DOMINASI POSITIVISME HUKUM DAN EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL
6 min readDOMINASI POSITIVISME HUKUM DAN EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL – Salah satu ciri negara hukum adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seputar bidang hukum itu sendiri. Pekembangan ilmu hukum tersebut sangatlah penting mengingat banyaknya permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat. Dalam rangka menanggulangi permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut dan adanya jaminan pemenuhan hak asasi, yang kemudian menginspirasi para cendekiawan hukum itu untuk memunculkan sebuah ide-ide mengenai “teori hukum”. Sehingga, berdasarkan hal tersebut, hukum hendaknya dijadikan suatu norma (tertulis) dalam kehidupan bermasyarakat, dan pandangan- pandangan tersebut di gagas oleh mahzab positivisme yang berkembang pesat di eropa kontinental pada abad ke-19 (Soetandyo: 2013, V). Secara singkat positivisme dapat dijelaskan sebagai aliran pemikiran yang mendasar pada pengalaman empirik bukan pada keyakinan, dan segala gejala dapat dikatakan benar apabila telah dilakukan verifikasi secara berulang dan hasilnya sama (Samekto: 2015, 89). Adji Samekto dalam bukunya menyimpulkan bahwa inti dari ajaran filsafat positivisme adalah (Samekto: 2015, 66):
Positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivisme hanya mendasarkan pada kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu;
Positivisme tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi;
Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala alam diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil- dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan waktu;
Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi sehingga ke depan dapat diramalkan (diprediksi);
Positivisme meyakini bahwa relaitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.
Dalam perkembangannya, muncul aliran pemikiran hukum yang bersumber dari filsafat positivisme biasa disebut dengan legal positivism. Legal positivism mengkonsepsikan hukum sebagai ketentuan-ketentuan yang berlaku mengikat masyarakat karena dikeluarkan oleh kekuasaan yang paling tinggi, mengandung perintah dan sanksi (Samekto: 2015,89). Aliran positivisme hukum di Indonesia tumbuh dengan subur sebagai implikasi dari negara Indonesia merupakan jajahan dari negara Belanda yang menganut tradisi civil law system. Dalam tradisi civil law memiliki ciri khas yang begitu menonjol, yaitu dalam hal kepastian hukum (legal certainity). Untuk menjamin adanya kepastian hukum maka dalam civil law system sangat mengandalkan dilakukannya kodifikasi atau himpunan peraturan hukum yang dilakukan secara tertulis (lex scripta). Adanya peraturan hukum yang telah dituangakan secara tertulis tersebut, dipergunakan untuk memastikan dan menjamin prediktabilitas, supaya orang tidak melakukan perbuatan di luar apa yang telah ditentukan oleh pembentuk peraturan.
Tradisi civil law yang kental akan nuansa positivisme menyebabkan para penegak hukum, para pembentuk undang- undang dan para sarjana hukum terutama di Indonesia dewasa ini dalam melaksanakan tugas-tugasnya terkesan sangat kaku karena hanya mengandalkan rule and logic dan memarginalkan aspek behaviour, value and the truth (Suteki: 2015, 36). Mereka sangat mengedepankan kepastian hukum namun disisi lain seringkali mereka lupa, bahwa dalam tataran implementasi yang diterapkan tidak hanya kepastian hukum saja, namun juga “kepastian hukum yang adil”. Tidak hanya sebagai corong undang- undang saja, namun para penegak hukum dan sarjana hukum juga dituntut untuk dapat melihat bagaimana realitas di lapangan jadi keadilan yang diterapkan tidak hanya keadilan formal saja namun juga keadilan secara substantif. Disamping adanya pewarisan tradisi civil law yang ditinggalkan bangsa Belanda, Indonesia juga mewarisi nilai-nilai hukum lain yang berasal dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Karena pada dasarnya negara Indonesia termasuk ke dalam golongan traditional and religious law system.
Indonesia termasuk kedalam golongan traditional and religious law system , dikarenakan negara Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikulutral, agama, ras, dan terdiri dari banyak golongan dan dimana tiap-tiap daerah memiliki masyarakat dan budaya hukum yang berbeda-beda. Sesuai dengan dasar negara kita Pancasila dengan semboyannya, yaitu bhinneka tunggal ika yang berarti Indonesia adalah negara dengan segala kemajemukannya namun tetap dalam Negara Kesatian Republik Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, selain terdapat peraturan hukum yang tertulis, di Indonesia terdapat juga peraturan hukum yang tidak tertulis sesuai dengan corak, kultur masyarakat. Hal ini biasa disebut dengan hukum adat atau hukum yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (adatrecht, the living law, the unwritten law, customary law). Termasuk di dalamnya mekanisme- mekanisme pengaturan sendiri (self- regulation/ inner order mechanism) yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order) dalam masyarakat (Nurjaya: 2019, 3). Dalam perkembangannya, dikarenakan masih kentalnya aliran legal positivism di Indonesia, eksistensi dan penggunaan hukum adat kerap dipertentangkan dan dipermasalahkan. Berdasarkan hal tersebut maka tradisi civil law system ini yang sarat akan nuansa positivisme dan berasal dari Eropa Kontinental sangat tidak tepat apabila diterapkan di negara Indonesia yang tergolong ke dalam traditional and religious law system.
Pada zaman dahulu sebelum Indonesia merdeka, Belanda pun mengakui kemajemukan dan keberagaman bangsa kita. Dalam mengakomodir hukum-hukum adat atau hukum tidak tertulis bangsa kita pada waktu itu nyatanya dilakukan melalui beberapa cara. Pada masa pendudukan VOC (VerenigdeOost-Indische Compagnie), mereka mengkodifikasi dan menerbitkan peraturan perundang- undangan hukum adat, eperti Kitab Hukum Mogharraer (1750), Compedium van Clootwijk, dan Pepakem Cirebon (1758), walaupun hukum adat masih dipandang derajat nya tidak lebih tinggi daripada hukum Barat (Sukirno: 2019, 4).
Dewasa ini pengakuan hukum tidak tertulis atau hukum adat sebagai sumber hukum juga dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang- undangan, sebagai contoh Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, disamping itu pada Pasal 50 UU Kekuasaan Kehakiman kembali menegaskan eksistensi hukum tidak tertulis, bahwa “putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Hal ini sejalan dengan pendapat Paul yaitu bahwa hukum itu ada dalam undang-undang, namun tetap harus (digali) ditemukan. Di sisi lain, pada setiap irah-irah putusan pengadilan pasti tertulis “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi disini hakim patut mempertimbangkan nilai- nilai agama dan kepercayaan Bangsa Indonesia.
Bidang sumber daya alam, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria (UUPA) juga telah mengakomodasi keberadaan hukum adat. Dalam sektor pertanahan, hukum adat dianggap sebagai sistem norma yang mengakomodir dan mengekspresikan perasaan keadilan masyarakat. Pasal 5 dan Penjelasan III angka (1) UUPA, menyatakan bahwa hukum tidak tertulis atau hukum adat memiliki peran yang sangat krusial.
Pada tanggal 27 Juni 2019, Badan Pembinaan Hukum Nasional mengadakan Seminar Pembangunan Hukum Nasional (SPHN) dengan tema “Pemberdayaan Hukum Tidak Tertulis dalam Grand Design Pembangunan Hukum Nasional”. Ade Saptomo salah satu pembicara, dalam makalah yang dipaparkan pun menyatakan hal yang senada dengan uraian sebelumnya, yaitu bahwa sebagian produk penyusunan perundang-undangan di Indonesia terkesan semakin menjauh dari roh ideologi bangsa, bahkan sebagian orang mengatakan cacat ideologis (Saptomo: 2019, 1). Lebih lanjut, yang dimaksud dengan cacat ideologis adalah sebagian produk undang-undang dan peraturan pelaksanaannya hingga peraturan daerah terkesan menghilang dari fakta keberagaman norma-norma lokal nusantara. Nyoman Nurjaya selaku pembicara juga dalam acara tersebut menambahkan bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga) dekade terakhir hukum yang berlaku di pemerintah cenderung bersifat sentralisme hukum (legal centralism), melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum bagi seluruh rakyat dalam teritori negara, yang berimplikasi hukum negara justru menggusur, mengabaikan, dan mendominasi keberadaan sistem hukum lainya dalam hal ini hukum adat (Nurjaya: 2019, 8). Pernyatan tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa legal positivism sangatlah kuat dan mendominasi dalam sistem hukum di Indonesia.
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, maka perlu adanya suatu pergerakan atau cara-cara tertentu terhadap arah politik hukum kita untuk menggeser dominasi legal positivism tersebut dalam tatanan sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila. Kita dapat mencontoh Jepang dalam mempertahankan eksistensi hukum di negara mereka tanpa terpengaruh arus dari hukum modern yang berasal dari Eropa Kontinental. Jepang membuat struktur hukum berlapis yang unik mengenal kata omote (di depan), ura (dibelakang), tatemae (tertulis, formal) dan honne (di dalam, nurani, deeper gut- level feeling). Dengan membangun struktur tersebut, nyatanya Jepang berhasil menjaga kejepangan nya tersebut sebagai “peculiar form of social life” (Rahardjo: 2009, 87-90).
Satjipto Rahardjo dalam salah satu bukunya pernah menawarkan suatu gagasan yaitu adalah Sistem Hukum
Pancasila (SHP) sebagai sistem hukum nasional bangsa Indonesia (Rahardjo: 2009, 126). SHP ini berangkat dari nilai- nilai luhur bangsa kita. hal tersebut ke dalam postulat hukum, lalu postulat tersebut disusun dengan baik sehingga memungkinkan dan memudahkan orang untuk membuat atau menarik kaidah- kaidah hukum tersebut. Nyoman Nurjaya dari perspektif antropologi hukum pun menambahkan bahwa untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang terintegrasi secara kultural demi mewujudkan Sistem Hukum Pancasila, maka legal positivism dan ideologi sentralisme ini harus digeser menuju ke arah paradigma pluralisme hukum (legal pluralism). Upaya yang harus dilakukan adalah membangun paradigma pembangunan hukum yang memberi pengakuan dan perlindungan secara utuh (genuine recognition) terhadap sistem hukum seperti hukum adat (adat law), hukum agama (religious law), dan mekanisme pengaturan local (inner-order mechanism) yang secara nyata terdapat dalam masyarakat Indonesia (Nurjaya: 2019, 9). Disamping itu Nyoman Nurjaya menambahkan, dalam rangka mengakomodir dan memberdayakan hukum tidak tertulis dapat juga menerapkan theory receptive, dengan mengambil nilai-nilai yang sama atau kesamaan asas pada setiap hukum adat masyarakat kita dan mengimplemetasikan nya pada saat pembentukan suatu Peraturan perundang-undangan. Pada akhirnya, hasil atau produk peraturan perundang-undangan kita tidak cacat ideologis, namun sarat akan nilai-nilai luhur bangsa kita yang bersumber dari Pancasila, dan tercapainya pemenuhan dan pemuliaan nilai-nilai dasar hukum (keadilan, kemanfaatan, dan kepastian) yang pada akhirnya terwujudnya Sistem Hukum Pancasila sebagai sistem hukum bangsa Indonesia.