02/12/2023

KANTOR HUKUM NENGGALA ALUGORO

Konsultan Hukum Dan Bisnis

Polemik Pencairan Dana Jaminan Hari Tua (JHT)

6 min read

Polemik Pencairan Dana Jaminan Hari Tua (JHT) – Terbitnya PP Pencairan Dana JHT

Polemik mengenai masalah pencairan dana JHT sempat menjadi pembicaraan hangat dimasyarakat, terutama oleh para pekerja/buruh yang bekerja disektor swasta. Hal ini berawal dari berlaku efektifnya BPJS Ketenagakerjaan per tanggal 1 Juli 2015 sesuai dengan amanat Pasal 62 ayat (2) huruf d dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (UU BPJS). Untuk itu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Hari Tua (PP PJHT), yang salah satu materi muatannya mengatur masa pencairan JHT menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan besaran 10 (sepuluh) persen untuk persiapan hari tua atau 30 (tiga puluh) persen untuk pembiayan perumahan. Adapun untuk melakukan pencairan penuh yang bersangkutan harus memenuhi syarat telah berusia 56 tahun, mengalami cacat tetap, atau kematian. Hal ini sangat berbeda dengan pengaturan mengenai penarikan dana JHT yang sebelumnya 5 (lima) tahun dengan masa tunggu (1) bulan, seperti yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Pemerintah  Nomor 1 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang merupakan pendelegasian dari Undang- Undang   Nomor 3 Tahun 1992   tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU Jamsostek).

Hal ini tentu saja mendapat kritik dan reaksi keras dari para pekerja/buruh, khususnya yang akan atau sedang menghadapi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mereka berdalih bahwa perpanjangan masa pencairan dana JHT tersebut dapat semakin mempersulit kehidupan mereka yang terlanjur mengharapkan pencairan dana tersebut sebagai modal, pesangon, atau keperluan lainnya sebelum meraka mendapat pekerjaan yang baru atau untuk berwiraswasta, dengan terbitnya PP PJHT maka masa tunggu pencairan dana JHT akan semakin lama.

Kritik dan reaksi keras dari terbitnya PP PJHT tersebut akhirnya direspon Presiden Jokowi, yang memerintahkan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri untuk merivis PP dimaksud, dimana dalam revisi tersebut para pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja sebelum 1 Juli 2015 bisa mencairkan penuh JHT-nya beserta hasil pengembangannya sepanjang telah memenuhi masa kepesertaan minimal 5 (lima) tahun dengan masa tunggu satu bulan. Adapun bagi pekerja yang masih bekerja atau aktif kepesertaan BPJS-nya dapat mencairkan dana JHT saat mencapai usia 56 tahun atau meninggal dunia atau cacat total tetap. Tak hanya itu, rupanya Jokowi berencana pula mengajukan perubahan terhadap UU SJSN guna mengakomodasi kebutuhan dan permasalahan hukum dalam memberikan jaminan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK pada saat usia produktif.

Dari polemik mengenai pencarian dana JHT tersebut menarik untuk diulas, seperti apakah konsep JHT yang diatur di dalam UU SJSN, bagaimana polemik mengenai pencairan dana JHT ini bisa terjadi, dan apa solusi kedepan untuk mengatasi polemik tersebut.

Konsep JHT Menurut UU SJSN

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 3 UU SJSN). Untuk mencapai tujuan dimaksud, pemerintah menyelenggarakan suatu SJSN yang di dalamnya diselenggarakan berbagai jenis program jaminan sosial, yang meliputi jaminan kesehatan; jaminan kecelakaan kerja; jaminan hari tua; jaminan pensiun; dan jaminan kematian (Pasal 18).

Terkait dengan penyelenggaran JHT, jaminan ini diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib yang didasarkan pada mekanisme asuransi dengan pembayaran iuran antara pekerja dan pemberi kerja, dengan manfaat jaminan hari tua berasal dari akumulasi iuran dan hasil pengembangannya. Adapun tujuannya untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia (Pasal 35 UU SJSN), sedangkan peserta JHT adalah peserta yang telah membayar iuran (Pasal 36 UU SJSN).

Manfaat JHT berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap, yang ditentukan berdasarkan seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya. Pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun untuk membantu peserta mempersiapkan diri memasuki masa pensiun. Adapun mekanisme pembayaran sebagian manfaat JHT pada peserta yang mencapai masa kepesertaan minimal 10 (sepuluh) tahun dan mengenai ahli waris penerima JHT diatur lebih lantut dalam PP (Pasal 37 UU SJSN). Kemudian besarnya iuran JHT untuk peserta penerima upah ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja, sedangkan bagi yang tidak menerima upah ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala oleh Pemerintah, yang mekanismenya diatur lebih lanjut di dalam PP (Pasal 38 UU SJSN).

