URGENSI LEMBAGA VALUASI DAN PENJAMINAN PATEN DI INDONESIA

URGENSI LEMBAGA VALUASI DAN PENJAMINAN PATEN DI INDONESIA – Paten merupakan salah satu bentuk Kekayaan Intelektual (KI). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten), Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Dengan nilai ekonomis (economic value) dan nilai kemanfaatannya (utility value), Paten mempunyai peranan strategis dalam memajukan kesejahteraan umum dan mendukung pembangunan bangsa. Sehingga, komersialisasi paten seharusnya berkembang di Indonesia, termasuk penggunaan paten sebagai objek jaminan kredit.

Rumusan Pasal 108 ayat (1) Undang- Undang Paten menyatakan bahwa “hak atas paten dapat dijadikan jaminan fidusia”. Sifat norma pada ketentuan tersebut hanya merupakan norma yang bersifat “mengatur” (aanfullen) dan belum menjamin adanya kepastian hukum. Hal ini terjadi karena diartikan secara multitafsir. Ketentuan tersebut diartikan, “hak atas paten dapat tidak diterima sebagai objek jaminan fidusia”. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat dipahami apabila sikap lembaga pemberi pinjaman di Indonesia yang menolak memberikan kredit dengan hak paten sebagai obyek jaminannya. Kondisi demikian menyebabkan dalam praktiknya hingga saat ini belum ada satu pun hak paten yang diterima sebagai obyek jaminan fidusia oleh perbankan di Indonesia.

Terhambatnya komersialisasi paten di Indonesia juga disebabkan beberapa hal, antara lain, belum tersedianya peraturan pelaksana terkait penggunaan hak paten sebagai jaminan dalam sistem penyaluran kredit perbankan sebagaimana diamanahkan Pasal 108 ayat (2) UU Paten, belum tersedianya lembaga penilai / valuasi (appraisal) hak paten untuk memberikan penilaian terhadap nilai ekonomi dari hak tersebut dan belum adanya lembaga penjaminan hak paten di Indonesia. Padahal pertemuan internasional, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Working Group VI on Security Interest pada Sidang ke-13 di New York tahun 2008, telah membahas materi Security Interest in Intellectual Property Rights (hak jaminan dalam KI) akan dijadikan sebagai agunan untuk mendapatkan kredit perbankan secara Internasional.

Asas Kepastian Hukum Eksistensi dan Peranan Lembaga Valuasi dan Penjaminan Paten di Indonesia

Eksistensi dan peranan lembaga pemberian kredit dengan paten sebagai objek jaminannya, seperti Lembaga Valuasi dan Penjaminan Paten belum ada di Indonesia. Berkaitan erat dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan) harus dijadikan landasan menegaskan eksistensi dan peranan lembaga penjaminan KI di Indonesia. UU Penjaminan dinahkodai oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memiliki kewenangan mengatur jasa keuangan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomo 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK).

Khusus eksistensi dan peranan lembaga penjaminan paten, menelaah sejarah pembentukan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) pada tahun 1970 an oleh Kementerian Transmigrasi dan Koperasi, yang menurut penjelasan umum UU Penjaminan, berfungsi menjamin kredit program yang disalurkan bank (BRI) bagi koperasi saat itu. Pembentukan PT. Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia  (PT. PKPI) tahun 1996, dan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) yang terus berkembang sejak tahun 2008 hingga sekarang. Berdasarkan pembentukan lembaga-lembaga penjaminan tersebut, apabila eksistensi hak paten diterima sebagai objek jaminan kredit, maka mutlak diperlukan pula pembentukan lembaga penjaminan hak paten khususnya dan KI pada umumnya, sebagai suatu perubahan yang harus direspon secara cepat dan komprehensif. Hukum jaminan di Indonesia perlu melakukan pembaharuan dengan mengatur pula tentang eksistensi dan peranan serta tata cara pemberian kredit dengan objek jaminan berupa hak paten dan/atau KI lainnya. Hal ini harus sejalan dengan maksud dan tujuan UU Penjaminan. Adanya suatu peraturan perundang- undangan dalam hukum jaminan di Indonesia yang mengatur pembentukan lembaga penjaminan hak paten dan/atau KI lainnya, akan semakin menegaskan implementasi asas kepastian hukum dalam pemberian kredit dengan jaminan hak paten dan/atau KI lainnya dan akan tercapai harmonisasi hukum jaminan di Indonesia khusus terkait pemberian kredit dengan jaminan hak paten dan/atau KI lainnya. Harmonisasi dimaksud antara UU Paten, UU Penjaminan, UU Perbankan, dan UU Jaminan Fidusia.

Pembentukan Lembaga Penjaminan Paten dalam rangka pemberian kredit, setidaknya sejalan dengan tujuan usaha penjaminan sebagaimana diatur pada Pasal 3 huruf b UU Penjaminan, yaitu untuk “meningkatkan akses bagi dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dan usaha prospektif lainnya kepada sumber pembiayaan”. Dengan demikian, keberadaan lembaga penjaminan hak paten dan/atau KI lainnya akan meningkatkan akses sumber pembiayaan komersialisasi hak paten dan/atau KI lainnya.

Lembaga Penjaminan Paten ini mutlak dipersyaratkan berdasarkan UU Penjaminan, harus ada 3 (tiga) pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum penjaminan, yaitu Penjamin, Terjamin (yang menjaminkan), dan Penerima Jaminan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari pengertian Jaminan pada Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan, yang menyatakan bahwa, “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan”.

Ketiga subyek hukum yang terlibat dalam kegiatan penjaminan tersebut, dirinci pengertiannya pada Pasal 1 angka 11 sampai angka 13 UU Penjaminan, yaitu:

“Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.”

Lembaga penjaminan hak paten dan/atau KI lainnya dapat berkoordinasi dengan instansi pemerintah, seperti Kementerian BUMN, Ditjen KI Kemenkumham RI, dan Kementerian Perdagangan   untuk  memberikan penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh BUMN dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Hal tersebut dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Penjaminan. Kemitraan atau koordinasi antara Lembaga penjaminan hak paten dan/atau KI lainnya dengan instansi pemerintah menjadi salah satu kata kunci meningkatkan pembiayaan bagi hak paten untuk dikomersialisasi di Indonesia.

Guna mendorong pembiayaan komersialisasi hak paten di Indonesia, Pemerintah dapat menunjuk atau menugaskan Lembaga Penjamin milik Pemerintah. Ketentuan Pasal 4 ayat (5) UU Penjaminan tersebut dapat pula dijadikan dasar hukum bagi penetapan kebjakan Pemerintah dalam mendorong komersialisasi hak paten di Indonesia melalui pembiayaan/kredit. Pemerintah Daerah juga dapat mendirikan Lembaga Pembiayaan berbentuk PT untuk membiayai komersialisasi hak paten yang dihasilkan oleh inventor (dan/atau investor) yang berada di wilayahnya, sebagaimana diatur pada Pasal 7 huruf b dan Pasal 9 UU Penjaminan. Sayangnya, tidak ada ketentuan khusus dalam UU Penjaminan terkait Hak Paten sebagai objek jaminan dan mengatur tentang pemberian kredit terhadap hak paten dan/atau KI lainnya.

Categories:

Tinggalkan Balasan