Mahkamah Konstitusi RI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia – Pemikiran mengenai pentingnya suatu mahkamah konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding undangundang. Namun ide ini ditolok oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini. Ide pembentukan Mahkamah konstitusi pada era reformasi, mulai dikemukakan pada masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), yaitu setelah seluruh anggota Badan Pekerja MPR RI melakukan studi banding di 21 negara mengenai konstitusi pada bulan Maret-April tahun 2000. Ide ini belum muncul pada saat perubahan pertama UUD 1945, bahkan belum ada satu pun fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengajukan usul itu. Nampaknya para anggota MPR sangat terpengaruh atas temuannya dalam studi banding tersebut. Walaupun demikian pada Sidang Tahunan MPR bulan Agustus tahun 2000, rancangan rumusan mengenai mahkamah konstitusi masih berupa beberapa alternatif dan belum final.
Sesuai rancangan tersebut, mahkamah konstitusi di tempatkan dalam lingkungan mahkamah agung, dengan kewenangan untuk melakukan uji materil atas undang-undang; memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang; serta kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Ada usulan alternatif, agar di luar kewenangan tersebut mahkamah konstitusi juga diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah Sesuai rancangan tersebut, mahkamah konstitusi di tempatkan dalam lingkungan mahkamah agung, dengan kewenangan untuk melakukan uji materil atas undang-undang; memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang; serta kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Ada usulan alternatif, agar di luar kewenangan tersebut mahkamah konstitusi juga diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah lingkungan mahkamah agung atau ditempatkan terpisah dari lingkungan mahkamah agung tetapi masih dalam rumpun kekuasaan kehakiman, dan persoalan kedua apa saja yang menjadi kewenangan mahkamah konstitusi.
Pertama, disepakati bahwa mahkamah konstitusi ditempatkan terpisah dan di luar lingkungan mahkamah agung akan tetapi tetap dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini adalah lembaga yang sangat penting untuk membangun negara yang berdasar sistem konstitusionalisme, sehingga lembaga ini berdiri sejajar dengan lembagalembaga negara lainnya yang secara tegas ditentukan kedudukan dan kewenangannya dalam undang-undang dasar. Terdapat kekhawatiran bahwa mahkamah agung tidak akan mampu membawa misi besar mahkamah konstitusi untuk membangun sistem konstitusionalisme karena pekerjaan mahkamah agung yang pada saat itu tidak mampu menyelesaikan perkara-perkara kasasi dan peninjauan kembali yang menumpuk. Jika ditambah lagi dengan tugas-tugas mahkamah konstitusi dikhawatirkan pekerjaan mahkamah agung akan terbengkalai. Pada sisi lain dibutuhkan satu mahkamah tersendiri yang berdiri sejajar dengan mahkamah agung dan lembagalembaga negara lainnya untuk menjalankan tugas mengawal sistem konstitusionalisme Indonesia. Dengan demikian posisi mahkamah konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia menjadi kuat.
Kedua, kewenangan mahkamah konstitusi disepakati untuk ditentukan secara limitatif dalam undang-undang dasar. Kesepakatan ini mengandung makna penting, karena mahkamah konstitusi akan menilai konstitusionalitas dari suatu undang-undang atau sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya ditentukan dalam undangundang dasar, karena itu sumber kewenangan mahkamah konstitusi harus langsung dari undang-undang dasar. Dengan demikian tidak ada ada satu lembaga negara yang dapat mempermasalahkan atau menggugurkan putusan mahkamah konstitusi. Pada sisi lain mahkamah konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi tidak melakukan tindakan atau memberikan putusan yang keluar dari kewenangannya yang secara limitatif ditentukan dalam undang-undang dasar. Demikian juga halnya pembentuk undangundang tidak dapat mengurangi kewenangan mahkamah konstitusi melalui ketentuan undang-undang sehingga melumpuhkan ide dasar pembentukan mahkamah konstitusi. Dengan prinsip inilah dihapus kesepakatan awal yang memungkinkan adanya kewenangan lain mahkamah konstitusi yang ditentukan undang-undang sebagaiman draft awal PAH I BP MPR RI tahun 2000.
Pembentukan mahkamah konstitusi diperlukan untuk menegakkan prinsip negara hukum Indonesia dan prinsip konstitusionalisme. Artinya tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundangundangan lainnya yang bertentangan dengan undang-undang dasar sebagai puncak dari tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Dalam rangka pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dibutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Tugas mahkamah konstitusilah yang menjaga konstitusionalitas hukum itu. Pembentukan mahkmah konstitusi juga terkait dengan penataan kembali dan reposisioning lembaga-lembaga negara yang sebelum perubahan UUD 1945 berlandaskan pada supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelum perubahan berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, diubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, telah membawa implikasi yang sangat luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya, sebelum perubahan, kedaulatan rakyat berpuncak pada MPR, dan MPR-lah sebagai penyelesaian final atas setiap masalah ketatanegaraan yang muncul baik atas konstitusionalitas dari suatu undangundang maupun penyelesaian akhir sengketa antar lembaga negara. Dengan dasar konsepsional inilah ketetapan MPR RI No. III Tahun 2000 menentukan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dilakukan oleh MPR dan setiap lembaga negara melaporkan penyelenggaraan kinerjanya kepada MPR setiap tahun.
Implikasi perubahan Pasal 1 ayat (2) tersebut, posisi MPR sejajar dengan lembagalembaga negara lainnya dan masing-masing lembaga negara adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan kewenangannya yang ditentukan undang-undang dasar. Dengan demikian MPR melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai ketentuan undang-undang dasar, serta dalam hal-hal tertentu mengangkat presiden dan/atau wakil presiden. Mahkamah konstitusi merupakan pelaksana kedaulatan rakyat untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam undang-undang dasar, memutus sengketa pemilihan umum serta memutus pembubaran partai politik. Demikian juga lembaga negara yang lainnya adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan wewenangnya yang ditentukan dalam undang-undang dasar.
Kewenangan mahkamah konstitusi yang dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan atas suatu undang-undang produk legislatif produk DPR dan Presiden serta memutuskan sengketa antar lembaga negara, menunjukkan posisinya yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini wajar saja karena Undang-Undang Dasar memberikan otoritas kepada Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir paling absah dan authentik terhadap konstitusi. Walaupun demikian, pendapat dan penafsiran hukum mahkamah konstitusi yang dapat diterima penafsiran yang dikeluarkan melalui putusannya atas permohonan yang diajukan kepadanya sesuai lingkup kewenangannya untuk mengadili dan memutus suatu perkara. Dengan posisi yang demikian penting itu undang-undang dasar menetapkan kwalifikasi yang sangat ketat bagi anggota mahkamah konstitusi, antara lain memiliki integiritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Sembilan orang anggota mahkamah konstitusi juga merepresentasikan tiga unsur lembaga negara yaitu masingmasing-masing 3 orang anggota yang diajukan oleh presiden, DPR dan mahkamah agung.
Tinggalkan Balasan