07/12/2024

KANTOR HUKUM NENGGALA ALUGORO

Konsultan Hukum Dan Bisnis

Digitalisasi Pemilu: Pemenuhan Hak Pilih Mahasiswa Rantau

4 min read

Digitalisasi Pemilu: Pemenuhan Hak Pilih Mahasiswa Rantau – Fenomena digitalisasi menjadi bagian dari peradaban umat manusia modern. Pengaruhnya begitu kuat, tak lagi bisa dilepas dari tindak tanduk manusia. Tidak ada alasan untuk menghindari atau mengabaikan peluang serta tantangan yang dihadirkannya. Pilihan bijak yang bisa dilakukan harus mampu beradaptasi dengan ritme dan memastikannya berlangsung secara presisi. Menghadirkan apa yang disebut oleh Jeremy Bentham sebagai “utilitarian” atau kebermanfaatan sebesar-besarnya untuk umat manusia.

Filosofi kemunculan teknologi ialah memberikan manfaat terhadap aktivitas umat manusia dan memudahkan pemenuhan hak dan kebutuhan. Begitu pula dalam hal pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang perlu dilakukan langkah digitalisasi dalam rangka pemenuhan hak pilih penduduk rantau.

Hak pilih dan berpartisipasi dalam proses politik adalah hak konstitusional warga negara yang dijamin pemenuhannya oleh konstitusi. Negara berkewajiban memenuhi hak pilih warga negara sepanjang hak tersebut masih melekat dalam diri tiap individu. Demikian halnya, pengecualian dan penghilangan hak pilih hanya bisa dilakukan dengan putusan pengadilan terhadap tindak pidana tertentu. Singkatnya, narapidana sekalipun masih memiliki hak pilih yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

Belajar dari Pemilu 2019

Sengkarut problem yang dialami mahasiswa rantauan pada momen pemungutan suara Pemilu 2019 silam, harus menjadi ajang evaluasi seluruh stakeholder terkait. Baik itu KPU dan Bawaslu sebagai otoritas penyelenggara Pemilu, maupun oleh pemerintah dan DPR sebagai otoritas pembentuk Undang-Undang.

Pemilu 2019 menjadi pemilu serentak pertama di Indonesia. Namun, di balik keberhasilan menyelenggarakan Pemilu 5 (lima) kotak tersebut, terdapat persoalan serius yang dihadapi. Selain mengisahkan duka mendalam akibat meninggalnya ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Pemilu serentak itu mengisahkan resistensi dari mahasiswa rantau akibat tidak terfasilitasi pemenuhan hak konstitusionalnya untuk memilih calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Hilangnya hak tersebut lebih karena tidak adanya aturan teknis yang memberikan kepastian hukum terhadap pemenuhan hak pilih mahasiswa rantau. Pada pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres), mahasiswa rantau mengalami perlakuan diskriminasi. Mulai dari surat suara tambahan yang sangat terbatas, ditolak TPS tujuan, hingga mondar-mandir mencari TPS yang mau menerima. Belum lagi, pembatasan waktu untuk mendaftar sampai jam 12siang. Akibat dari keruwetan pemilu serentak 2019, tidak sedikit mahasiswa rantau tidak bisa memilih.

Pemenuhan hak pilih pada Pilpres saja begitu kompleks permasalahannya. Padahal hak pilih bagi penduduk rantau pada pemungutan suara pilpres dijamin pemenuhannya oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sedangkan hak pilih pada pemungutan suara Pemilihan Legislasi (Pileg), baik DPR, DPD, dan DPRD, mahasiswa rantau sama sekali tidak memiliki hak untuk memilih di tempat rantau lantaran terkendala status Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang masih terdaftar di daerah asal.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, tercatat kurang lebih 300 ribu mahasiswa rantau terdaftar di berbagai institusi Perguruan Tinggi. Jumlah itu sangat signifikan, amat menghawatirkan jika selamanya tidak dapat difasilitasi hak pilihnya pada momen pemungutan suara pemilu. Sudah saatnya kita memikirkan langkah maju untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam menyalurkan hak politiknya.

