Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM
6 min readPerkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM – Perilaku seks menyimpang hingga saat ini masih banyak terjadi di Indonesia. Sejumlah organisasi homoseksual, lesbian hingga biseksual bermunculan sebagai wadah mereka berinteraksi dan saling bertukar pendapat. Tak jarang legalitas yang mereka pakai adalah Hak Asasi Manusia (HAM), serta menolak penerapan undang-undang lain dan juga kultur serta adat budaya asli Indonesia yang justru melarangnya, seperti pernikahan sejenis yang dilakukan oleh pasangan Joe Tully dan Tiko Mulya di Bali. (http://news.okezone.
Di foto itu tampak Tully dan Tiko berdiri di depan seorang pria yang diduga rohaniawan berpakaian adat Bali dengan latar belakang hutan yang hijau, kolam dengan hiasan teratai, dan rangkaian yang didominasi warna putih dan biru. (http://www.rappler.com )
Foto pernikahan pasangan sejenis Ratu Airin Karla dan Dumani, di Boyolali yang tersebar di media sosial menjadi perbincangan hangat hingga hari ini. Netizen Indonesia pun bereaksi keras, setelah seorang kawan pasangan ini mengunggah foto-foto
pernikahan’ mereka di media sosial. Di foto itu tampak Dum dan Dar, panggilan kedua pasangan tersebut, duduk berdua di pelaminan. Selama acara berlangsung, Dum dan Dar berlaku laiknya sepasang pengantin. Dar, yang merupakan waria itu didandani bak pengantin wanita, lengkap dengan kebaya Jawa, sanggul dan ronce melati. Sementara itu, Dum memakai jas resmi seperti pakaian pengantin pria pada umumnya. (http://citizen6.
Ketentuan mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut dinyatakan Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Berdasarkan pasal tersebut perkawinan dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang bertujuan untuk memperoleh keturunan dan membina rumah tangga yang diharapkan. Perkawinan sesama jenis yang terjadi di Bali dan Boyolali jelas tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga perkawinan yang dilakukan adalah tidak sah secara hukum.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu sendiri. Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku {Pasal 2 ayat (2)}. Hal ini berarti bahwa selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi kepada agama masingmasing. Perkawinan sesama jenis yang terjadi di Bali dan Boyolali tidak sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia serta nilai-nilai Pancasila. Perkawinan merupakan sebuah peristiwa sakral dan bagian dari ibadah, oleh karena itu nilai-nilai agama tidak dapat dipisahkan. Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai dan norma yang ada di masyarakat. Perkawinan sesama jenis tidak dapat dicatatkan di secara administratif baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun catatan sipil, serta tidak mempunyai landasan hukum.
Dalam Cairo Declaration on Human Rights in Islam, mengenai hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan dinyatakan dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Keluarga merupakan fondasi masyarakat, dan pernikahan merupakan landasan pembentukannya. Lakilaki dan perempuan mempunyai hak untuk menikah, dan tidak ada pembatasan apapun yang berdasarkan ras, warna kulit atau kebangsaan yang mengahalangi mereka untuk menikmati hak ini. {Pasal 5 ayat (1)}. Masyarakat dan pemerintah harus melenyapkan semua hambatan untuk menikah dan harus memberi fasilitas kemudahan prosedur pernikahan. Mereka harus memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan bagi kehidupan keluarga (setiap orang). {(Pasal 5 ayat (2)}. Selanjutnya Pasal 6 ayat (1) dinyatakan perempuan memiliki martabat dan harkat yang sama dengan lakilaki; dan ia memiliki hak-hak yang bisa dinikmatinya di samping kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya; ia memiliki hak keperdataan serta kebebasan finansial, dan juga memiliki hak mempertahankan nama baik diri pribadi dan anak keturunannya. Suami berkewajiban memberikan nafkah dan mewujudkan kesejahteraan bagi keluarganya.
Sementara itu dalam Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan bahwa:
(1) Laki-laki dan perempuan yang telah dewasa, tanpa pembatasan atas dasar perbedaan ras, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk menikah dan mendirikan rumah tangga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam pernikahan selama pernikahan masih berlangsung dan juga pada waktu perceraian.
(2) Pernikahan dianggap terjadi hanya dengan persetujuan yang benar-benar bebas dari kedua calon mempelai yang berkehendak (menikah).
(3) Keluarga adalah unit kelompok masyarakat yang alami dan asasi dan yang berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.
Mengenai perkawinan, baik dalam Cairo Declaration on Human Rights in Islam dan DUHAM jelas bahwa perkawinan hanya dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat ketentuan mengenai perkawinan sesama jenis. Perkawinan yang diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Cairo Declaration on Human Rights in Islam dan Pasal 16 DUHAM tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menegaskan perkawinan dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
Pasal 29 ayat (2) DUHAM menyatakan bahwa di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus
tunduk hanya kepada pembatasanpembatasan yang ditetapkan oleh undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasankebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat amoral, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam rangka masyarakat yang demokratis. Bahwa perkawinan sesama jenis yang terjadi di Bali dan Boyolali bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) DUHAM, yang pada dasarnya penggunaan hak asasi manusia dibatasi salah satunya demi ketertiban umum dan syarat amoral. Perkawinan sesama jenis tersebut menimbulkan gangguan ketertiban umum dalam masyarakat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat Indonesia.
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak asasi manusia dan kebebasannya terdapat pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Kebebasan dalam hak asasi manusia tidaklah mutlak akan tetapi dibatasi penggunaannya. Perkawinan sesama jenis yang dilakukan di Bali dan Boyolali tersebut tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, moral dan ketertiban umum sehingga bertentangan dengan Pasal 28J UUD Tahun 1945.
Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. {Pasal 10 ayat (2)}. Berdasarkan pasal tersebut terlihat bahwa perkawinan dilakukan antara laki-laki (calon suami) dan perempuan (calon istri) tanpa paksaan. Adapun perkawinan sesama jenis merupakan perkawinan yang tidak sah dan tidak sesuai dengan ketetuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. {(Pasal 69 ayat (1)}.
Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya. {(Pasal 69 ayat (1)}. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undangundang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Pasal 70).
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa (Pasal 73). Adapun selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perkawinan pada dasarnya bertujuan membentuk keluarga berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa sebagaimana tercantum dalam Pancasila yang merupakan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia. Perkawinan sesama jenis tidak mencerminkan kehidupan berasaskan Pancasila dan menyalahi kodrat manusia serta bertentangan dengan hak asasi manusia.