Pertanyaan
Bagaimana cara membuktikan perjanjian yang dilakukan tidak tertulis di pengadilan?
Ulasan
Hukum acara perdata sebagai hukum formil yang mengatur cara menegakkan hukum perdata materiil, terdapat lima alat bukti yang telah diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 164 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), yakni:
- Bukti tulisan
- Bukti dengan saksi
- Persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah
Pada ketentuan Pasal 1320 KUHPer tentang syarat sahnya suatu Perjanjian, berbunyi:
Untuk sahnya suatu perjanjan diperlukan empat syarat:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
- Suatu hal tertentu.
- Suatu sebab yang halal.
Berdasarkan ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian tersebut, tidak ada satupun syarat dalam Pasal 1320 KUHPer yang mengharuskan suatu perjanjian dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, suatu perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, pacta sun servanda (Pasal 1338 KUHPer).
Namun demikian, dalam proses pembuktian suatu perkara perdata, lazimnya alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang mendalilkan sesuatu (Pasal 163 HIR) adalah alat bukti surat. Hal ini karena dalam suatu hubungan keperdataan, suatu surat/akta memang sengaja dibuat dengan maksud untuk memudahkan proses pembuktian, apabila di kemudian hari terdapat sengketa perdata antara pihak-pihak yang terkait. Dalam hal ini, saya akan mengambil contoh perjanjian utang-piutang secara lisan.
Dalam hal suatu perjanjian utang-piutang secara lisan, maka alat-alat bukti lainnya selain alat bukti surat (Pasal 1866 KUHPer dan Pasal 164 HIR) dapat diterapkan. Untuk mempersingkat batasan pembahasan atas pertanyaan Anda, maka saya mengasumsikan ada saksi yang mengetahui adanya perjanjian utang-piutang secara lisan tersebut. Untuk itu, jika seorang pihak (Penggugat) ingin mendalilkan mengenai adanya suatu suatu perjanjian utang-piutang secara lisan ke Pengadilan, maka Penggugat tersebut dapat mengajukan alat bukti saksi yang dapat menerangkan adanya perjanjian utang-piutang secara lisan tersebut.
Sebagai gambaran untuk Anda, dalam hal seorang Penggugat mengajukan saksi untuk menguatkan dalil mengenai adanya suatu perjanjian utang-piutang secara lisan, maka dikenal prinsip Unus Testis Nullus Testis, yang ditegaskan dalam Pasal 1905 KUHPer sebagai berikut:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka Pengadilan tidak boleh dipercaya”
Artinya bahwa seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau perjanjian, karena terdapat batas minimal pembuktian dalam mengajukan alat bukti saksi, yaitu paling sedikit dua orang saksi, atau satu orang saksi disertai dengan alat bukti yang lain, misalnya adanya pengakuan dari pihak lawan yang membuat perjanjian tersebut (Pasal 176 HIR) atau dalam hal adanya persangkaan (Pasal 173 HIR), misalnya sudah ada sebagian utang yang dicicil kepada Penggugat tersebut. (Tim Na/Ty)
Tinggalkan Balasan