Memperebutkan Tafsir “Peninjauan Kembali” – Benarlah kiranya pepatah lama yang mengatakan bahwa “jika gajah bertarung dengan gajah maka pelanduk mati di tengah-tengah”. Pepatah tersebut menggambarkan jika para penguasa pemilik otoritas saling bersitegang dan bertarung memperebutkan suatu hal maka rakyat kecil yang menjadi korbannya. Pertarungan inilah yang terjadi antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Terdapat 2 (dua) pendapat hukum yang berbeda terkait dengan upaya luar biasa Peninjauan Kembali (PK). MK berpendapat bahwa PK dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali, sementara MA berpendapat bahwa PK hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Pendapat berbeda dari 2 (dua) pemegang kekuasaan kehakiman (Judiciil Power) tersebut berimbas pada “kebingungan” aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan.
Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 dinyatakan bahwa pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil (doelmatigheid). Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum PK hanya dapat diajukan satu kali. Hal ini karena masih terdapat kemungkinan setelah putusan PK, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan. Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana pada akhir Desember 2014. Dalam SEMA tersebut MA berpendapat bahwa pengaturan upaya hukum peninjauan kembali, selain diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang normanya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK, juga diatur dalam beberapa Undang-Undang (UU), yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (2), yang berbunyi: “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”; serta (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1), yang berbunyi: “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.”
Dengan demikian putusan MK yang menyatakan pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung. Hal ini berarti bahwa Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana tetap dibatasi hanya 1 (satu) kali. Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Oleh karena itu permohonan PK yang tidak sesuai dengan SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tidak dapat diterima dan berkas perkaranya, bahkan tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.
Polemik pengajuan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana tersebut dapat diuji dengan dua asas dalam teori hukum seperti “lex posteriory derogate lex priory”, dan “lex superiory derogate lex inferiory”. Menurut asas lex posteriory derogate lex priory, dalam hirarki peraturan yang sama maka bila terjadi polemik maka peraturan yang terbarulah yang digunakan. Artinya, putusan MK, yang memiliki posisi sejajar dengan Undang-Undang tersebut seharusnya berlaku mengalahkan Undang-Undang sebelumnya (UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung). Begitu juga bila menggunakan asas lex superiory derogate lex inferiory, yang mengatakan bahwa peraturan yang lebih rendah dikalahkan oleh peraturan yang lebih tinggi, maka Putusan MK seharusnya lebih tinggi daripada SEMA yang hanya mengikat secara internal. Dengan menggunakan kedua asas ini maka secara hukum sebenarnya polemik tersebut telah dianggap selesai dan dengan demikian yang diikuti oleh masyarakat dan aparat penegak hukum adalah Putusan MK yang menyatakan bahwa permohonan PK dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali. Namun, jika mengikuti pendapat MK tersebut maka persoalan yang muncul dalam praktik hukum adalah terjadinya “ketidakpastian” hukum karena hal ini berarti bahwa proses mencari keadilan seolah tidak pernah selesai dengan dibukanya pintu PK yang lebih dari 1 (satu) kali.
Ditawarkan 2 (dua) solusi yang diajukan untuk mengatasi polemik PK ini. Pertama, membuat lembaga yang memiliki kewenangan menangani masyarakat pencari “keadilan” untuk mengakomodir putusan MK yang mengatakan pencarian keadilan tersebut tidak dapat dibatasi. Lembaga ini dapat dibuat menyatu dengan MA atau terpisah. Kedua, dengan mempercepat proses PK dan eksekusinya. Hal ini perlu dituangkan dalam norma Undang-Undang yang mengatakan bahwa meskipun PK boleh dilakukan lebih dari 1 kali, tetapi setelah PK pertama, pengajuan PK selanjutnya tidak menghalangi pelaksanaan eksekusi.
Perebutan tafsir hukum antara MK dan MK bukan satu kali ini saja. Sebelumnya telah beberapa kali ditemukan bahwa dalam putusan-putusan MA teridentifikasi beberapa argumentasi dan dasar hukum yang digunakan berbeda dengan MK. Hal ini mendorong pemikiran bahwa tugas peradilan tidak sekadar menyelenggarakan aktivitas interpretasi, tetapi juga memikul tanggung jawab besar agar ketentuan-ketentuan konstitusi implementatif. Implementasi adalah fungsi yang memerlukan tindakan kolaboratif dan koordinatif sehingga proses pengejewantahan kaidah-kaidah konstitusi dalam kehidupan nyata tidak bisa diwujudkan tanpa ada tindakan dan kesepakatan kolektif dari institusi-institusi dan aktor negara.
Tinggalkan Balasan