Korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal itu dipertegas dan diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Begitu pula tertuang di Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 berusaha untuk mendayagunakan kembali Pasal 103 Undang-undang Narkotika yang menyatakan bahwa hakim dapat memutus pencandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi.
Dalam surat edaran tersebut, menyebutkan lima syarat untuk mendapatkan putusan rehabilitasi yaitu:
1) terdakwa ditangkap dalam kondisi tertangkap tangan
2) pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian satu hari (terlampir dalam SEMA)
3) surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika
4) surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater
5) tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Selama ini, aparat penegak hukum masih memandang UU Narkotika berorientasi pada pemenjaraan bagi pengguna atau pencandu narkoba, sehingga mereka dianggap seperti penjahat. Padahal, pada tahun 2014 telah dicanangkan pemerintah sebagai tahun penyelamatan korban penyalahgunaan narkoba melalui rehabilitasi.
Dalam upaya mengubah paradigma pemidanaan pengguna narkoba Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kemenkumham, MA, Kemensos, Kemenkes menandatangani Peraturan Bersama Tahun 2014 tentang Rehabilitasi Pecandu Narkotika.
Melalui peraturan itu, jika seseorang ditangkap penyidik Polri atau BNN menggunakan atau memiliki narkotika, maka akan tetap diproses secara hukum dengan dakwaan Pasal 127 UU Narkotika yang putusannya menjatuhkan perintah rehabilitasi. Adapun karena Pasal 127 UU Narkotika ancaman hukumannya di bawah 5 tahun, sehingga tidak perlu ditahan.
Penentuan apakah layak direhabilitasi atau tidak, tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Faktor yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi adalah surat keterangan medis, surat keterangan kejiwaan dari dokter jiwa atau psikiater dan keberadaan ahli.
Namun, meski masih dalam proses peradilan pidana, baik itu penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan sidang di pengadilan. Tanpa menunggu putusan hakim terlebih dahulu, penyidik, jaksa penuntut umum, atau hakim bisa saja meminta asesmen terhadap tersangka atau terdakwa sebelum ditempatkan di lembaga rehabilitasi. (Tim Na/Rs)
Tinggalkan Balasan