Meninjau Kekuasaan Legislasi Rumpun Eksekutif
5 min readMeninjau Kekuasaan Legislasi Rumpun Eksekutif – Kekuasaan eksekutif merupakan rumpun kekuasaan yang memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi dibandingkan rumpun kekuasaan legislatif dan yudikatif. Kemampuan kekuasaan eksekutif yang diberikan melalui konstitusi maupun sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara menjadi latar belakang kerentanan tersebut. Kekuasaan yang dimiliki oleh kekuasaan eksekutif begitu besar sehingga mampu mempengaruhi cabang kekuasaan lain, yaitu legislatif dan yudikatif (Levistsky & Ziblatt, 2021).
Fenomena tersebut nyatanya terjadi pula di Indonesia bilamana menengok kepada kekuasaan eksekutif, dalam hal ini adalah Presiden, yang memiliki kekuasaan legislasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia, Presiden memiliki kekuasaan legislasi untuk dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada lembaga legislatif (Agustino, 2021).
Terdapat beberapa kasus yang dapat dijadikan pelajaran bersama dalam memandang kekuasaan legislasi rumpun eksekutif, yaitu pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam upaya mengatasi pandemi covid-19, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang mencabut serta mengubah ketentuan dalam 11 undang-undang, yaitu:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN 2020.
Kesebelas Undang-Undang tersebut dihimpun dalam Perppu 1/2020 yang diterapkan sebagai dasar hukum pemerintah dalam merespon kondisi pandemi, khususnya dalam sektor keuangan negara. Penerbitan Perppu 1/2020 tersebut sebenarnya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Namun, yang menjadi catatan adalah pembentukan Perppu 1/2020 oleh Pemerintah tersebut meninggalkan kesan pembentukan peraturan perundang-undangan yang menerobos dan mengabaikan aturan main ketatanegaraan yang baik. Perppu 1/2020 tersebut dibentuk tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga seolah mengabaikan posisi DPR sebagai lembaga legislatif.
Selanjutnya adalah pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja dapat dilihat sebagai sebuah fenomena too strong presidency (Suntoro & Nureda, 2022). Undang-undang tersebut merupakan inisiasi pemerintah yang disebutkan sebagai upaya deregulasi, khususnya dalam sektor pembukaan usaha dan investasi sehingga dapat meningkatkan minat investasi di Indonesia.
Namun, dalam praktiknya justru Omnibus Law Cipta Kerja membutuhkan begitu banyak peraturan pelaksana. Dibutuhkan 450 peraturan pelaksana Omnibus Law Cipta Kerja yang terdiri dari 11 materi didelegasikan ke Peraturan Pemerintah, 11 materi ke Peraturan Presiden, 377 materi ke Peraturan Menteri, 60 materi ke peraturan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK), dan 7 materi ke Peraturan Daerah (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2021). Pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja pun didominasi oleh rumpun kekuasaan eksekutif mulai dari inisiasi pembentukannya, perumusan substansinya, hingga penerbitan peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut. Fenomena inilah yang disebut sebagai too strong presidency atau executive heavy.
Kedua fenomena tersebut menunjukkan begitu besarnya kekuasaan legislasi yang dimiliki oleh rumpun kekuasaan eksekutif dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang dapat berimplikasi kepada begitu banyak sektor dan aspek kehidupan masyarakat. Kekuasaan legislasi rumpun eksekutif tersebut didukung oleh banyak faktor mulai dari model legislasi hingga sistem kepartaian yang dijalankan oleh Indonesia.
Kekuasaan legislasi tersebut diberikan melalui Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal ini menegaskan bahwa sesungguhnya bahwa sistem presidensial yang dijalankan oleh Indonesia bukanlah sistem presidensial murni sebagaimana ibu daripada sistem presidensial, yaitu Amerika Serikat.
Indonesia sebagai negara hukum melakukan pembatasan kekuasaan melalui konstitusi (Asshiddiqie, 2006). Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 menjadi upaya pembatasan kekuasaan. Supremasi konstitusi menempatkan UUD 1945 sebagai pondasi kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh Indonesia (Susilo & Roesli, 2018). Namun, upaya pembatasan kekuasaan melalui UUD 1945 tersebut memunculkan paradoks yang justru memperluas kekuasaan presiden dalam ranah legislasi.
Amandemen UUD 1945 telah memberikan kekuasaan lebih besar kepada DPR RI sebagai lembaga negara yang berwenang membentuk undang-undang setelah sebelumnya pada UUD 1945 sebelum amandemen, DPR RI hanya berfungsi memberikan persetujuan terhadap undang-undang. Perluasan fungsi legislasi ini dapat dimaknai sebagai pertanda penguatan kelembagaan DPR RI sebagai lembaga perwakilan politik rakyat.
Menguatnya fungsi legislasi DPR ini merupakan implikasi dari diubahnya Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, Pasal 5 ayat (1) berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Bunyi pasal ini mengisyaratkan kewenangan presiden dalam pembentukan undang-undang begitu kuat.
Sementara itu, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 pasca amandemen berbunyi “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Kekuasaan legislasi presiden yang sebelumnya begitu besar dipersempit sehingga perubahan inilah yang disebut sebagai pergeseran fungsi legislasi.
Namun, pergeseran fungsi legislasi tersebut yang seharusnya dapat dipandang sebagai upaya purifikasi sistem presidensial justru membuat Indonesia semakin jauh dari sistem presidensial murni. Model legislasi dalam bingkai sistem pemerintahan presidensial yang dijalankan oleh Indonesia pasca amandemen UUD 1945 semakin mendekati model legislasi dalam sistem pemerintahan parlementer (Isra, 2010).
Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” merupakan wujud nyata dari pergeseran dari model legislasi presidensial menuju model legislasi parlementer.
Dengan adanya frasa “dibahas bersama” dan “persetujuan bersama” menegaskan bahwa tidak terdapat pemisahan yang jelas (no clear-cut separation of power) dalam desain fungsi legislasi pasca amandemen UUD 1945 (Isra, 2019). Pola hubungan dalam pelaksanaan fungsi legislasi seperti yang dijalankan oleh Indonesia memposisikan dua cabang kekuasaan, yaitu eksekutif dan legislatif saling bergantung satu sama lain atau a system of mutual dependence (Stepen & Skach, 1994).
Selain itu, logika sistem kepartaian di Indonesia turut menjadi faktor besarnya kekuasaan legislasi yang dimiliki oleh rumpun eksekutif. Pasca pemilihan presiden yang dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Amin, partai pengusung dan pendukungnya juga memenangkan kursi di parlemen kecuali Partai Hanura dan PKPI.
Sementara itu penunjukkan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (pasca pengesahan UU Cipta Kerja) yang notabene adalah rival politik dalam pemilihan presiden menunjukkan betapa kuatnya konsolidasi kekuasaan eksekutif di bawah Presiden Joko Widodo. Terlebih seluruh partai pengusung dan pendukung Prabowo-Sandi mendapatkan kursi di parlemen. Solidnya konsolidasi partai politik di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi faktor pendukung yang amat berpengaruh dalam pelaksanaan kekuasaan legislasi yang melahirkan fenomena fast track legislation (Kurtz, 2001).
Begitu besarnya kemampuan rumpun eksekutif dalam ranah legislasi menempatkan potensi kerentanan yang semakin besar, khususnya dalam bentuk kesewenang-wenangan menjalankan kekuasaan. Pelaksanaan ketatanegaraan yang baik dapat diabaikan dengan celah tersebut.