Urgensi Penggantian UU Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Perjanjian Internasional
8 min readUrgensi Penggantian UU Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Perjanjian Internasional – Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib. Hal ini diakui atau ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) dan Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI 1945. Negara Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional senantiasa mengadakan perbuatan hukum dengan subjek hukum internasional lainnya. Perbuatan hukum dimaksud tentunya dilakukan dalam rangka kerja sama dengan negara atau subjek hukum internasional, yang dalam hal ini membawa kepentingan Indonesia. Sebab, dalam kerangka kerja sama internasional yang antara lain diwujudkan dengan berbagai macam perbuatan hukum seperti perjanjian internasional harus senantiasa dilakukan sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI 1945.
Perjanjian internasional akan menimbulkan hak dan kewajiban tertentu bagi para pihak yang membuatnya. Oleh karenanya, pembuatan perjanjian internasional mempunyai peranan yang strategis bagi negara karena menyangkut kepentingan masyarakat dari negara yang bersangkutan. Saat ini, undang-undang yang mengatur perjanjian internasional yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU PI). Dalam pelaksanaan UU PI telah terjadi penyimpangan antara lain yaitu pagu pinjaman luar negeri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap secara otomatis adanya persetujuan DPR terhadap perjanjian pinjaman luar negeri. Hal ini tidak sesuai dengan maksud UU PI. Persetujuan DPR terhadap UU APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional oleh DPR. Selain itu, terdapat permasalahan status perjanjian internasional dalam hukum nasional, kemudian juga mengenai penandatanganan pinjaman luar negeri dan juga tidak jelasnya jangka waktu surat kuasa.
Monisme dan Dualisme
Aliran dualisme menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hirarki antara kedua sistem hukum ini. Konsekuensi dari aliran ini adalah diperlukannya lembaga hukum “transformasi” untuk mengkonversikan hukum internasional ke dalam hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk prosedur konversi ini. Dengan dikonversikannya kaidah hukum internasional ini ke dalam hukum nasional maka kaedah tersebut akan berubah karakter menjadi produk hukum nasional dan berlaku sebagai hukum nasional serta tunduk dan masuk pada tata urutan perundang-undang nasional. Sementara itu, aliran monisme yang menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam ruang lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Kalaupun ada legislasi nasional yang mengatur masalah yang sama maka legislasi dimaksud hanya merupakan implementasi dari kaidah hukum internasional dimaksud. Dalam hal ini, hukum internasional yang berlaku dalam sistem hukum nasional akan tetap pada karakternya sebagai hukum internasional.
Dalam praktik tidak perlu dipermasalahkan apakah Indonesia menganut faham monisme ataupun dualisme. Dalam praktik yang penting adalah kepentingan nasional. Masalah transformasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional tidak terkait dengan monisme ataupun dualisme. Teori monisme dan dualisme berlaku apabila ada pertentangan antara hukum nasional dan hukum internasional. Apabila dicermati masalah transformasi ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional akan berlaku di banyak negara, karena ketentuan dalam perjanjian internasional mengikat negara yang mengikuti namun tidak berarti langsung mengikat warga yang berada di negara tersebut. Memang harus diakui terdapat perjanjian internasional yang langsung mengikat seperti Statuta Roma. Oleh karena itu jika perjanjian internasional belum ditransformasi ke dalam hukum nasional, istilah di Indonesia dibuat dalam peraturan pelaksanaan maka hakim ataupun aparat hukum belum bisa menegakkannya. Tidak mungkin hakim menggunakan perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia untuk mempersalahkan terdakwa.
Setiap perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia yang memuat kewajibannya untuk dilaksanakan di tingkat nasional (baik yang diratifikasi maupun tidak) perlu untuk diterjemahkan atau ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Perjanjian internasional yang telah diikuti tidak berhenti sampai di situ. Adapun pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyisir berbagai peraturan perundang- undangan Indonesia dan ditemukan mana yang bertentangan dan mana yang belum diatur. Apabila bertentangan maka perlu untuk dilakukan amandemen, sementara yang belum diatur perlu untuk dibuat aturannya.
