Syarat Menjadi Hakim dalam Sistem Peradilan Islam
4 min readSyarat – Syarat Menjadi Hakim dalam Sistem Peradilan Islam – Hakim merupakan salah satu unsur terpenting dalam lembaga Peradilan Agama. Ia memainkan peran yang sangat penting dalam melaksanakan pemberlakuan Hukum Islam dan merupakan orang yang paling bertanggungjawab sepenuhnya dalam menjaga dan mempertahankan Hukum Islam. Menurut pasal 11 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa “Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman”. Oleh karena itu wajar apabila Undang-Undang menentukan syarat pengangkatan hakim. Syarat yang paling utama berbeda bagi Hakim dilingkungan Pengadilan Agama dibanding dengan
lingkungan Peradilan lain adalah “mutlak“ harus beragama islam. Sedang pada
lingkungan Peradilan lain, Agama tidak dijadikan sebagai syarat.
Adapun syarat-syarat Hakim yang ditetapkan fikh Islam bagi seorang hakim
dapat disebutkan secara global sebagai berikut :
Pertama, harus orang dewasa. Karena itu tidak sah pengangkatan anak kecil
sebagai hakim. Sebagaimana juga tidak sah pengangkatan perempuan sebagai hakim
menurut tiga Imam : Maliki, Syafi‟ dan Hambali, kecuali Imam Abu Hanifah yang
memperbolehkan perempuan sebagai hakim dalam suatu masalah yang disahkan
perempuan menjadi saksinya.
Persaksian perempuan bagi Abu Hanifah dinyatakan sah dalam segala sesuat kecuali dalam masalah pidana. Bahkan Ibnu Jarir Ath-Thabari membolehkan perempuan sebagai hakim dalam segala hal yang hakimnya dipegang oleh laki-laki tanpa pengecualian apapun. At-Thabari menganalogikan pendapatnya tersebut kepada pendapat yang memperbolehkan perempuan yang berfatwa dalam seluruh masalah fikih. Tampaknya pendapat at-Thabari ini adalah yang lebih kuat karena beberapa alasan sebagaimana Al-Qur‟an mempersamakan perempuan dengan laki-laki dalam banyak ayat al-Qur‟an, diantaranya firman Allah QS. Al-baqarah:228
Yang artinya “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”.
Kedua, seorang yang berakal. Sebab hakim harus benar pemilihannya dan bagus kecerdasannya sehingga dapat menjelaskan sesuatau yang rumit
Ketiga, Muslim. Ini disebabkan keislaman merupakan syarat diperbolehkannya persaksian terhadap orang muslim. Akan tetapi, madzhab Hanafi memperbolehkan pengangkatan non muslim sebagai hakim terhadap non-muslim. Sebab, kelayakan peradilan berkaitan dengan kelayakan persaksian, sedangkan nonmuslim diperbolehkan menjadi saksi terhadap generasi penerus kelompoknya.
Sebagaimana madzhab Hambali, Syuraih, An-Nakha‟i, Al-Auza‟i, Ibnu
Mas‟ud, Abu Musa, Zhahirih dan Imamiah memperbolehkan diterimanya persaksian
non muslim dalam wasiat seorang muslim ketika dalam bepergian.59 Dinukil dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa pendapat Imam Ahmad tentang diterimanya
persaksian non-muslim dalam hal ini dikarenakan kondisi darurat. Alasan ini
mengharuskan diterimannya persaksian dalam segala keadaan darurat, baik ketika
sedang mukim maupun bepergian.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa persaksian haruslah berasal dari kaum muslimin yang adil. Allah SWT berfirman yang artinya: “Apabila mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukillah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.”
Dengan demikian, bahwa persaksian non-muslim terhadap orang muslim diperbolehkan dalam masalah-masalah perdata selain talak dan yang berkaitan dengannya. Selama asas peradilan adalah persaksian sebagaimana dikatakan madzhab Hanafi maka dapat disebutkan alasan dalam memahami pendapat yang mengatakan bolehnya hakim non-muslim menangani perkara muslim dalam batasan sesuatu yang memang persaksian non-muslim itu di perbolehkan.
Keempat, adil yaitu benar sikapnya, jelas amanatnya, menjaga diri dari hal-hal yang haram, dan aman dalam ridha dan ketika marah
Kelima, mengetahui hukum-hukum syari‟ah, baik dasar-dasar syari‟ah maupun cabang-cabangnya. Adapun dasar syari‟ah ada 4 (empat), yaitu :
- Mengetahui Al-Qur‟an tentang hukum-hukum yang tercangkup di dalamnya, baik yang menghapuskan (nasikh) maupun yang dihapuskan (mansukh), muhkamat dan mutasyabihat, umum dan khusus, global dan terperinci.
- Pengetahuan tentang sunnah Rasulullah yang shahih, baik dalam bentuk
perbuatan, ucapan, maupun cara datangnya (asbabul wurud). - Mengetahui pendapat ulama‟ salaf tentang apa saja yang mereka sepakati (ijma‟) dan yang mereka perselisihkan untuk mengikuti ijma‟ dan berijtihad dengan pendapatnya dalam masalah yang diperselisihkan.
- Mengetahui qiyas yang bisa membantu dalam mengembalikan masalah cabang yang didiamkan kepada dasar-dasar yang dijadikan rujukan dan yang disepakati.
Keenam, sehat pendengarannya, penglihatan dan ucapan. Sebab orang yang bisa tidak dapat mengatakan hukum, dan semua manusia tidak memahami isyaratnya. Adapun orang yang tuli tidak bisa mendengar ucapan dua pihak yang bersengketa. Sedangkan orang buta tidak dapat mencermati kasus yang dihadapi. Namun demikian, kesempurnaan anggota badan tidak dinilai dalam hal ini. Maka seorang hakim diperbolehkan memutuskan hukum walaupun dia lumpuh, walaupun hakim yang tidak cacat tentu akan membuatnya lebih berwibawa.
Selain keislaman, tidak ada perbedaan dengan persyaratan Hakim pada umumnya. Semua syarat yang ditentukan pasal 13 Undang-undang No 7 tahun 1989, merupakan syarat yang harus terpenuhi (tidak boleh kurang) Adapun syarat-syarat sebagai berikut :
- Warga Negara Republik Indonesia
- Beragama Islam.
- Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
- Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam gerakan Kontra Revolusi G.30 S/PKI.
- Pegawai Negeri
- Sarjana syari‟ah atau sarjana hukum yang menguasai Hukum Islam.
- Berumur serendah-rendahnya 25 tahun.
- Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik