangunan hukum dalam 2015-2019 meskipun banyak hal juga yang perlu dibenahi lebih serius. Beberapa capaian dunia hukum Indonesia di era ini di antaranya adalah: Agenda Pemberantasan korupsi, Komitmen Penegakan HAM, Agenda Penataan Regulasi, Perluasan Partisipasi Publik, serta Bantuan Hukum Bagi Orang Miskin. Agenda pemberantasan korupsi, Pemerintah secara serius melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi, baik dengan pembentukan Satuan Tugas seperti Satuan Tugas Sapu Bersih Pungli (Saber Pungli) maupun dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi KPK). Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, yang sampai semester I tahun 2018 telah melaksanakan 2.911 kegiatan Operasi Tangkap Tangan. Selain itu Kejaksaan juga telah berhasil menyelamatkan uang negara hingga Rp 1,5 triliun dan menangani ribuan kasus korupsi. Kedua, untuk komitmen penegakan HAM, ditunjukkan dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019. Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus- kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari.

Ketiga, untuk agenda penataan regulasi, Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator pembangunan ekonomi bertanggung jawab terhadap menarik atau tidaknya iklim berusaha di Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintahan setidak-tidaknya harus didukung oleh politik, birokrasi, dan kapasitas membuat, menerapkan, serta mengevaluasi kebijakan dan regulasi. Salah satu hasil evaluasi regulasi pemerintah yang telah dilakukan adalah deregulasi terhadap 3.143 (tiga ribu seratus empat puluh tiga) Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Menteri guna peningkatan daya saing industri, iklim investasi, ekspor, wisata dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Meskipun dalam perkembangan terakhir, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa kewenangan pemerintah untuk membatalkan Perda adalah bertentangan dengan konstitusi sehingga perlu disikapi agar tidak terjadi kekosongan hukum, dan tetap dapat menjalankan agenda reformasi hukum. Pemerintah perlu melanjutkan penataan regulasi melalui: evaluasi seluruh peraturan perundang- undangan, penguatan pembentukan peraturan perundang-undangan, dan pembuatan database yang terintegrasi. Ketiga hal ini merupakan bagian dari program penataan regulasi agenda Revitalisasi Hukum Jilid II yang disampaikan oleh Pesiden Joko Widodo. Selain itu, Pemerintah perlu secara serius terus-menerus mengupayakan peningkatan pelayanan publik agar menjadi lebih mudah, murah, dan cepat.

Keempat, untuk perluasan partisipasi publik, adalah dengan lebih banyak membuka akses bagi publik untuk memberi masukan bagi perumusan maupun evaluasi kebijakan. Jika di masa lalu konsultasi publik identik dengan kegiatan- kegiatan rapat atau forum-forum tatap muka, maka saat ini tengah terus dikembangkan cara-cara konsultasi publik yang lebih inovatif dengan daya jangkau yang lebih luas. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM misalnya memiliki portal untuk menjaring masukan, penilaian, dan kritik publik terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang dianalisis dan dievaluasi oleh Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional melalui portal www.bphn.go.id. Masukan publik ini sangat berharga untuk mendeteksi persoalan-persoalan implementasi aturan tersebut di lapangan. Melalui portal ini juga, jangkauan masyarakat yang dapat didengar dalam rangka analisis peraturan perundang-undangan dapat semakin luas dan menjamin setiap elemen masyarakat untuk didengar suaranya oleh pemerintah.

Demikian juga dalam hal pembentukan kebijakan hukum, pemerintah perlu terus mendengar pendapat-pendapat masyarakat yang majemuk sehingga dapat membentuk kebijakan hukum yang mengayomi seluas-luasnya masyarakat Indonesia. Saat ini mandat untuk melakukan konsultasi publik dalam perumusan kebijakan hukum sudah terdapat dalam beberapa peraturan perundang- undangan, salah satunya adalah Bab XI yakni tentang Partisipasi Masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan perkembangan teknologi informasi di seluruh tanah air Indonesia, konsultasi publik dalam pembentukan dan evaluasi kebijakan hukum dapat terus dibawa naik memasuki dimensi baru yang belum ada sebelumnya.

Terhadap perkembangan ini, dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Di satu sisi, pemerintah terus berusaha untuk bersikap semakin terbuka dan lebih banyak mendengar. Ini memerlukan “sambutan” dari masyarakat berupa kemauan dan keaktifan untuk memanfaatkan akses-akses yang telah dibuka ini bagi peningkatan kualitas hukum di Indonesia. Dengan semakin banyaknya partisipasi publik, maka diharapkan hukum dapat menjadi semakin inklusif dan menjawab kebutuhan publik seluas-luasnya. Melalui mekanisme yang terus dikembangkan oleh Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan   Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM ini juga akan menjadikan kemajemukan dapat terus dipelihara karena semakin luasnya daya jangkau negara untuk memahami kebutuhan masyarakat.