Belum lagi dengan fenomena yang sama dialami oleh mahasiswa rantau di berbagai daerah. Daerah-daerah yang notabene menjadi daerah tujuan pendidikan. Jika diakumulasi secara nasional, suara mahasiswa rantau yang tidak bisa memilih karena tidak bisa pulang ke DPT asal bisa tembus ke angka jutaan. Ini amat menghawatirkan bagi masa depan demokrasi. Jarak yang jauh serta biaya dan waktu yang terbatas kerap menjadi kendala yang menghambat mahasiswa rantau untuk pulang ke DPT asal sekadar menyalurkan hak pilih pada momen Pemilu maupun Pilkada.

Langkah Maju

Hak memilih merupakan hak konstitusional warga negara yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara. Tidak boleh ada pembatasan terhadap hak untuk memilih. Baik itu memilih pada semua ajang pemungutan suara Pemilu, maupun pada pemungutan suara pada momentum Pilkada. Pemenuhan hak konstitusional itu barang tentu dibutuhkan terobosan dan langkah maju sehingga dapat memberikan ruang pada keterlibatan mahasiswa rantau.

Hambatan regulasi menjadi pekerjaan rumah yang harus segera disikapi oleh para pemangku kebijakan. Pada tataran Undang-Undang, Pemerintah dan DPR perlu melakukan revisi terhadap UU Pemilu dan UU terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) guna memberikan dasar dan kepastian hukum terhadap pemenuhan hak pilih penduduk (mahasiswa) rantau. Dengan begitu, politik hukum Pemilu dan Pilkada diarahkan pada diskursus yang lebih substansial.

Upaya pemenuhan hak pilih penduduk (mahasiswa) rantau harus diatur pemenuhannya secara spesifik dalam level Undang-Undang. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi perlu menjadi pertimbangan khusus sebagai sarana memudahkan pemenuhan hak pilih mahasiswa rantau. Masifnya kemajuan teknologi informasi dapat menjadi instrumen yang memberikan akses Pemilu dan Pilkada yang mudah, efisien, transparan, dan berkeadilan.

Namun, dengan komitmen antara Pemerintah dan DPR untuk tidak merevisi UU Pemilu dan Pilkada, harapan memberikan kepastian hukum terhadap pemenuhan hak pilih penduduk (mahasiswa) rantau ke dalam level UU menjadi opsi yang sementara tidak lagi realistis. Akan tetapi, pilihan konstitusional lainnya masih tersedia, yakni melalui mekanisme aturan teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal ini Peraturan KPU.

KPU sebagai otoritas penyelenggara Pemilu dan Pilkada, dapat membuat desain aturan teknis sehingga memungkinkan mahasiswa rantauan untuk dapat menyalurkan hak pilihannya pada Pemilu dan Pilkada 2024. Terobosan digitalisasi Pemilu merupakan pilihan sadar dan langkah maju guna meningkatkan partisipasi mahasiswa rantauan pada momen-momen politik. Terobosan digitalisasi Pemilu dapat berupa elektronik DPT (e-DPT), e-voting, atau platform berbasis digital lainnya. Desain digitalisasi tersebut perlu disediakan instrumen yang dapat berupa Peraturan KPU.

Pemilu dan Pilkada 2024 adalah ajang untuk menguji integritas, kapabilitas, dan kemampuan visioner para komisioner KPU yang baru. Terobosan digitalisasi Pemilu diharapkan memberikan ruang diskursus sebagai alternatif terhadap pemenuhan hak pilih penduduk, dan mahasiswa rantau. Sehingga ke depan, hak konstitusional itu mendapatkan atensi serius dari para stakeholder terkait. Karena ini menyangkut hak konstitusional yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara.

Tinggalkan Balasan

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.