Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-undangan
3 min readDualisme Pengujian Peraturan Perundang-undangan Apakah Menjamin Kepastian Hukum? – Pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan titik singgung antara kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dengan adanya kewenangan yang saling beririsan ini menimbulkan problematika bagi Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung dalam menjalankan wewenangnya untuk menguji peraturan perundang-undangan. Seperti yang sudah diketahui, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Di samping itu, Mahkamah Agung juga memiliki wewenang dalam pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Bila mengingat adanya hierarki perundang-undangan yang membuat seluruh peraturan saling terikat maka, dapat dikatakan wewenang Mahkamah Agung tergantung juga dengan pelaksanaan wewenang oleh Mahkamah Konstitusi. Lantas, apakah dualisme ini bisa membuat pengujian lebih efektif dan menjamin terwujudnya kepastian hukum atau justru sebaliknya?
Wewenang Mahkamah Konstitusi yang utama adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, dan ini juga yang mendasari Mahkamah Konstitusi menyandang kedudukan sebagai court of law. Wewenang ini sebagai wujud dari supremasi konstitusi yang diselenggarakan sebagai dasar pemerintahan di Indonesia. Dasar pemberian wewenang untuk Mahkamah Konstitusi ini ada dalam Pasal 24 C ayat 1 UUD 1945.
Secara eksplisit dituliskan bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya dalam hal menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan menurut Pasal 24A ayat 1 UUD 1945, peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang wewenang untuk mengujinya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Bila diamati, sesungguhnya yurisdiksi pengujian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi lebih sempit dibandingkan Mahkamah Agung. Menurut Simon Butt, pemisahan ini bisa menyebabkan ketidakpastian hukum dan dalam praktiknya berpotensial untuk menimbulkan masalah karena wewenang yang saling beririsan ini.
Dalam praktiknya, terdapat pengaturan dalam rangka mengkoordinasi sistem pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang tercantum pada Pasal 55 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Koordinasi yang dimaksud adalah, apabila terdapat pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi maka, pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung harus dihentikan terlebih dahulu sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya dua Lembaga Negara yang memiliki wewenang dalam menguji peraturan perundang-undangan tentu bukanlah suatu hal yang ideal. Kondisi ini memiliki potensi besar akan terjadinya ketidakselarasan putusan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Koordinasi yang baik dalam suatu lembaga saja belum tentu bisa mensinkronkan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, apalagi bila dilakukan oleh dua Lembaga Negara yang berbeda.
Walaupun sudah ada aturan yang mengkoordinasi pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi dalam pelaksanaannya bisa menjamin secara pasti terjadinya keselarasan pandangan antara kedua Lembaga Negara tersebut. Hal ini bisa menjadi benih konflik antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seperti yang terjadi pada pengujian peraturan KPU pada tahun 2009. Oleh karena itu, sangat beresiko bila pengujian peraturan perundang-undangan dilakukan oleh dua institusi kehakiman.
Selain itu bila melihat lingkup peraturan yang bisa diuji oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sebenarnya saling terkait. Peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap undang-undang, sesungguhnya tidak menutup kemungkinan juga bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal pengujian, haruslah menjadikan UUD 1945 sebagai batu uji yang utama. Seperti pendapat Maruarar Siahaan, justru peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sering bertentangan dengan UUD 1945. Lantas, dalam hal ini hanya Mahkamah Agung yang berwenang menguji dan pengujian hanya terbatas pada undang-undang. Belum lagi ini menyangkut kesinkronan pandangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang sama sekali tidak bisa dijamin dengan adanya aturan yang mengkoordinasi keduanya.
Maka dari itu, idealnya pengujian peraturan perundang-undangan dilakukan oleh satu Lembaga Negara saja. Interpretasi UUD 1945 sangat krusial dan tidak ada toleransi bila ada perbedaan pandangan karena dapat menyebabkan dasar pembuatan aturan yang tidak jelas. Seluruh peraturan harus berada dalam satu koridor yaitu berdasarkan UUD 1945 dengan suatu interpretasi yang paten dan dapat dijadikan pondasi dalam membangun peraturan perundang-undangan lainnya.