Kelima, langkah responsif yang konkrit  untuk   memberikan perlindungan hukum bagi rakyat adalah dengan memberikan bantuan hukum. Hal ini merupakan perwujudan konstitusi dimana Negara berkewajiban memenuhi (to fulfil) dan melindungi hak atas bantuan hukum.

Ada dua konsep pokok dalam bantuan hukum, yaitu konsep bantuan hukum individual dan konsep bantuan hukum struktural. Konsep bantuan hukum individual (tradisional) pada dasarnya suatu konsep lama yang sejalan dengan sistem hukum yang ada: bantuan hukum pada setiap kasus yang menurut hukum beralasan untuk dibela. Penekannya pada hukum itu sendiri, hukum yang selalu diandaikan netral, sama rasa sama rata. Yang menjadi masalah, cukup sering hukum itu tidak memberikan keadilan. Hukum dalam posisi netral cukup sering justrru menguntungkan mereka yang berkuasa dan berpunya, dan merugikan mayoritas rakyat miskin. Berlawanan dengan itu, konsep bantuan hukum struktural mencoba mengaitkan kegiatan bantuan hukum seperti itu dengan upaya merombak tatanan sosial yang tidak adil. Jadi sasarannya tidak lagi sekedar membantu individual dalam sengketa yang dihadapinya, tetapi lebih mengutamakan sengketa yang punya dampak struktural. Oleh karena itu, bantuan hukum harus dijadikan kekuatan pendorong ke arah tercapainya perombakan tatanan sosial, sehingga akan memiliki pola hubungan yang adil. Hukum sering tidak menjawab tantangan yang dihadapi, malah turut mengukuhkan status quo, karena hukum diandaikan netral.

Meski telah terdapat banyak capaian sebagaimana disebutkan di atas, tetapi beberapa hal tetap perlu dibenahi, seperti: pertama, kurangnya politicial will pemerintah untuk melakukan perapihan atau penataan kembali sistem kodifikasi hukum nasionalnya. Hal ini tidak ditemukan secara tegas baik dalam RPJPN dan RPJMN. Pemerintah lebih melihat kepada penyelengaraan Sistem Informasi Hukum dalam konteks penyampaian informasi publik tentang dokumen hukum, namun tidak kepada rangkai konsistensi kaedah hukum sejenis yang terserak dalam berbagai peraturan perundang-undangan (Edmon Makarim, 2018).

Kedua, kurangnya sinergi antar lembaga-lembaga tersebut yang diturunkan dari berbagai permasalahan di atas. Persoalan konflik kewenangan misalnya, dapat dipahami sebagai hasil dari kurangnya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penegakan hukum sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan (exes de povoir). Konflik kewenangan ini tidak mungkin terjadi apabila dilakukan sinkronisasi dan

harmonisasi peraturan perundang- undangan melalui kegiatan penelitian atau pengkajian yang mendalam, sehingga kewenangan yang lahir dari suatu regulasi dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis maupun juridis.

Ketiga, degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat. Gejala ini ditandai dengan meningkatnya apatisme seiring dengan menurunnya tingkat apresiasi masyarakat baik kepada substansi hukum maupun kepada struktur hukum yang ada. Hal ini telah tercermin dari peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di masyarakat. Pada tataran akar rumput, maraknya kasus main hakim sendiri, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat yang terjadi secara terus menerus tidak seharusnya dilihat sebagai sekedar eforia yang terjadi pasca reformasi. Di balik itu tercermin rendahnya budaya hukum masyarakat karena kebebasan telah diartikan sebagai ‘serba boleh’ dan timbulnya kesan seolah-olah masyarakat adalah ‘penegak hukum’.

Kesadaran  masyarakat terhadap hak dan kewajiban hukum memang terkait dengan tingkat pendidikan. Namun demikian perlu dilakukan langkah cerdas diseminasi hukum, walaupun tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai, melalui kemampuan dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan penyuluhan hukum, agar pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik, antara lain melalui contoh prilaku, dan sikap perbuatan penyelenggara negara dan penegak hukum yang dapat memberikan rasa percaya masyarakat. Dalam jangka pendek, pembangunan melalui program revitalisasi hukum untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, keadilan sosial dan kepastian hukum perlu dilakukan melalui: optimalisasi analisis dan evaluasi hukum nasional; peningkatan kualitas naskah akademik; peningkatan peran perencanaan legislasi nasional; optimalisasi pelayanan dokumen dan informasi hukum dengan pemanfaatan teknologi menuju e-legislasi.

Bangsa Indonesia saat ini sudah menapaki kaki di tahun ketiga pembangunan jangka panjang. Hukum harus mampu menjalankan peran untuk mengawal terwujudnya visi pembangunan yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Visi ini mengarah pada pencapaian tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Untuk mencapai visi tersebut pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM.

Tinggalkan Balasan

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.