Perang Tafsir Mahkamah Konstitusi Dan Mahkamah Agung
6 min readPerang Tafsir Mahkamah Konstitusi Dan Mahkamah Agung – Pada 16 Januari 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya Nomor 1/PUU-XI/2013 telah menghapus ketentuan tentang perbuatan tidak menyenangkan di dalam Pasal 335 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal ini telah diapresiasi positif oleh banyak kalangan karena melihat selama ini ketentuan terkait dengan perbuatan tidak menyenangkan itu kerap kali menimpa beberapa individu, terutama para aktivis dengan alas an yang tidak jelas. Ketentuan yang sering disebut pasal karet itu juga sering dikeluhkan karena sangat mudah disangkakan kepada pihak-pihak yang dianggap bisa menghambat sebuah kegiatan penguasa atau pihak yang tidak disukai oleh penguasa. MK menilai ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpeluang untuk disalahgunakan oleh penyidik dan penuntut umum dengan menerapkan pasal tersebut secara sewenang-wenang.
Secara lengkap Pasal 335 KUHP Ayat
(1) tersebut berbunyi, ”Barangsiapa secara hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dan sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Uji materi di MK tersebut diajukan Oei Alimin Sukamto Wijaya, warga Surabaya, Jawa Timur. MK memutuskan Oei Alimin memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon sebab yang
bersangkutan telah dijadikan tersangka dan ditahan oleh aparat yang berwajib di Surabaya. Oei Alimin dikenai tiga pasal, salah satunya adalah Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, setelah bertengkar dengan salah satu pemilik hotel di Surabaya.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-XI/2013 untuk menghapuskan frasa “perbuatan tidak menyenangkan” dari rumusan Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan terobosan hukum yang penting dalam hukum pidana. Meski demikian, terdapat beberapa catatan atas putusan ini.
Putusan hakim pada hakekatnya adalah hasil pergulatan pemikiran kemanusiaan yang sungguh-sungguh dengan mengeluarkan segenap upaya yang dapat dilakukan. Seperti sebuah proses berijtihad untuk melakukan penafsiran atas suatu pasal atau undang- undang tertentu. Mahkamah Konstitusi memang diberikan kewenangan untuk mengujinya berdasarkan Undang-undang Dasar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C UUD NRI 1945, UU Mahkamah Konstitusi dan UU Kekuasaan Kehakiman. Meski dasar pengujian tersebut sudah sangat jelas, yaitu kesesuaian dengan UUD, tetapi perspektifnya perlu sangat komperhensif dengan mengeksplorasi semua metode penafsiran hukum. Hal ini agar putusan pengujian tersebut dapat mencakup semua aspek yang ada dalam kehidupan bernegara.
Penerapan metode penafsiran hukum yang lazim dikenal seperti metode gramatikal, historis, sistematis, sosiologis, otentik, perbandingan, analogis, rechtsverfijning, atau bahkan argumentum a contrario telah digunakan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi Mahkamah Konstitusi masih kurang memberikan perhatian bahwa Mahkamah Agung telah mengeluarkan banyak yurisprudensi yang sarat dengan interpretasi pasal-pasal undang-undang dalam setiap kasus yang diputuskan jauh sebelum lahirnya Mahkamah Konstitusi. Yurisprudensi ini seharusnya dapat digunakan sebagai salah satu referensi atau pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara pengujian undang-undang.
Padahal dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU- XI/2013, telah disebutkan juga bahwa telah ada Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung No. 157 K/Kr/1980 yang telah memberikan kualifikasi dari tindak pidana ini sebagai “dengan melawan hukum memaksa orang lain dengan perlakuan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain supaya tidak melakukan atau membiarkan sesuatu”. Artinya, ada rangkaian perbuatan terdakwa yang bersifat melawan hukum yang melahirkan akibat yaitu orang lain atau korban tidak berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan terjadinya sesuatu sedang dia (korban) tidak setuju atau tidak mau terjadinya sesuatu tersebut, baik karena dia tidak suka maupun karena dia tidak membolehkan terjadinya sesuatu tersebut; akan tetapi dia tidak mempunyai kemampuan fisik dan psikis untuk menolak, menghalangi,
menghindar dari terjadinya perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut. Dengan demikian kalimat “perbuatan tidak menyenangkan”, tidaklah berdiri sendiri.
Penerapan Pasal 335 KUHP oleh Mahkamah Agung menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan” sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang tidak menyenangkan. Unsur paksaan ini tidak selalu diterjemahkan dalam bentuk paksaan fisik, tapi dapat pula dalam bentuk paksaan psikis. Yurisprudensi juga ditemukan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor : 675 K/Pid/1985 tanggal 4 Agustus 1987 yang memperbaiki putusan bebas (vrijspraak) dari Pengadilan Negeri Ende Nomor : 15/Pid.B/1984 tanggal 26 Maret 1985.
