BENANG MERAH ANTARA DISKRESI DAN PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN
7 min readBENANG MERAH ANTARA DISKRESI DAN PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN – Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Indonesia sebagai suatu negara hukum, memiliki tujuan hukum untuk menciptakan keadilan, kepastian hukum, dan kesejahteraan bagi rakyat. Tujuan negara Indonesia dalam Pembukaan UUD RI 1945, menimbulkan konsekuensi terhadap Pemerintah untuk dapat mewujudkannya. Dengan cakupan tujuan nasional demikian, maka dalam literatur Indonesia dikategorikan sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Kriteria negara kesejahteraan atau welfare state yang dianut Indonesia dapat dibuktikan dengan refleksi Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ditambah dengan tujuan untuk dapat “menciptakan kesejahteraan umum” dianggap sebagai kausa negara kesejahteraan. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara Kesejahteraan.
Berbagai proses, terobosan, dan inovasi pemerintahan yang memanfaatkan dana publik, tentunya harus didasari oleh landasan hukum agar berbagai fungsi pemerintahan (pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan) dapat berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai asas. Dasar tersebut harus melandasi penggunaan wewenang, keputusan, tindakan sampai dengan diskresi sesuai tugas dan fungsi setiap pejabat pemerintah. Sebagai negara hukum (rechtsstaat), Pemerintah harus berdasar pada hukum dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemegang kekuasaan memerintah. Kepastian hukum menjadi hal yang wajib dipegang sebagai acuan dasarnya. Oleh karena itu pemenuhan terhadap kepastian hukum, dalam praktik penyelenggaraan negara perlu diakomodasikan nilai keadilan dan kemanfaatan sehingga sejalan dengan nilai dasar hukum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Akan tetapi, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan diluar ketentuan tertulis dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.
Salah satu faktornya adalah belum jelas dan/atau belum lengkapnya aturan hukum yang berlaku yang menjadi dasar bagi setiap tindakan dan/atau keputusan yang harus diambil oleh Pejabat Pemerintahan dalam mendukung kesuksesan program pembangunan. Dalam kondisi ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan jalan keluar kepada Pejabat Pemerintahan untuk tetap bisa mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan program Pemerintah sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yakni mengeluarkan diskresi. Ketika fungsi dari hukum telah terbatas akan lebih tepat jika mengakomodir diskresi di dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang mendesak dalam masyarakat.
Makna dan Kriteria Diskresi
Dalam kajian hukum administrasi, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting, karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut. Tindakan di luar ketentuan yang tertulis dapat dibenarkan, yaitu agar prinsip legalitas pada tahap operasionalnya dapat dilaksanakan secara dinamis, efektif dan efesien. Tindakan tersebut dikenal dengan “diskresi”. Secara umum, pengertian terhadap diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan sendiri dari setiap situasi yang dihadapi atau dapat pula diartikan sebagai kemerdekaan bertindak, pertimbangan, kebijaksanaan, atau dalam definisi yang masyhur dari Dye adalah “whatever governments choose to do or not to do”. Diskresi dalam perbuatan pemerintahan sangat menarik untuk dilakukan pembahasan. Jika dilihat dalam Pasal 1 butir 9 UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa Diskresi adalah “Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”.
Lebih lanjut dalam Pasal 23 UU Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan, pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur, pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas dan pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Adapun persyaratan diskresi diatur dalam Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan bahwa Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat antara lain sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik Kepentingan dan dilakukan dengan itikad baik.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah mengatur secara eksplisit terkait dengan hak dan kewajiban Pejabat Pemerintah dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintah. Salah satu hak dan kewajiban tersebut yaitu menyangkut penggunan diskresi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e yaitu “menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya” dan Pasal 7 ayat (2) huruf d yaitu “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi Undang-Undang ini dalam menggunakan Diskresi”.
Diskresi yang pada hakikatnya merupakan wewenang dari pejabat pemerintahan untuk mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan atas inisiatifnya sendiri tanpa bergantung pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini seringkali dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Ketiadaan peraturan yang jelas mengenai prosedur, penggunaan, serta batasan-batasan dari diskresi adalah pangkal dari masalahnya. Oleh karena itu disinilah pentingnya kepekaan, kecermatan, dan pro aktif pejabat pemerintah dalam menggunakan diskresi dengan melihat faedah/kemanfaatan yang lebih besar dalam melayani publik. Dengan kata lain, penggunaan kewenangan diskresi menjadi wajib manakala secara nyata terlihat adanya kemanfaatan yang lebih besar dari penggunaan kewenangan tersebut meski peraturan perundang-undangan tidak mengaturnya.
Antara Diskresi dan Penyalahgunaan Kewenangan
Problematika mengenai diskresi yang seringkali dihubungkan dengan tindakan penyalahgunaan wewenang maupun tindakan sewenang-wenang tidak serta-merta diakibatkan oleh pejabat publik yang menggunakan diskresi melampaui batasannya. Namun, diskresi justru seringkali mendapat justifikasi sebagai tindak pidana berupa penyalahgunaan wewenang yang mengarah kepada tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya karena pemahaman dari praktisi hukum sangat positivistik, sehingga memandang diskresi sebagai tindakan tanpa dasar hukum karena tidak bersandar pada peraturan perundang-undangan. Keadaan tersebut membawa akibat pada timbulnya ketidakpastian hukum pada bidang tindakan administrasi negara yang pada gilirannya menganggu kinerja pejabat publik karena takut tindakan diskresinya akan dianggap sebagai tindak pidana.
Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, penyalahgunaan kewenangan dapat terjadi pada wewenang terikat maupun wewenang jenis diskresi. Tolok ukur penyalahgunaan kewenangan pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas, sedangkan jenis diskresi digunakan tolok ukur AUPB. Hal tersebut sebagai mana diatur dalam Pasal 1 butir 17 UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penyebutan istilah AUPB dapat ditemukan dalam Pasal 1, 5, 7, 8, 9, 10, 24, 31, 39, 52, 66, dan 87. AUPB sendiri diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2), serta Penjelasannya. Pasal 10 ayat (1) yang memuat 8 (delapan) asas AUPB, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik. Penerapan AUPB sebagai tolok ukur untuk membatasi diskresi dapat diterima dalam aspek hukum administrasi negara. Selain itu, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan juga menempatkan AUPB sebagai norma yang terbuka, artinya UU tetap mengakui kekuatan mengikat dari AUPB yang tidak tertulis.
Diskresi disisi lain akan dapat memberikan manfaat yang positif bagi terselenggaranya kegiatan pemerintahan yang berkesinambungan, tidak terhambat oleh kekosongan hukum, dan memberi kesempatan bagi pejabat pemerintah berinovasi dalam pelayanan publik. Namun tanpa batasan yang jelas, diskresi dapat menimbulkan dampak yang negatif apabila di dalam pelaksanaannya justru melanggar rambu-rambu hukum yang ada serta bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat dan kepentingan umum. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan terhadap diskresi menjadi suatu hal yang harus diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Diskresi dalam rangka Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik
Kedudukan hukum diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan ”pengecualian” dari asas legalitas (wet matigheid van bestuur), yang bermakna bahwa kepada administrasi negara itu diberikan kebebasan untuk dan atas inisiatif sendiri melakukan perbuatan-perbuatan guna menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu yang mendesak dan peraturan penyelesaiannya belum ada yaitu belum dibuat oleh badan kenegaraan yang diserahi tugas membuat undang-undang secara formal. Namun, diskresi tidak boleh disalahartikan bahwa Pejabat Pemerintahan bisa sebebas-bebasnya mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan atas kehendaknya sendiri tanpa dilandasi dengan koridor yang harus dipatuhi, yakni demi kepentingan umum, dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar AUPB. Setiap kewenangan dalam negara hukum tidak dikenal adanya wewenang yang sebebas-bebasnya. Wewenang (termasuk wewenang terikat) selalu memiliki batasan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Diskresi pada tataran pelaksanaan haruslah sesuai dengan aturan main peraturan perundang-undangan.
Penyimpangan terhadap penggunaan diskresi dapat diuji melalui peradilan dan pembuat kebijakan akan dibebani tanggung jawab. Ada dua bentuk tanggung jawab, yakni tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab jabatan terjadi ketika pembuat kebijakan menggunakan diskresi untuk dan atas nama jabatan, sedangkan tanggung jawab pribadi diterapkan dalam hal pembuat kebijakan melakukan tindakan maladministrasi. Pengujian terhadap diskresi ini nantinya akan lebih tepat jika dijalankan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai perluasan dari objek Sengketa Tata Usaha Negara. Sebab, meskipun di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah disebutkan bahwa yang dimaksudkan Administrasi Pemerintahan itu tidak hanya terhadap keputusan, akan tetapi juga meliputi tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Pejabat pemerintahan dalam pengambilan diskresi diharapkan tetap selaras atau sesuai dengan tujuan akhir yang sudah ditetapkan dan harus ada conditio sine quo non yang mendasari diskresi yang dilakukan. Conditio sine qua non itu setidaknya adalah ketiadaan dan/atau ketidakjelasan suatu peraturan yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan dan memaksa. Tentunya penggunaan diskresi pun harus didasarkan pada kebutuhan atas terselenggaranya program Pemerintah dan bukan pada kemauan pribadi dari Pejabat Pemerintahan. Agar diskresi keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan mewujudkan tata pemerintahan yang baik berjalan efektif, maka Pejabat Pemerintahan dalam melakukannya harus demi kepentingan umum, dilakukan secara transparan, serta diupayakan mengikutsertakan partisipasi publik secara luas.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberikan penafsiran yang konkrit, berdasarkan pengertian diskresi itu sendiri, mengenai kapan suatu diskresi dapat digunakan. Berdasarkan penjelasan Pasal 23 huruf a UU Administrasi Pemerintahan, dijelaskan bahwa pilihan keputusan dan/atau tindakan pejabat publik dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud pilihan keputusan dan/atau tindakan adalah respon atau sikap pejabat publik dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan administrasi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk kewenangan yang diberikan oleh hukum, tindakan diskresi pemerintah adalah tindakan yang absah (rechtmatig). Meskipun, adakalanya tindakan tersebut menyimpang atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi demikian, diskresi tidak serta-merta dapat dikualifikasikan sebagai tindakan melawan hukum, diskresi baru dapat dipandang sebagai tindakan melawan hukum manakala dapat dibuktikan bahwa tindakan diskresi tersebut merupakan praktek dari penyalahgunaan kewenangan.
Komitmen tata pemerintahan yang baik secara jelas dimuat di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, penggunaan kekuasaan negara terhadap warga masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Keputusan dan/atau tindakan terhadap warga masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.