ASPEK HUKUM PEMENUHAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) UNTUK PRODUK INDUSTRI NASIONAL

ASPEK HUKUM PEMENUHAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) UNTUK PRODUK INDUSTRI NASIONAL – Dalam tren perdagangan global saat ini, jaminan akan kualitas barang dan jasa menjadi syarat yang menentukan dalam mengakses pasar sebuah negara (Dona Budi Kharisma dkk, 2017: 433). Komitmen yang dilakukan oleh berbagai organisasi perdagangan dunia untuk menghapuskan berbagai hambatan tarif dan non tarif dalam perdagangan international (barrier trade) tidak serta merta memudahkan pelaku usaha untuk mengakses pasar international. Pelaku usaha dapat menembus pasar sebuah negara apabila barang yang diproduksi telah memenuhi standar kualitas minimal suatu barang.

Dalam konteks perdagangan international, syarat pemenuhan standar kualitas barang untuk produk industri diatur dalam The Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement) dan Asean Policy Guideline On Standards And Conformance. Pasal 2.2 TBT Agreement menyebutkan bahwa : “Members shall ensure thattechnical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information, related processing technology or intended end- uses of products (Dona Budi Kharisma dkk, 2017: 434).

Menurut TBT Agreement, pemenuhan dan penerapan standar akan barang/jasa bukanlah hambatan dalam perdagangan internasional. Pemenuhan standar bertujuan untuk menghindari berbagai dampak negatif dari perdagangan bebas. Secara khusus, tujuan tersebut adalah untuk keamanan nasional, mencegah penipuan, melindungi kesehatan dan keselamatan manusia dan lingkungan (Dona Budi Kharisma dkk, 2018: 145). Dalam Asean Policy Guideline On Standards And Conformance, juga ditegaskan bahwa pemenuhan standar oleh negara-negara ASEAN menjadi syarat dalam Asean Economic Community. Artinya, pemenuhan standar menjadi syarat untuk masuk ke negara tujuan.

Namun, walaupun dalam TBT Agreement sudah disepakati mengenai standar international suatu produk barang/jasa, namun negara tujuan masih memiliki otonomi untuk menentukan standar barang/jasa sesuai dengan kebijakan nasional Negara yang bersangkutan khususnya yang berkaitan langsung dengan kesehatan, kemanan dan perlindungan lingkungan hidup. (Devin McDaniels and Marianna Karttunen, 2016 : 3).

Dalam konteks nasional, standar akan kualitas barang dikenal dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perdagangan International, dikenal pula beberapa standar international, seperti standar International Standard Organization (ISO),  standar International Electrotechnical Commission (IEC), standar Codex  Alimentarius Commission (CAC) dan The American National Standards Institute (ANSI) atau The Standards Council of Canada (SCC). ISO adalah organisasi internasional independen non- pemerintah yang memiliki tugas untuk mengembangkan standar international. Pada saat ini, ISO telah menerbitkan 22171 Standar Internasional dan dokumen terkait, yang mencakup hampir disetiap bidang kehidupan seperti industri, teknologi, keamanan pangan, hingga pertanian dan kesehatan. Standar Internasional ISO menjadi rujukan standar international untuk menjamin kualitas akan barang/jasa yang digunakan oleh hampir semua negara di dunia. Beberapa contoh sertifikasi ISO antara lain : ISO 9001 tentang Standar Manajemen Mutu, ISO 14001 tentang Standar Manajemen Lingkungan, ISO 31000 tentang Sistem Manajemen Risiko, ISO 50001 tentang Sistem Manajemen Energi.

Selain ISO, ada pula standar International Electrotechnical Commission (IEC). IEC adalah organisasi non pemerintah di dunia yang mengembangkan dan menetapkan Standar Internasional untuk semua teknologi listrik, elektronik dan yang terkait. Beberapa contoh standar dalam IEC antara lain : IEC 60364 mengatur tentang system kelistrikan Gedung, IEC 61936 mengatur tentang persyaratan umum untuk desain dan pemasangan instalasi daya listrik, IEC 60445 mengatur tentang prinsip dasar dan keamanan terminal peralatan dan penghentian konduktor dan masih banyak lagi standar kelistrikan yang dikeluarkan oleh IEC.