Penekanan pada unsur “memaksa” sebenarnya adalah logis, karena perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam Pasal 335 ini sesungguhnya termasuk dalam “kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang” yang diatur dalam Bab XVIII KUHP, dimana tindak pidana atau kejahatan yang diatur di dalamnya adalah menentukan bahwa seorang korban kejahatan tidak dapat berbuat apa-apa, tidak berdaya dan/atau tidak memiliki pilihan (kemerdekaan) untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana kehendaknya sendiri.
Hal ini bisa dilihat misalnya dalam Pasal 324, 325, 326, 327 KUHP yang
mengatur tentang kejahatan perniagaan budak, Pasal 328 KUHP yang mengatur tentang penculikan, 329 KUHP mengenai mengangkut orang ke daerah lain tidak sebagaimana perjanjian kerja, Pasal 330, 331, 332 KUHP perihal membawa lari anak dan/atau wanita belum dewasa, 333, 334 KUHP tentang merampas kemerdekaan seseorang (menahan/mengurung seseorang baik karena sengaja maupun alpa), serta Pasal 336 KUHP tentang pengancaman. Dengan logika semacam ini maka Pasal 335 KUHP sebenarnya tidak lagi bisa dikategorikan sebagai pasal keranjang sampah atau pasal karet karena memiliki relevansi dan raison d’etre sebagaimana dipersyaratkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mendasarkan pada Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945.
Dengan demikian seharusnya amar putusan Mahkamah Konstitusi tidak menyatakan “frasa, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, melainkan berbunyi: “frasa, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan melawan hukum memaksa orang lain dengan perlakuan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain supaya tidak melakukan atau membiarkan sesuatu”.
Amar putusan semacam ini juga akan memberikan penguatan atas kelompok yang rentan atau dikategorikan sebagai “tidak berdaya” seperti perempuan, anak, dan lanjut usia. Meski perlindungan terhadap perempuan telah diatur dalam banyak hukum internasional yang diregulasi secara nasional atau diratifikasi, penegasan kembali dalam bentuk putusan Mahkamah Konstitusi akan semakin menguatkan posisi hukum mereka. Bagaimanapun juga, perbuatan
tidak menyenangkan terhadap perempuan masih sering dijumpai, terutama terhadap pekerja perempuan di berbagai level, sehingga perlindungan secara berlapis terhadap kelompok ini juga akan semakin menunjukkan komitmen bersama untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo kepastian hukum tidak jatuh dari langit (Satjipto Rahardjo, 2006). Oleh sebab itu, kepastian hukum tidak jatuh bersamaan lahirnya undang-undang beserta pasal-pasal dan prosedurnya. Kepastian hukum membutuhkan pengerahan tenaga dan kekuatan. Sehingga, Satjipto Rahardjo yakin bahwa kepastian hukum adalah suatu usaha. Kalau memang demikian halnya maka adalah tidak tepat bila ingin mencapai karakteristik putusan final yang implementatif hanya mengandalkan akseptabilitas normatif diktum Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini mendorong pemikiran bahwa tugas peradilan konstitusi tidak sekadar menyelenggarakan aktivitas interpretasi, tetapi juga memikul tanggungjawab besar agar ketentuan-ketentuan konstitusi implementatif. Implementasi adalah fungsi yang memerlukan tindakan kolaboratif dan koordinatif sehingga proses pengejewantahan kaidah-kaidah konstitusi dalam kehidupan nyata tidak bisa diwujudkan tanpa ada tindakan dan kesepakatan kolektif dari institusi-institusi dan aktor negara. Hal ini seperti dikatakan Richard H. Fallon dalam Implementation the Constitution mengatakan: If we the Court central role as implementing the Constitution, we can better understand why the Justice sometimes must compromise their own view about what would be best in order to achieve coherent, workable constitutional doctrine (Richard H. Fallon, 2001: 37).
Tidak digunakannya yurisprudensi Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sekali lagi mengundang prasangka bahwa Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung berperilaku bukan selayaknya mitra dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, tetapi sebagai kompetitor atau rival. Jika benar bahwa ini adalah pertarungan dua lembaga pemegang kekuasaan kehakiman ini maka ini berarti bahwa kisah tentang perbuatan tidak menyenangkan ini mungkin masih akan berlanjut pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 ini.
Mahkamah Agung masih mungkin memberikan putusan yang berbeda dalam kasus yang ditangani dalam kewenangannya dengan dalih perbedaan dasar interpretasi seperti perbedaan tafsir atas pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya telah diuji juga oleh Mahkamah Konstitusi.
Beberapa putusan Mahkamah Agung pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 37/PUU- IX/2011 tentang pengujian pasal 155 ayat
(2) UU No. 13 Tahun 2003 terbukti berbeda. Begitu juga dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU- IV/2006 tentang pengujian UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan penjelasan pasal 2 ayat 1 yang berkaitan dengan frasa “secara melawan hukum”. Ajaran melawan hukum dalam putusan
tersebut seperti diabaikan oleh Mahkamah Agung.
Dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut teridentifikasi beberapa dasar hukum yang memungkinkan bagi hakim untuk menafsirkan ketentuan berbeda dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi. Jadi, apakah masih penting mencari tahu siapa pemenang dari perang tafsir ini? Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi?