Perlindungan Konsumen Terhadap Perdagangan Emas Secara Online – Kemajuan teknologi seperti yang terjadi saat ini memiliki dampak positif maupun negatif. Dunia berjalan dengan sangat cepat dengan segala kemudahan- kemudahan yang ditawarkan oleh berbagai macam layanan melalui internet. Termasuk pada dunia bisnis yang telah memanfaatkan media internet, mulai dari bisnis pakaian, elektronik sampai perhiasan dan masih banyak kegiatan bisnis lainnya. Bisnis yang tengah menjadi sorotan saat ini yaitu jasa penjualan emas secara online. Hal ini dikarenakan mudah, modal yang tidak terlalu besar, biaya pemasaran dan distribusi yang dapat diminimalisir dan potensi profit yang menjanjikan. Naiknya kesejahteraan dan meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap investasi khususnya emas ternyata memunculkan peluang bisnis emas secara online yang saat ini marak terjadi di Indonesia. Banyak orang yang tertarik untuk membeli emas secara online karena lebih praktis dalam membeli dan tidak perlu repot untuk keluar rumah, serta penawaran dan pembayaran bisa dilakukan melalui online. Emas dipilih untuk investasi dengan tujuan untuk mengamankan kekayaan, mempertahankan nilai beli di masa depan karena nilai emas yang cenderung stabil dan bisa juga untuk menambah kekayaan. Namun belakangan ini sering kita mendengar tentang penipuan berkedok investasi emas online. Kita tentunya masih ingat dengan kasus yang menimpa penyanyi dangdut Anisa Bahar, yang terjadi pada tahun 2011 dimana korban menderita kerugian hingga Rp 1,5 Milyar. Anisa tertarik mengikuti bisnis trading emas online karena investasi tersebut menjanjikan keuntungan sebesar 300% dan keuntungan akan diberikan setiap hari. Kasus ini menjadi semakin pelik karena tidak ada perjanjian hitam di atas putih, hanya ada bukti transfer yang dapat dijadikan sebagai bukti. Penipu investasi pada kasus ini dituntut dengan pasal 378 KUHP tentang penipuan dan pasal 372 KUH tentang penggelapan di mana ancaman pidananya adalah empat tahun penjara.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat yang melakukan kegiatan perdagangan / kegiatan jual beli secara online ?
Dalam setiap kegiatan perdagangan atau jual beli berlaku prinsip, pembeli adalah raja yang berarti bahwa konsumen harus mendapatkan yang terbaik. Kondisi tersebut meliputi juga barang yang menjadi objek transaksi, dimana harusnya setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan transparan atas barang yang akan dibelinya. Menilik prinsip tersebut seharusnya penjual berusaha memberikan yang terbaik bagi konsumen, namun pada kenyataannya, seringkali konsumen merasa tertipu. Oleh karena itu konsumen pun harus cerdas ketika ingin membeli barang agar terhindar dari penipuan atas suatu barang.
Perlindungan konsumen diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999, dalam UU tersebut khususnya pada pasal 62 diatur tentang ketentuan pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha antara lain : pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 Milyar terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut (Pasal 8 ayat 1), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa (pasal 8 ayat 1), memperdagangkan barang rusak, cacat atau tercemar (pasal 8 ayat 2).
Terkait dengan kegiatan perdagangan atau transaksi jual beli yang dilakukan secara online sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan hukum yang berlaku pada kegiatan perdagangan dalam dunia nyata. Perbedaannya hanya pada sarana yang digunakan, yaitu internet yang tidak mempunyai tempat usaha yang jelas. Sehingga lebih sulit dilacak ketika terjadi sengketa karena identitas yang dipakai di dunia maya bisa saja berbeda dengan identitas asli, selain itu biasanya hanya ada bukti transfer sebagai barang bukti.
Saat ini segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi elektronik di Indonesia diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Namun UU ITE ini cakupannya masih terlalu luas dan belum terlalu spesifik membahas poin tentang perdagangan online (e-commerce). Pesatnya pertumbuhan bisnis online seharusnya dapat menjadi salah satu faktor yang memaksa pemerintah untuk segera mengeluarkan aturan dan payung hukum untuk bisnis online tersebut. Kepastian hukum diperlukan untuk melindungi konsumen yang melakukan transaksi online dan memberikan perlindungan kepada kepentingan pasar nasional. Jika ada permasalahan yang merugikan konsumen terkait transaksi online maka payung hukum yang dipakai untuk saat ini adalah UU ITE atau pasal 378 KUHP tentang penipuan. Namun pasal di KUHP ini pun masih kurang efektif untuk menjerat pebisnis online yang nakal, karena cakupan hukum atas pasal tersebut hanya berlaku di wilayah Indonesia, sedangkan bisnis online tidak terbatas oleh batas suatu negara.
UU ITE memang tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan timbulnya kerugian konsumen dalam kegiatan transaksi elektronik diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE (m.hukumonline.com/klinik/
Apabila kita mencoba membandingkan kegiatan perdagangan secara online di Singapura, mereka sudah mempunyai aturan hukum yang mengatur tentang transaksi elektronik di Singapura bernama The Electronic Transactions Act (ETA) yang ditetapkan pada 10 Juli 1998 . ETA dibuat dengan tujuan memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya; memudahkan perdagangan elektronik; memudahkan penyimpanan secara elektronik; meminimalkan timbulnya arsip elektronik yang sama (double); membantu menuju keseragaman aturan; mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik. Isi ETA mencakup hal-hal berikut : kontrak elektronik, kewajiban penyedia jasa jaringan, tanda tangan dan arsip elektronik. Di Singapura masalah tentang privasi, cyber crime, spam, muatan online, copyright, kontrak elektronik sudah ditetapkan (arif90.wordpress.com/2010/05/
Terhadap perlindungan hukum bagi masyarakat yang melakukan kegiatan transaksi secara online, tidak dapat dipungkiri bahwa posisi konsumen masih lemah dalam transaksi online. Mulai dari belum adanya aturan hukum yang spesifik mengatur hal tersebut, minimnya bukti dan kebanyakan konsumen tidak tahu harus melaporkan kemana jika mereka dirugikan. Sehingga selain diperkuat dengan berbagai aturan tentang transaksi online,kegiatan sosialisasi perlu dilakukan agar konsumen menjadi lebih cerdas dalam memilih penjual dan tahu harus mengadu ke mana ketika muncul masalah dalam kegiatan transaksi online.
Di zaman yang serba canggih seperti saat ini, penggunaan teknologi sudah meluas sehingga kehadiran teknologi tentunya dapat membantu manusia dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Kemajuan teknologi mengakibatkan banyak pekerjaan yang bisa dilakukan tidak terbatas oleh ruang dan waktu,akses informasi menjadi cepat dan lebih efektif. Kita dapat melakukan berbagai hal melalui internet, termasuk melakukan jual-beli melalui internet. Maraknya perkembangan bisnis online seharusnya dapat memaksa pemerintah untuk segera membuat aturan dan payung hukum terhadap hal tersebut. Walaupun saat ini Indonesia telah memiliki UU ITE, namun pada kenyataannya UU tersebut belum mengatur secara spesifik tentang perdagangan online, sehingga perlindungan terhadap konsumen padajual-beli online masih lemah. Pada akhirnya untuk aturan hukum yang mengatur kegiatan perdagangan secara online di Indonesia, diserahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian. Penyidik kepolisian dituntut lebih jeli untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP dan kapan harus menggunakan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Bahkan bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, polisi dapat menggunakan kedua pasal tersebut secara berlapis.
Tinggalkan Balasan