Perlu diperhatikan bahwa tidak ada kaitan antara instrumen untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional dengan peraturan perundang-undangan yang mentransformasikan ketentuan dalam perjanjian internasional. Instrumen untuk meratifikasi dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional ditentukan dapat berbentuk undang-undang maupun peraturan presiden sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Instrumen ini yang harus disampaikan ke tempat yang menerima deposit untuk menandakan keikutsertaan Indonesia. Instrumen tersebut tidak dapat digunakan untuk keberlakuan perjanjian internasional tersebut, sepanjang ketentuan yang ada belum diterjemahkan ke dalam hukum nasional. Dalam konteks demikian, meskipun Indonesia telah meratifikasi World Trade Organisation (WTO) Agreement, International Convention Civil and Political Rigth (ICCPR), dan banyak lagi, namun jika ketentuan tersebut belum ditransformasikan maka berbagai kewajiban tersebut tidak bisa dijalankan (enforced) di Indonesia. Hal ini merupakan kewajiban dari pemerintah mengingat pemerintah merupakan pemegang kekuasaan membuat peraturan perundang-undangan.
Pinjaman/Hibah Luar Negeri.
Sebelum adanya UU PI, pemerintah selalu mengargumentasikan bahwa persetujuan oleh DPR sebenarnya sudah diperoleh pada saat APBN disetujui oleh DPR. Hanya saja ini tidak dapat diterima mengingat yang disetujui atas pinjaman luar negeri adalah jumlah utang, bukan syarat-syarat dan kondisinya. Untuk itu DPR perlu terlibat dalam penentuan syarat-syarat dan kondisi dari perjanjian pinjaman luar negeri.
Dalam UU PI disebutkan bahwa perjanjian pinjaman luar negeri harus disetujui oleh DPR dalam bentuk undang- undang. Berkenaan dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri terdapat beberapa persoalan yakni sebagai berikut:
a. Mengacu pada Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menegaskan prinsip perlunya persetujuan DPR saat pemerintah pusat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan adanya kecenderungan untuk memposisikan loan agreement menjadi sebuah perjanjian internasional publik (international treaty), karena dalam kedua peraturan tersebut secara tersirat menghendaki adanya satu proses ratifikasi yang mengacu pada hukum nasional suatu negara, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan ratifikasi hukum nasional Indonesia/UUD NRI 1945, sebagai syarat berlakunya ketentuan hukum tersebut di wilayah Indonesia.
b. Dalam tiga peraturan lain yakni Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah baik yang Berasal dari Dalam Negeri maupun Luar Negeri serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri dan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU PI menyatakan bahwa dalam hal pinjaman luar negeri, Menteri mendelegasikan kepada Menteri Keuangan. Yang berarti bahwa sebagai pelaksana penandatanganan perjanjian internasional di bidang pinjaman luar negeri, Menteri Keuangan secara ex officio dapat melakukan penandatanganan tanpa harus mendapatkan full powers dari Presiden atau Menteri Luar Negeri.
Berdasarkan ketiga peraturan yang terakhir tersebut mengindikasikan bahwa dalam praktek pembuatan loan agreement di Indonesia, loan agreement ditempatkan dalam perjanjian internasional khusus. Kekhususan yang diberikan pada perjanjian pinjaman luar negeri ini jika dibandingkan pada perjanjian pada umumnya berada pada kewenangan untuk melakukan pembuatan perjanjian internasional, dimana kewenangan penandatanganan langsung berada pada tangan Menteri Keuangan tanpa harus melalui suatu full powers (surat kuasa) sebagaimana biasanya yang diatur pada perjanjian pada umumnya. Dalam ketiga peraturan tersebut tidak terdapat aturan yang mengindikasikan bahwa naskah perjanjian pinjaman harus mendapat persetujuan DPR yang mengindikasikan kecenderungan memposisikan loan agreement dalam perjanjian perdata internasional, dengan konsekuensi lanjut bahwa perjanjian tersebut tidak harus melalui serangkaian formal dalam pembuatan perjanjian internasional.
Mengenai hibah tidak diatur secara khusus dalam UU PI, karena pada saat RUU dibicarakan di DPR, pihak Departemen Keuangan menyatakan akan diatur dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara. Namun seharusnya mengenai hibah tidak perlu disahkan dengan Undang-Undang, cukup dengan Keputusan Presiden karena akan mempersulit dalam prakteknya nanti. Adapun mengenai pinjaman dapat dilakukan dengan Undang-Undang, namun sebenarnya juga lebih mengenai hukum perdata internasional.
Merujuk pada UU PI dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maka tidak dapat dihindari bahwa ada kesan rancu. Kerancuan ini karena tidak membedakan secara rinci kategorisasi perjanjian pinjaman luar negeri. Lebih lanjut perumusan dalam Pasal 10 UU PI kurang akurat karena menyamaratakan semua perjanjian internasional tanpa membedakan antara Perjanjian Internasional yang bersifat publik dan yang bersifat perdata.
Terkait dengan penandatanganan perjanjian di bidang pinjaman luar negeri seharusnya perlu mengetahui perbedaan tersebut sehingga ada pembedaan siapa yang harus menandatangani perjanjian. Salah satu alasan pembedaan ini tidak dilakukan karena UU PI disiapkan oleh Kementerian Luar Negeri sehingga ada pembedaan siapa yang harus menandatangani perjanjian dan apapun perjanjian internasional harus ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri. Apabila ini dilakukan maka akan terjadi perubahan drastis dari praktik selama ini sehubungan dengan perjanjian pinjaman luar negeri yang berupa perjanjian internasional yang bersifat perdata. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyebutkan bahwa Menteri Keuangan mempunyai tugas melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan.
Surat Kuasa (Full Powers)
Full powers adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan salah satu kaidah hukum internasional yang menganggap tidak semua warga negara dapat mewakili suatu negara dalam pembuatan hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat beberapa orang dengan jabatan (amtenar) ke negaranya yang mendapatkan kuasa yang utuh untuk mewakili negaranya. Full powers sebagaimana tercantum dalam UU PI, surat kuasa (full powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh presiden atau menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.
Terdapat beberapa lembaga yang mendapatkan otomatis full powers seperti presiden dan menteri. Terkait dengan menteri keuangan yang jika setiap perundingan dibuatkan full powers maka kurang efektif dan cenderung menghambat. Oleh karena itu yang harus ditekankan mekanisme yang mengharuskan persetujuan DPR. Misalnya perjanjian internasional yang bersifat publik sebelum dilakukan perjanjian harus disetujui dahulu oleh DPR baru pemerintah membuat perjanjian internasional.
Kuasa penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konferensi Wina 1969 yaitu seseorang dianggap mewakili sesuatu negara dengan maksud untuk mengesahkan atau mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian atau dengan maksud untuk menyatakan kesepakatan dari suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian jika ia memberikan surat kuasa penuh. Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya menyatakan mereka yang mendapatkan kuasa penuh untuk mewakili negara adalah:
1) Kepala-kepala negara, kepala-kepala pemerintahan dan para menteri luar negeri, dengan maksud untuk
melaksanakan semua tindakan yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian Internasional yakni :
2) Kepala-kepala perwakilan diplomatik dengan maksud untuk mengesahkan naskah suatu perjanjian antara
negara yang memberikan akreditasi dan Negara dimana mereka diakreditasikan;
3) Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh negara-negara pada suatu konferensi internasional atau organisasi
internasional, atau salah satu badannya, dengan maksud untuk mengesahkan naskah dari suatu perjanjian di
konferensi, organisasi atau badan tersebut.
Berkenaan dengan pemberian surat kuasa tersebut, dalam Konvensi Wina tidak diatur teknis mengenai jangka waktu surat kuasa, namun tidak ada salahnya Indonesia mengatur dalam Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional yang baru. Persoalan jangka waktu sebuah surat kuasa atau surat kepercayaan, adalah hal teknis. Jangka waktu menyangkut dua hal, yaitu (1) dalam hubungannya dengan pemerintah daerah yang akan melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah dengan negara lain, harus ada ketentuan yang mengikat menteri luar negeri untuk mengeluarkan suarat kuasa bagi seorang kepala daerah setelah kepala daerah yang bersangkutan mengajukan permohonan, (berapa lama surat kuasa itu dapat digunakan, apakah dapat digunakan berulang-ulang. Kedua hal ini harus diatur dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional yang baru. Sebagai catatan bahwa kuasa jabatan sebagaimana dipangku oleh seorang menteri keuangan misalnya, sangat berbeda pengertiannya dengan kewenangan yang diterima oleh menteri keuangan melalui sebuah surat kuasa untuk melakukan suatu perjanjian karena sifat berlakunya dengan surat kuasa (full powers) ada tenggang waktunya, yakni selesainya sebuah perjanjian.
Berkenaan dengan pemberian surat kuasa (full powers) harus dilihat dari praktik perjanjian internasional selama ini karena pemberian surat kuasa berkaitan dengan ex officio dari pejabat yang bersangkutan dan siapa yang terakreditasi untuk mewakili kepentingan Indonesia dalam pembuatan- pelaksanaan perjanjian internasional. Surat kuasa (full powers) sifatnya ad hoc. Jangka waktunya sebaiknya dibatasi dengan kewenangan khusus. Surat kuasa diberikan kepada pejabat ex officio (leading kementerian) atau yang terakreditasi atau pihak-pihak lain yang memiliki kewenangan.
Penutup
Dengan adanya penggantian UU PI, diharapkan perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia memberikan manfaat dan dapat dilaksanakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.