Harmonisasi Definisi Saksi dalam Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
6 min readHarmonisasi Definisi Saksi dalam Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) – Semua orang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan berkekuatan hukum tetap, demikian disebutkan pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Membuktikan seseorang bersalah atau tidak melakukan suatu tindak pidana, diperlukan tolak ukur yang jelas, jika tidak terpenuhi, maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana. Dalam perkara pidana, penuntut umum lah yang diberi tanggung jawab untuk membuktikan tindak pidana telah dilakukan oleh terdakwa dan perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut sistem pembuktian negatif. Sistem pembuktian ini diakomodir Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat bukti adalah hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, digunakan sebagai alat untuk membuktikan suatu perbuatan dalam pengadilan. Dalam perkara pidana, alat bukti yang dimaksud adalah alat bukti yang ditentukan oleh KUHAP ataupun undang-undang khusus yang mengatur tentang pembuktian perkara tersebut. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang paling diandalkan untuk membuktikan suatu perkara pidana. Pasal 1 angka 26 KUHAP, mendefinisikan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VII/2010, tanggal 8 Agustus 2011, definisi saksi tersebut dinilai bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan a quo, MK merumuskan definisi saksi menjadi:
Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Menjadi saksi bukanlah hal yang bisa dianggap remeh, tak jarang keselamatan diri bisa terancam apabila seseorang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi. Didasari hal tersebut, didirikanlah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU Perlindungan Saksi dan Korban). Lembaga ini memiliki tugas dan berwenang memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban memuat definisi saksi di dalam ketentuan umum. Pasal 1 angka 1 menyebutkan saksi adalah:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Meskipun terdapat perbedaan pada beberapa bagian, secara substantif, definisi saksi yang ada di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban memiliki kesamaan dengan definisi saksi yang diatur dalam KUHAP, yaitu orang yang menjadi saksi haruslah mendengar, melihat atau mengalami sendiri perkara pidana tersebut. Namun Putusan MK Nomor: 65/PUU-VIII/2010 menyebabkan definisi saksi dalam KUHAP diubah sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya. Sayangnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak mengadopsi perubahan yang ada di putusan a quo tersebut. Apakah terjadi potensi disharmonisasi pengaturan terkait ketentuan saksi perkara pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
Menurut penulis, ada 2 (dua) argumen untuk permasalahan ini. Pertama, rumusan definisi saksi pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak perlu diubah menyesuaikan Putusan MK Nomor: 65/PUU-VII/2010. Kedua, definisi saksi haruslah diubah dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan demi kepastian hukum.
Alasan pertama, merujuk SEMA Nomor 7 Tahun 2014. SEMA ini dianggap sebagai bentuk ‘pembangkangan’ Mahkamah Agung terhadap Putusan MK Nomor: 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014 yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 268 ayat (3) KUHAP mengatur mengenai pembatasan pengajuan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali saja. Dengan dibatalkannya ketentuan tersebut oleh MK, otomatis limitasi pengajuan peninjauan kembali tersebut sudah tidak berlaku lagi, artinya peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari satu kali.
Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 7 Tahun 2014 menilai pengaturan mengenai larangan peninjauan kembali tidak hanya diatur dalam KUHAP semata, namun tercantum juga pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya (UU Mahkamah Agung).
Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Sedangkan Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung, menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Artinya masih ada ketentuan pembatasan pengajuan peninjauan kembali hanya satu kali selain yang diatur oleh KUHAP.
Jika kita menggunakan logika SEMA di atas, rumusan definisi saksi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dan peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 dapat dimaklumi. Hal ini karena pasal yang diuji dalam Putusan MK Nomor: 65/PUU-VIII/2010, tanggal 8 Agustus 2011 adalah pasal yang ada dalam KUHAP, bukan pasal pada UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu pembuat undang-undang dapat saja berargumen, ada perbedaan redaksional dari ketentuan saksi dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Definisi saksi dalam KUHAP berdasarkan Putusan MK Nomor: 65/PUU-VIII/2010, tanggal 8 Agustus 2011 adalah orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Perbedaannya adalah dalam definisi saksi dalam KUHAP tidak memasukan tahap penyelidikan sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memasukkan tahap penyelidikan.
Alasan kedua, masalah harmonisasi. Meskipun definisi saksi di UU Perlindungan Saksi dan Korban ataupun turunannya tidak disesuaikan dengan definisi yang ada pada Putusan MK Nomor: 65/PUU-VIII/2010, tanggal 8 Agustus 2011. Namun, pembuat undang-undang memberikan hak yang sama kepada pihak-pihak yang dianggap saksi oleh putusan MK a quo, tetapi tidak dikategorikan saksi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan korban memiliki 16 (enam belas) hak. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa:
Selain kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Sementara definisi saksi dalam UU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut:
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Penggunaan kalimat termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, hakikatnya sama dengan Putusan MK Nomor: 65/PUU-VIII/2010, tanggal 8 Agustus 2011 yang mengubah definisi saksi pada KUHAP, sehingga secara tersirat, pembuat undang-undang mengakui definisi saksi pada putusan a quo itu.
Adanya dua definisi saksi yang berbeda mengakibatkan disharmoni pengertian saksi pada perkara pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara umum, disharmoni hukum adalah suatu kondisi dimana terjadi ketidakselarasan antara suatu norma dalam peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, baik dalam satu tingkat hierarki maupun tidak. (BPHN, 2019:43)
Ada tiga efek negatif adanya disharmonisasi hukum. Pertama, terjadi ketidakpastian hukum. Kedua, peraturan perundang-undangan tidak bisa diimplementasikan secara efektif dan efisien. Ketiga, tidak dapat memberikan petunjuk berperilaku, penyelesaian sengketa dan/atau sebagai sarana perubahan sosial di masyarakat. (BPHN, 2020:12). Hal-hal yang dapat dijadikan objek penelitian dalam konteks disharmoni pengaturan, yaitu kewenangan, hak, kewajiban, perlindungan, penegakan hukum, dan definisi/konsep. (BPHN, 2020:12)
Menurut penulis, sebaiknya pembuat undang-undang mengakomodir definisi saksi secara umum yang ada pada putusan MK tersebut, tidak perlu menjabarkan hal-hal sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Apabila ingin membuat pembedaan perlindungan terhadap saksi, dapat menggunakan Peraturan Internal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana termuat pada Pasal 24 Peraturan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Kepada Saksi dan Korban, bahwa LPSK mengklasifikasikan kasus berdasarkan keseriusan, pentingnya keterangan dan ancaman yang dihadapi oleh saksi dan/atau korban yang terbagi menjadi berat, sedang, dan ringan. Dengan cara ini tidak terjadi disharmoni definisi saksi dalam perkara pidana di tingkat undang-undang.