TINDAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PELANGGARAN WILAYAH UDARA INDONESIA
6 min readTINDAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PELANGGARAN WILAYAH UDARA INDONESIA – Pada tanggal 6 April 2021 yang lalu sebuah pesawat tempur asing jenis F/A-18 Hornet diidentifikasi melintasi Perairan Natuna, Kepulauan Riau sekitar pukul 16.15 WIB. Kendati tidak masuk wilayah teritorial Indonesia, pesawat tersebut diketahui memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Pesawat tersebut berada di atas floating, production, storage and off loading Vessel (FPSO) Kakap Natuna yang dioperasikan perusahaan minyak Indonesia dan berada di wilayah ZEE Indonesia. Tepatnya, sekitar 169 mile di sebelah barat dari Kepulauan Natuna. Atas kejadian tersebut, pihak TNI AU menyampaikan bahwa pesawat melintas di luar wilayah teritorial Indonesia. Dan saat ini, TNI AU sedang mendalami kejadian tersebut dengan pihak terkait. (Kompas, 7 April 2021)
Meskipun insiden melintasnya pesawat tempur F/A-18 Hornet yang diduga kuat dimiliki oleh Amerika Serikat berada di luar wilayah udara teritorial Indonesia, namun insiden tersebut perlu mendapat perhatian serius. Kejadian tersebut menjadi salah satu indikasi bahwa wilayah udara teritorial Indonesia rentan disusupi oleh pesawat terbang asing tidak terjadwal. Maraknya pelanggaran pesawat udara asing tidak terjadwal di wilayah udara yurisdiksi Indonesia menunjukkan bahwa konsep ruang udara Indonesia masih relatif terbuka. Pihak TNI AU yang mengemban tugas menegakkan hukum dan mengamankan wilayah udara yurisdiksi nasional mengakui bahwa hal tersebut bukanlah pekerjaan mudah.
Pelanggaran wilayah udara nasional berbeda dengan tindakan kriminal biasa pada umumnya. Pelanggaran wilayah udara berdampak pada aspek pertahanan dan kedaulatan negara. Penanganan pelanggaran pesawat udara asing harus melibatkan tim investigasi terpadu lintas instansi/lembaga. Di antaranya, Ditjen Imigrasi, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Perhubungan Udara, Kesehatan Bandara, dan Badan Karantina. Dalam keadaan darurat pihak TNI AU dapat melakukan tindakan pemaksaan mendarat atau force down yang menjadi wewenang TNI AU kepada pesawat asing yang melintas di wilayah Indonesia tetapi tidak mengantongi izin. Penegakkan hukum ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia (Pamwilud) dan Prosedur Tetap Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas).(Kompas, 4 September 2020)
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, penanganan kasus pelanggaran pesawat asing yang berujung pada pendaratan paksa membutuhkan koordinasi yang kuat di antara kementerian dan lembaga. Oleh sebab itu, Kemenko Polhukam menginisiatif pembuatan Kesepakatan Bersama Penanganan Pesawat Udara Asing Setelah Pemaksaan Mendarat (Force Down). Menkopolhukam mencontohkan kurangnya mekanisme koordinasi dalam pemaksaan pendaratan itu terjadi pada insiden pesawat Ethiopian Airlines jenis Boeing B777 dengan nomor registrasi ET-AVN pada 14 Januari 2019. Saat itu, dua jet tempur F-16 Fighting Falcon TNI AU memaksa pesawat komersil itu force down karena tak memiliki izin melintasi wilayah udara Indonesia.
Menurut Menkopolhukam tindakan force down yang dilakukan TNI AU kepada Ethiopian Airlines telah memberikan peringatan kepada kita semua, terhadap pentingnya koordinasi antara kementerian dan lembaga khususnya dalam penanganan pesawat udara yang telah di force down. Ketika itu, penanganan pasca-force down terhadap pesawat yang tak memiliki izin lintas itu memakan waktu yang berlarut-larut. Hal ini terjadi lantaran belum ada kesepakatan antara lembaga.
Akhirnya, pihak maskapai Ethiopia itu malah mengajukan keberatan dan gugatan karena tidak ditangani secara cepat dan malah memicu kerugian. Harus ada koordinasi antar unit kerja kementerian lembaga di lapangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, sehingga bukan hanya sebatas aturan dan tata cara tertulis, tetapi bisa dimanfaatkan maksimal dan sebagai uji fungsi, pemahaman pada prakteknya di lapangan. (CNN Indonesia, 4 September 2020).
Terkait prosedur intersepsi dan pemaksaan mendarat terhadap pesawat udara sipil asing tidak berizin yang memasuki wilayah udara Indonesia pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku di Indonesia. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan peraturan turunannya, yaitu PP No. 4 Tahun 2018 tentang Pamwilud. Selain itu terkait pelibatan TNI dalam penegakan hukum di wilayah kedaulatan Indonesia didasarkan pada UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, sedangkan mengenai kedaulatan wilayah negara Indonesia tercantum pada UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Peraturan teknis mengenai lalu-lintas udara di wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia diatur oleh Kementerian Perhubungan melalui beberapa peraturan, antara lain Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2015 tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga dan Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri dengan Pesawat Udara Sipil Asing Ke dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 78 Tahun 2017 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Penerbangan serta Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: SKEP/195/IX/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Persetujuan Terbang (flight approval).
Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa NKRI berdaulat penuh dan eksklusif terhadap wilayah udara Republik Indonesia. Hal ini secara tegas menyatakan bahwa Indonesia memiliki kedaulatan yang utuh terhadap wilayah udara kedaulatannya sesuai Konvensi Chicago Tahun 1944 dan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) Tahun 1982. Disebutkan juga dalam Penjelasan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan bahwa ketentuan Pasal ini hanya mengatur penggunaan wilayah.
Berdasarkan Pasal 10 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa Angkatan Udara mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas TNI matra udara di bidang pertahanan; menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara; serta melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara.
Guna memberikan pedoman serta regulasi bagi pesawat udara sipil asing yang melakukan aktivitas di wilayah udara Indonesia, Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2015 tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga dan Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri dengan Pesawat Udara Sipil Asing Ke dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam peraturan ini mewajibkan pesawat udara sipil asing yang melakukan kegiatan angkutan udara bukan niaga dan niaga tidak terjadwal luar negeri yang akan tiba atau berangkat dari wilayah NKRI untuk mendapatkan izin terbang yang meliputi diplomatic clearance, security clearance dan flight approval. Hal ini diperkuat oleh Pasal 10 PP No. 4 Tahun 2018 tentang Pamwilud yang menyatakan bahwa pesawat udara sipil asing tidak berjadwal yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara wajib memiliki ketiga izin tersebut dan jika tidak memiliki izin merupakan pelanggaran yang akan ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Mengenai pesawat sipil niaga asing yang tidak terjadwal, UU No. 11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja memberikan peraturan baru yang mengubah ketentuan dalam Pasal 93 UU No. 1 Tahun 2009. Sebagai konteks luasnya, perubahan-perubahan tentang soal penerbangan pada UU No. 1 Tahun 2009 ditetapkan dalam Pasal 58 UU Cipta Kerja. Dalam ketentuan UU Cipta Kerja, pesawat sipil niaga asing yang tidak berjadwal, baik yang pesawat niaga nasional dari suatu negara atau pesawat yang dimiliki oleh badan niaga asing, mesti mendapatkan persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat Indonesia untuk dapat memasuki wilayah udara Indonesia. Lebih detail lagi, terkait pesawat sipil niaga asing tidak terjadwal, Pasal 94 UU No. 1 Tahun 2009 yang telah diperbarui UU Cipta Kerja juga menentukan bahwa pesawat tersebut tidak boleh mengangkut penumpang dari Indonesia, kecuali penumpang tersebut adalah penumpang pesawat itu yang diturunkan dalam penerbangan sebelumnya. Sementara pasal berikutnya, yakni Pasal 95, menggariskan bahwa pesawat tersebut juga tidak boleh mengangkut kargo dari Indonesia, kecuali diberi izin langsung dari Pemerintah Pusat. Sanksi atas pelanggaran ketentuan-ketentuan mengenai pesawat sipil niaga asing tidak terjadwal ini digariskan dalam Pasal 418 UU No. 1 Tahun 2009 yang telah diperbarui pada UU Cipta Kerja.(Mahatma Chryshna, 2021)
Dalam PP No. 4 Tahun 2018 tentang Pamwilud disebutkan bahwa Persetujuan Terbang (flight approval) dikeluarkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. Izin keamanan (security clearance) diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan bidang pertahanan, sedangkan izin diplomatik (diplomatic clearance) merupakan persetujuan terbang yang diterbitkan oleh menteri yang berurusan dengan bidang luar negeri. Apabila ketiga izin tersebut tidak terpenuhi, maka pesawat udara sipil asing yang memasuki wilayah udara Indonesia dapat dikategorikan sebagai black flight. Berbeda dengan pesawat sipil, pesawat udara negara/militer asing hanya perlu memiliki dua izin saja untuk melintasi wilayah udara Indonesia, yaitu diplomatic clearance dan security clearance.
Pesawat udara yang dilakukan pemaksaan mendarat oleh pesawat tempur TNI AU dilakukan tindakan penyelidikan awal oleh TNI, yaitu pemeriksaan dokumen, pemeriksaan pesawat serta pemeriksaan personel pesawat dan penumpangnya. Jika terdapat tindakan pelanggaran hukum maka awak pesawat udara akan dilakukan tindakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses hukum selanjutnya akan dilakukan penyelidikan oleh PPNS Penerbangan Kementerian Perhubungan yang disupervisi oleh Penyidik dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Ketika dilakukan pemaksaan mendarat terhadap pesawat udara sipil asing maka pilot pesawat udara TNI AU wajib memperhatikan aerodome (
Kedepannya untuk mencegah terjadi lagi pelanggaran wilayah udara, maka diperlukan penataan regulasi yang jelas, efektif dan harmonis; penegakan hukum yang tegas dan konsisten; koordinasi yang kuat antar instansi, termasuk civil-military coordination.