QUO VADIS PERTANGGUNGJAWABAN PIHAK AFILIATOR DALAM PERDAGANGAN ASET KRIPTO
5 min readQUO VADIS PERTANGGUNGJAWABAN PIHAK AFILIATOR DALAM PERDAGANGAN ASET KRIPTO – Aset kripto semula adalah sebuah bentuk komoditas yang sifatnya eksklusif. Adapun eksklusifitas itu salah satunya ditunjukan oleh adanya pemanfaatan teknologi rantai blok (blockchain) dengan metode kriptografi sebagai alur untuk melakukan penyampaian suatu aset dari satu pengguna ke pengguna lainnya. Penggunaan metode kriptografi tersebut memungkinkan bagi para pengguna untuk melakukan transaksi secara terenskripsi, bahkan dari penyelenggara itu sendiri. Hal ini kemudian membuat aset kripto menjadi salah satu entitas yang bernilai ekonomis tinggi oleh karena adanya sifat eksklusif tersebut.
Seiring teknologi blockchain dan jumlah pengguna aset kripto yang semakin meningkat, perdagangan aset kripto pun turut menjadi fenomena yang semakin diminati oleh masyarakat. Aset kripto sendiri dewasa ini diperdagangkan melalui dua skema. Adapun skema pertama dari perdagangan aset kripto di Indonesia adalah melalui perdagangan secara otonom atau mandiri. Dalam perdagangan secara otonom ini, para pengguna aset kripto melakukan transaksi dengan memanfaatkan metode kriptografi yang telah disepakati oleh masing-masing pengguna. Selain kemandirian dari para pengguna aset kripto untuk melakukan perdagangannya, skema kedua yang digunakan dalam perdagangan aset kripto adalah dimana para pengguna aset kripto yang disebut dalam transaksinya sebagai pelanggan aset kripto memanfaatkan jasa pedagang aset kripto untuk dapat melakukan transaksi perdagangan aset kripto.
Pada skema kedua, transaksi antara para pelanggan aset kripto melalui perantara jasa pedagang aset kripto cukup dapat dikatakan mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah pedagang aset kripto di Indonesia. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan perdagangan aset kripto pada masa mendatang di Indonesia terbilang bergerak secara progresif. Dengan proyeksi tersebut pulalah, perdagangan aset kripto perlu untuk diregulasi secara benar dan tepat. Hal tersebut dikarenakan masih adanya celah bagi suatu perdagangan aset kripto yang memiliki kapitalisasi besar untuk tidak memiliki mekanisme pengawasan yang baik dan sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan konsumen secara memadai.
Salah satu bentuk regulasi yang kemudian didorong oleh Pemerintah dalam aspek perdagangan aset kripto adalah dengan membentuk bursa aset kripto atau disebut juga dengan bursa berjangka sebagai penyelenggara perdagangan aset kripto. Hal tersebut ditandai dengan pemberlakuan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka (selanjutnya disebut dengan Perbappebti Nomor 8 Tahun 2021). Pembangunan bursa berjangka sekaligus ditujukan untuk memberikan jaminan atas kepastian hukum dari seluruh transaksi perdagangan aset kripto yang terjadi, namun meskipun demikian suatu permasalahan muncul ketika pedagang aset kripto yang melakukan perdagangan pada bursa berjangka yang terbukti merugikan para pelanggan aset kripto memiliki afiliasi dengan pihak lain yang dikenal dengan istilah afiliator.
Adapun istilah afiliator sendiri tidak pernah diatur dalam ketentuan Perbappebti Nomor 8 Tahun 2021. Hal ini bisa dipahami karena afiliator bukanlah pihak yang sifatnya fundamental untuk membentuk perdagangan aset kripto pada sebuah bursa berjangka, namun meskipun demikian afiliator tidaklah dapat dikatakan sebagai pihak yang tidak penting dalam terselenggaranya perdagangan aset kripto. Dewasa ini tengah menjadi perbincangan di tengah publik mengenai perkara hukum yang melibatkan para afiliator karena dinilai turut berperan strategis untuk membuat para korban (pengguna atau konsumen) mengalami kerugian. Peran afiliator dalam hal ini tentulah memiliki peranan yang begitu signifikan dikarenakan umumnya dilakukan oleh orang perseorangan yang memiliki reputasi yang cukup untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti arahan para afiliator melalui media sosial secara efisien. Hal ini tentulah akan kembali menimbulkan permasalahan hukum apabila pelanggan aset kripto yang melakukan perdagangan aset kripto mengalami kerugian yang berasal dari tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh oknum pedagang fisik aset kripto dan afiliator turut terlibat didalamnya baik itu disengaja ataupun tidak disengaja.