Dari materi pengaturan mengenai JHT yang ada didalam UU SJSN tersebut jelaslah diatur bahwa konsep JHT adalah merupakan salah satu dari bentuk jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib yang didasarkan pada mekanisme asuransi dengan pembayaran iuran antara pekerja dan pemberi kerja, dengan manfaat jaminan hari tua berasal dari akumulasi iuran dan hasil pengembangannya untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun dengan maksud agar pekerja/buruh dapat mempersiapkan hari tuanya. Adapun besarnya iuran JHT untuk peserta penerima upah ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja, sedangkan bagi yang tidak menerima upah ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala oleh Pemerintah yang besarannya diatur dalam PP.

Dari konsep yang JHT yang dianut di dalam UU SJSN jelaslah bahwa tujuan JHT itu sendiri tidaklah dimaksudkan untuk persiapan tunjangan, pesangon, atau modal kerja bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK pada saat produktif. Jika PP sebelumnya mengatur bhwa JHT dapat dicairkan setelah 5 (lima) tahun dari kepesertaan dengan masa tunggu 1 (satu) bulan sesungguhnya hal tersebut dikarenakan merespon dampak dari krisis moneter yang terjadi sejak tahun 1998, yang bersifat antisipasi sementara saja. Disisi lain sampai sebelum BPJS resmi beroperasi per 1 Juli 2015 peraturan terkait pencairan dana JHT tersebut masih juga belum direvisi, padahal DPR sudah memperingatkan pemerintah berkali-kali untuk mempersiapkan segala perangkat peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanann UU SJSN dan UU BPJS.

Untuk itu sebagai respon dari masa efektif berlakunya BPJS Ketenagakerjaan pemerintah mengeluarkan PP PJHT. Hanya saja PP terbut masih memiliki kelemahan, yaitu pertama, PP tersebut dibuat dengan sangat tergesa-gesa, PP tersebut baru saja ditandantangani oleh Presiden hanya beberapa hari menjelang efektif berlakunya BPJS Ketenagakerjaan per 1 Juli 2015, padahal disisi lain DPR telah berkali-kali kali mengingatkan agar peraturan perundang- undangan pelaksanaan dari UU SJSN dan UU BPJS segera dibentuk oleh Pemerintah; kedua: PP tersebut langsung berlaku otomatis pada saat disahkan, tanpa ada aturan peralihan yang memberi waktu/jeda tertentu pemberlakuannya dari PP yang lama ke PP yang baru, sehingga pemberlakuan PP yang serta merta membuat kaget dan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat; dan ketiga:  tidak ada sosialisasi maupun uji publik kepada pihak-pihak yang terkait, sehingga PP tersebut mendapat pertentangan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya karena dalam proses penyusunannya tidak dilibatkan.

Wacana Perubahan UU SJSN

Penyelenggaran SJSN sejatinya adalah untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya, yang salah satunya dilakukan melalui pemberian JHT. Hanya saja selama ini masyarakat khususnya pekerja/buruh memiliki persepsi bahwa bahwa dana dipungut tersebut sebaiknya bisa lebih cepat untuk dimanfaatkan oleh peserta untuk modal kerja atau keperluanya lainnya terutama terhadap pekerja/buruh yang mengalami PHK pada usia produktif. Mereka beranggapan pencairan dana JHT yang harus menunggu usia 56 tahun dianggap terlalu lama, disisi lain mereka memiliki kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi dalam waktu dekat, keraguan terhadap pengelolaan dan pengembangan dana tabungan miliki mereka yang dititipkan pada BPJS, serta tidak dapat dipungkiri kondisi perekonomian yang tidak menentu dan masih berlakunya sistem tenaga kerja kontrak mermbuat pekerja/buruh setiap waktu rentan terhadap PHK dan kehilangan sumber penghasilannya.

Banyak pelajaran yang dapat diambil dalam kasus ini, yaitu bagaimana sikap dan antisipasi pemerintah untuk memberikan jaminan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK pada masa produktif mereka, untuk itu: pertama, pemerintah harus aktif memberikan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang arti pentingnya JHT untuk dapat memberikan jaminan bagi kehidupan pekerja/buruh maupun keluarganya pada saat yang bersangkutan pensiun, mengalami cacat tetap, atau kematian; kedua, Pemerintah harus segera merespon dan mengakomodir kebutuhan dan permasalahan hukum masyarakat terkait dengan jaminan bagi pekerja/buruh yang terkena PHK atau ingin mengundurkan diri dari pekerjaan pada masa produktif, substansi ini bisa saja diakomodir di dalam Perubahan UU SJSN, atau apabila pemerintah memandang ada kegentingan yang memaksa dan mendesak terkait dengan permasalahan dan kebutuhan hukum dimaksud, Pemerintah dapat mengeluarkan Perppu terhadap hal tersebut; ketiga, hendaknya dalam setiap mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang terkait dengan kepentingan kaum pekerja/buruh terlebih dahulu harus menyerap aspirasi dan kebutuhan dari stakeholder, sehingga peraturan atau kebijakan tersebut dapat tersosialisasi dan bisa mendapat dukungan dari masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.