Codex Alimentarius Commission (CAC) atau yang biasa disebut dengan Codex merupakan lembaga independent yang bertugas melaksanakan Joint FAO/WHO Food Standards Programme (program standar pangan FAO/WHO). Codex dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen, menjamin praktek yang jujur (fair) dalam   perdagangan   pangan internasional serta mempromosikan standardisasi pangan. Codex menetapkan standar, pedoman, code of practice dan rekomendasi lainnya yang mencakup bidang komoditi pangan, kentetuan bahan tambahan dan kontaminan pangan, batas maksimum residu pestisida dan residu obat hewan, prosedur sertifikasi dan inspeksi serta metoda analisa dan sampling. Beberapa komoditi pangan yang saat ini dicakup oleh Codex adalah minyak dan lemak, ikan dan produk perikanan, buah dan sayuran segar, buah dan sayuran olahan, jus buah dan sayuran, susu dan produk susu, gula, produk kakao dan cokelat, produk turunan dari sereal, dan lain-lain. Beberapa contoh standar codex antara lain: CAC/GL 17-1993 Guideline Procedures for the Visual Inspection of Lots of Canned Foods for Unacceptable Defects, CAC/GL 79-2012 Guidelines on the Application of General Principles of Food Hygiene to the Control of Viruses in Food, CODEX STAN 98-1981 Standard for Cooked Cured Chopped Meat, CAC/GL 81-2013 Guidance for governments on prioritizing hazards infed, CAC/CRP 54- 2004 Code of Practice on Good Animal Feeding.

Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian (Undang-Undang Standarisasi) menyebutkan bahwa pemenuhan standar barang produk industri bertujuan untuk (a). meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan Pelaku Usaha, serta kemampuan inovasi teknologi; (b) meningkatkan perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan (c). meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan luar negeri.

Selain sebagai jaminan kualitas, pemenuhan standar merupakan upaya perlindungan konsumen. Sebuah produk yang dihasilkan tanpa memperhatikan standar yang berlaku dapat membahayakan keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian lingkungan hidup. Contoh tidak diterapkannya standar yang dapat berdampak pada kesehatan dapat dilihat pada produk mainan anak. Dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No. 24/M-IND/PER/4/2013 yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian No. 55/M- IND/PER/11/2013, untuk produk mainan anak diberlakukan SNI secara wajib. Zat kimia berbahaya yang terkandung dalam mainan yang tidak berlabel SNI di antaranya Petalax, timbal dan merkuri. Apabila zat tersebut masuk kedalam tubuh dapat mengakibatkan kanker dan kerusakan otak yang berdampak pada pertumbuhan anak.

Penerapan SNI juga berkaitan dengan keselamatan. Menurut BSN, sebagian besar kasus kebakaran yang terjadi di Indonesia disebabkan karena peralatan listrik yang digunakan tidak standar SNI. Beberapa peralatan listrik seperti kabel, sekering, sakelar dan lampu yang tidak sesuai standar lebih cepat panas dan mudah terbakar. Selain itu,semakin banyaknya pelaku usaha daring, isu mengenai perlindungan konsumen semakin mengemuka. Banyaknya produk yang dijual secara online harus dapat dijamin keamanannya agar konsumen terlindungi. Artinya, pemenuhan standar tidak hanya terkait dengan daya saing akan tetapi juga perlindungan konsumen.

