Minyak Goreng, Ketahanan Pangan, dan Amanat Konstitusi
3 min readMinyak Goreng, Ketahanan Pangan, dan Amanat Konstitusi – Minyak goreng menjadi isu krusial, mulai dari kalangan masyarakat tingkat atas, menengah, sampai bawah, mengingat minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok semua orang. Kegunaan minyak goreng, salah satunya untuk membuat makanan, diklasifikasikan sebagai bahan pangan. Ketiadaan minyak goreng berakibat menghambat proses pembuatan jenis pangan yang harus menggunakan minyak goreng. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, selanjutnya dalam artikel ini disebut UU Pangan, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”. Ketentuan tersebut menjadikan minyak goreng sebagai pangan.
Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya, minyak goreng akhir-akhir ini menjadi polemik, diawali kelangkaannya di pasaran. Tiba-tiba menghilang di super market, mini market, toko, pasar tradisional maupun penjualan online. Jika ada pun harga nya meroket, naik berlipat dari sewajarnya sehingga membuat panik. Hal ini wajar, mengingat minyak goreng sudah menjadi kebutuhan. Beberapa dugaan penyebab kesulitan mencari minyak goreng di pasaran, antara lain harga Crude Palm Oil (CPO) dunia naik, sehingga ada oknum yang lebih memilih melakukan ekspor daripada memasarkan di dalam negeri. Penimbunan minyak goreng, menyebabkan pasokan ditribusi minyak goreng ke masyarakat berkurang.
Waktu terus berjalan, permasalahan minyak goreng mulai reda, disebabkan berbagai kebijakan Pemerintah mengendalikan pasokannya di pasaran, barang ada tetapi harga mahal.
Keadaan ini membuat kita sebagai bangsa Indonesia merasa miris. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia pada tahun 2019 merupakan salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Jumlah produksi CPO = 48,42 juta ton. Meningkat sebesar 12,92% dibandingkan tahun 2018 hanya 42,9 juta ton. Jumlah produksi tersebut diperoleh dari luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2018 seluas 14,33 juta hektar. Meningkat 1,88% pada tahun 2019 menjadi 14,60 juta hektar. Salah satu negara penghasil bahan minyak goreng terbesar di dunia, saat ini ternyata menghadapi kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng.
Kondisi tersebut ditinjau dari sudut pandang ketahanan pangan masih belum linier. Ini merupakan suatu “paradoks”. Pasal 1 angka 4 UU Pangan menyatakan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”. Ketahanan pangan harus memenuhi indikator, yaitu tersedianya pangan yang cukup dan terjangkau. Disamping indikator lain, seperti jumlah maupun mutunya aman, beragam, bergizi, merata, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
Kesimpulannya, komponen atau indikator ketahanan pangan minyak goreng relatif tidak terpenuhi. Ini merupakan tamparan bagi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Bagaimana mungkin negara dengan salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di dunia tidak mampu menjamin ketahanan pangan minyak goreng di dalam negeri? Masalah ini berpotensi mencederai konstitusi. Amanat konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kelapa sawit merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mungkin pihak swasta yang menanam dan mengolah kelapa sawit menjadi minyak goreng. Tetapi tanah untuk menanam kelapa sawit adalah tanah negara. Artinya negara tidak boleh lepas tangan dalam ketahanan pangan yang berbasis pada kekayaan negara. Negara harus menetapkan kebijakan yang inovatif dan berpihak pada rakyat, bukan segelintir golongan demi kemakmuran rakyat.
Kita mendukung dan mengapresiasi langkah Pemerintah mengendalikan ketahanan pangan minyak goreng. Termasuk Dewan Perwakilan Rakyat yang mengawasi dan mengkritisi tugas Pemerintah tersebut. Jangan sampai ketiadaan dan naiknya harga minyak goreng menjadi fenomena yang berlarut-larut, karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.