Apabila dicermati secara saksama, seringkali apabila mengalami kerugian tidak jarang para pelanggan aset kripto yang mengalami kerugian menggunakan perangkat hukum pidana yang seharusnya menjadi ultimum remedium menjadi suatu primum remedium. Penegakan hukum pidana tentu memberikan sebuah pertanggungjawaban dalam bentuk sanksi pidana kepada para afiliator termasuk dalam perdagangan aset kripto melalui bursa berjangka, namun hal tersebut tentu tidak memberikan pengembalian jumlah kerugian yang ditanggung oleh para pelanggan aset kripto yang mengalami kerugian secara maksimal. Dalam hal ini perangkat hukum perdata menjadi jalur penyelesaian dari sengketa hukum yang lebih efisien. Oleh karena itu, dalam menjerat pertanggungjawaban para afiliator dalam proses perdagangan aset kripto seyogyanya dilakukan pula dengan pendekatan hukum perdata.
Pendekatan hukum perdata yang dimaksudkan adalah terkait dengan pengejawantahan dari konsepsi perbuatan melawan hukum yang diatur dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata). Ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata menjelaskan bahwa: “tiap-tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut”. Merujuk pada ketentuan a quo, sangat jelas terlihat bahwa perbuatan oknum afiliator yang kemudian mengakibatkan kerugian yang harus ditanggung oleh pelanggan aset kripto karena kesalahannya telah sejalan dengan konsepsi perbuatan melawan hukum yang diatur secara yuridis. Lebih lanjut, unsur “kerugian” yang diatur dalam ketentuan a quo terejawantahkan ketika karena dorongannya, pelanggan aset kripto memanfaatkan jasa dari oknum pedagang fisik aset kripto yang bermuara pada timbulnya kerugian dari pelanggan aset kripto.
Sehingga apabila dipahami secara mendalam, ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata menjadi salah satu ketentuan pasal yang strategis untuk mendorong pertanggungjawaban dari oknum pihak afiliator pada perdagangan aset kripto. Berbicara apabila perdagangan aset kripto itu sudah dilakukan melalui bursa berjangka, sepanjang oknum afiliator tidak dapat membuktikan bahwa telah menerapkan prinsip kehati-hatian dan itikad baik untuk mengetahui rekam jejak dan aspek yuridis dari pedagang aset kripto yang padanya dirinya terafiliasi. Hal ini tentu menjadi penting untuk dapat membuktikan unsur “kesalahan” sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.
Namun meskipun demikian, pendekatan hukum perdata untuk menjerat pertanggungjawaban oknum afiliator pada perdagangan aset kripto tidaklah hanya melalui Pasal 1365 KUH Perdata. Selain ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, pendekatan hukum tersebut dapat dilakukan dengan internalisasi regulasi pada regulator bursa berjangka itu sendiri. Adapun dikarenakan ketentuan Perbappebti Nomor 8 Tahun 2021 belum mengatur kedudukan ataupun bentuk pertanggungjawaban dari pihak afiliator, maka telah sepatutnya ketentuan Perbappebti Nomor 8 Tahun 2021 dilakukan perbaikan dengan mengatur lebih lanjut mengenai pihak afiliator itu sendiri. Hal ini ditujukan agar jelas kedudukan dan pertanggungjawaban pihak afiliator pada perdagangan aset kripto dan memberikan kepastian hukum kepada setiap pelanggan aset kripto. Disamping itu, dengan diaturnya aturan mengenai keberadaan pihak afiliator dalam perdagangan aset kripto pada ketentuan a quo akan menciptakan suatu perangkat hukum yang khusus untuk dapat mendukung terselenggaranya bursa berjangka yang sehat dan melindungi seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraannya, termasuk afiliator pula di dalamnya.