Namun, hasil pengawasan barang beredar Kementerian Perdagangan di tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 288 sampel produk yang telah di uji, hanya 57,6% yang sesuai dengan ketentuan SNI. Pada tahun 2016, angka tersebut mengalami penurunan menjadi 42%. Dalam Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa berdasarkan hasil uji petik BSN tahun 2016 menunjukkan hal yang serupa dimana jumlah produk yang sesuai ketentuan SNI wajib hanya 44%. Angka  tersebut mengindikasikan masih rendahya kesadaran pelaku UMKM dalam penerapan dan pemenuhan standar. Hal tersebut tampaknya tidak lepas dari berbagai problematika yang timbul terkait penerapan standar. Beberapa problematika tersebut diantaranya: rendahnya awareness pelaku usaha dalam penerapan standar, mahalnya biaya sertifikasi SNI, minimnya   infrastruktur sertifikasi (laboratorium uji dan lembaga sertifikasi produk) dan proses pengurusan SNI yang lama dan rumit.

Dalam Pasal 21 Undang- Undang Standarisasi, penerapan SNI pada prinsipnya dilaksanakan secara sukarela. Namun dalam Pasal 24 Undang-Undang Standarisasi, untuk melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat memberlakukan SNI tertentu secara wajib bagi produk yang dijual di dalam negeri baik yang diproduksi di dalam negeri maupun produk import. Artinya, tidak semua produk industri wajib SNI. Hanya beberapa produk saja yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai SNI wajib yang mana setiap pelaku usaha yang menghasilkan produk tersebut harus memiliki sertifikasi SNI.

Beberapa produk yang wajib SNI antara lain :

a. Mainan anak-anak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 24/M-IND/PER/4/2013 Tahun 2013 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan Secara Wajib yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013.
b. Helm, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 40/M-IND/PER/6/2008 Tahun 2008 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua Secara Wajib sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/4/2009.
c. Air Minum Dalam Kemasan sebagaiman diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69/MIND/PER/7/2009 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Secara Wajib.
d. Kabel, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 42/MIND/PER/3/2010 tentang Pemberlakuan Standar NasionalIndonesia (SNI) Kabel Secara Wajib.
e. Pupuk, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 19/MIND/PER/2/2009 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pupuk Secara Wajib sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37/M-IND/PER/3/2010.
f.  Ban, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 76/M- IND/PER/9/2015 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Ban Secara Wajib.
g. Pompa Air, Seterika Listrik dan TV, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 84/M- IND/PER/8/2010 tentang Pemberlakunan Standar Nasional Indonesia (SNI) Terhadap 3 (tiga) Produk Industri Elektronika Secara Wajib sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17/M-IND/PER/2/2012.

Beberapa barang tersebut telah ditetapkan sebagai SNI wajib. Bagi pelaku industri apabila melanggar ketentuan tersebut maka dapat dikenakan sanksi pidana. Beberapa larangan pelaku industri kaitannya dengan pemberlakuan SNI wajib yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Standarisasi antara lain sebagai berikut:

1)  Pelaku Usaha, kementerian/lembaga pemerintah  nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah wajib memiliki sertifikat SNI yang diberlakukan secara wajib.

2)  Pelaku Usaha yang tidak memiliki sertifikat atau memiliki sertifikat SNI tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau dicabut dilarang:

a.  memperdagangkan atau mengedarkan Barang;
b.  memberikan Jasa; dan/atau
c.  menjalankan Proses atau Sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.

3)  Pelaku Usaha yang memiliki sertifikat SNI dilarang:

a.  memperdagangkan atau mengedarkan Barang;
b.  memberikan Jasa; dan/atau
c.  menjalankan Proses atau Sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.

4)  Pelaku Usaha yang mengimpor Barang dilarang memperdagangkan atau mengedarkan Barang yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.

Dalam Pasal 26 Undang- Undang Standarisasi juga melarang setiap orang dan atau pelaku industri yang tanpa hak menggunakan dan/atau membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian dan memalsukan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian atau membuat Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian palsu. Pelanggaran tersebut juga dapat dikenakan sanksi pidana. Selain sanksi pidana, pelaku industri yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang Standariasi juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa: kewajiban melakukan penarikan Barang yang telah beredar; kewajiban mengumumkan bahwa Barang yang beredar tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan/atau perampasan atau penyitaan Barang dan dapat dimusnahkan.

Categories:

Tinggalkan Balasan