INTERPRETASI KERUGIAN NEGARA DALAM PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA
4 min readINTERPRETASI KERUGIAN NEGARA DALAM PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA – Keputusan Direksi merupakan hal yang krusial dalam menjalankan sebuah perusahaan. Direksi yang dipimpin oleh seorang Direktur Utama memang dapat dikatakan sebagai ujung tombak maju mundur nya sebuah usaha. Khususnya bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dominansi kepemilikan sahamnya dikuasai oleh negara, BUMN membutuhkan pucuk pimpinan yang terbaik untuk menjalankan usahanya.
Dibutuhkan sosok Direktur Utama BUMN yang memiliki kecakapan dan integritas tinggi serta bertanggungjawab dalam setiap keputusannya. Namun demikian, keputusan Direktur Utama sebagai arah bagi sistem penunjang acap kali menyebabkan risiko rugi dalam menjalankan usahanya. Sedikitnya terdapat 2 (dua) kasus kerugian usaha BUMN yang telah menyeret Direktur Utama nya ke dalam proses peradilan, yaitu yang terjadi di PT. Pertamina dan PT Merpati Nusantara Airlines.
Kasus yang terbaru menjerat Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina, Karen Galaila Agustiawan divonis 8 (delapan) tahun penjara pada Senin, 10 Juni 2019 oleh hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Dalam perkara ini, Karen didakwa memperkaya dirinya dan perusahaan ROC, Ltd Australia sehingga merugikan negara sebesar Rp 568 miliar. Kasus ini terjadi pada 2009, ketika Pertamina melakukan akuisisi (Investasi Nonrutin) berupa pembelian sebagian aset (Interest Participating/ IP) milik ROC Oil Company Ltd di blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia berdasarkan perjanjian pada 27 Mei 2009 lalu (https://www.cnnindonesia.com/
Menurut Majelis Hakim, Karen terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Karen dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim karena terbukti “merugikan keuangan negara” sebagaimana yang menjadi unsur dalam tindak pidana korupsi.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Namun demikian vonis kepada Dirut Pertamina tersebut dijatuhkan tidak dengan suara bulat, karena hakim anggota, Anwar, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Anwar berpendapat seharusnya Karen dinyatakan tidak bersalah. Sebab, apa yang dilakukan terdakwa dalam konteks investasi Pertamina di Blok BMG Australia sudah sesuai dengan prinsip business judgment rule.
Business judgement rule menurut Black’s Law Dictionary, yang diartikan sebagai “rule immunizes management from liability in corporate transaction undertaken within power of corporation and authority of management where there is reasonable basis to indicate that transaction was made with due care and good faith” (Henry Campbell Black: 1981). Dari pengertian tersebut, prinsip business judgment rule sejatinya ingin melindungi direksi atas setiap keputusan bisnis sebagai aksi korporasi, selama dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian (prudent) dan itikad baik (good will).
Kerugian bisnis BUMN yang diinterpretasikan sebagai kerugian negara juga terjadi kepada Mantan Dirut PT. Merpati Nusantara Airlines (PT. MNA), Hotasi Nababan. Kasus dugaan korupsi ini bermula saat PT Merpati Nusantara Airlines hendak menyewa pesawat terbang dari Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG). Rencana penyewaan pesawat itu sesuai keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Guna menyewa pesawat itu, pihak Merpati harus memberikan security deposit sebesar US$ 1 juta. Namun rupanya TALG wanprestasi dan malah lari dengan membawa uang US$ 1 juta tersebut. (https://www.liputan6.com/
Permasalahan tersebut kemudian dibawa ke pengadilan Washington DC, Amerika Serikat. Berdasarkan putusan Pengadilan Washington DC tanggal 8 Juli 2007 disebutkan bahwa kasus sewa- menyewa PT. MNA dan TALG USA adalah wanprestasi atau ingkar janji. PT MNA memenangkan gugatan tersebut. “TALG USA telah dihukum untuk membayar atau mengembalikan security deposit kepada PT MNA sejumlah US$ 1 juta dan ditambah dengan bunganya. Namun demikian, security deposit masih tercatat sebagai piutang yang belum tertagih dalam pembukuan PT MNA. Terjadi kesulitan dalam hal pengembalian uang karena pihak lessor membangkang tidak mau membayar.
Eksekusi dari putusan Pengadilan Washington DC gagal dan Jaksa menyeret Hotasi ke ranah hukum karena dinilai telah menyalahgunakan wewenang dan dianggap bertanggung jawab atas hilangnya dana penyewaan pesawat tersebut yang mengakibatkan kerugian negara. Kendati Hotasi terus membela diri di peradilan hingga ke tingkat peninjauan kembali, mantan PT. MNA ini telah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung dengan pidana penjara 4 tahun penjara dan membayar denda Rp 200 juta.
Kedua contoh kasus tersebut diatas menunjukan bahwa posisi seorang dirut BUMN sangat strategis dan rawan terhadap dugaan korupsi. Prinsip business judgement rule dengan konsepsi “kerugian negara” dalam tindak pidana korupsi, beririsan antara satu dan lainnya. Ketika seorang direksi membuat sebuah keputusan bisnis yang dilakukan semata- mata untuk tujuan dan kepentingan perusahaan seharusnya dilindungi hukum.
Namun ketika terjadinya kerugian yang merupakan risiko bisnis, hal tersebut dapat dikualifikasikan “kerugian negara” oleh hakim.
Interpretasi “kerugian negara” dapat menjadi pisau bermata dua apabila tidak ada ukuran yang pasti. Di satu sisi frasa “kerugian negara” dalam Pasal 3 UU Tipikor merupakan salah satu pengunci pemberantasan korupsi di Indonesia. Di sisi lain frasa “kerugian negara” dapat menjadi sumber ketakutan bagi para dirut BUMN untuk mengambil langkah strategis guna memajukan perekonomian bangsa.