ANALISA MENGENAI JALUR HAKIM NONKARIR DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG
7 min readANALISA MENGENAI JALUR HAKIM NONKARIR DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG – Keberadaan Hakim Agung dari jalur nonkarier dalam sistem ketatanegaraan Indonesia digugat oleh Binsar M Gultom dan Lilik Mulyadi selaku Pemohon dalam perkara nomor 53/PUU-XIV/2016 mengenai Pengujian UU Mahkamah Agung terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pada tanggal 13 Juli 2016 yang lalu telah dilangsungkan sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan pada pokoknya Pemohon meminta agar keberadaan Hakim Agung dari jalur nonkarier dihapuskan karena dianggap inkonstitusional
Dasar Hukum Hakim Nonkarier dalam UU Mahkamah Agung
Dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni dalam Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan
undang-undang”. Pengaturan lebih lanjut
mengenai susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung inilah yang kemudian diwujudkan oleh pembentuk undang- undang dalam hal ini DPR dan Presiden dengan undang-undang sebagaimana delegasi Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam Undang-Undang Mahkamah Agung sebagaima yang terakhir berlaku saat ini yakni Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 1985) beserta perubahannya.
Terkait dengan Hakim Agung dari jalur nonkarier, pertama kali diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985. Pengaturan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 dan penjelasannya yang menyatakan bahwa “Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier dengan syarat bahwa yang bersangkutan
berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum”.
Adapun dalam penjelasan Pasal 7 UU No.
14 Tahun 1985 menjelaskan “Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan tertutup. Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier …”.
Selanjutnya hakim agung dari nonkarier diatur kembali dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 2004). Pengaturan hakim agung dari nonkarier dalam UU No. 5 Tahun 2004 berbeda dengan UU No. 14 Tahun 1985. Terdapat sejumlah penambahan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon hakim agung dari nonkarier dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004.
Kemudian UU No. 5 Tahun 2004 diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU No. 3 Tahun 2009). Pengaturan dan persyaratan mengenai hakim agung dari nonkarier
terdapat dalam ketentuan Pasal 7 UU No. 3 Tahun 2009.
Dasar hukum pengaturan mengenai hakim nonkarier sebagaimana dijabarkan dalam UU No. 14 Tahun 1985 dengan perubahannya yakni UU No. 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 diatas sejatinya adalah merupakan pelaksanaan dari delegasi kewenangan yang diperintahkan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang yakni DPR dan Presiden pada frase “…diatur dengan undang-undang”. Hal ini juga merupakan open legal policy yang dijamin oleh konstitusi karena hal ini menunjukkan bahwa perintah kepada pembentuk undang-undang ini didapatkan secara atributif dari UUD NRI Tahun 1945 kepada DPR dan Presiden.
Sejarah Munculnya Hakim Agung dari Nonkarier
Berdasarkan ketentuan Pasal 6B ayat
(1) UU No. 3 Tahun 2009, calon hakim agung berasal dari hakim karier. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan “selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari nonkarier.”
Adapun yang dimaksud dengan calon hakim agung dari hakim karier dan nonkarier dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6B ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009. Penjelasan Pasal 6B ayat (1) menyatakan: Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang berasal dari hakim karier” adalah calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 6B ayat (2) menyatakan “Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier’’ adalah calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.
Jika melihat Pasal 7 UU 5 Tahun 2004, dapat diketahui bahwa sistem rekrutmen Hakim Agung adalah sistem karir dengan pengecualian, maksudnya adalah pada prinsipnya calon hakim agung harus berasal dari hakim karir yang telah memenuhi syarat, namun dalam kondisi tertentu dapat juga direkrut yang bukan dari kalangan hakim yakni nonkarir. Hal tersebut terlihat dari rumusan Pasal 7 ayat
(2) UU 5/2004 yang menyatakan bahwa “apabila dibutuhkan, hakim agung dapat
diangkat tidak berdasarkan sistem karier…”.
Namun dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 5 Tahun 2004 tersebut terdapat 2 (dua) pertanyaan yang belum terjawab yakni jika dikatakan hakim nonkarir dapat direkrut “apabila dibutuhkan” lalu apakah ukuran kebutuhan tersebut? serta yang lebih penting lagi adalah siapa atau lembaga mana yang berwenang untuk menentukan ukuran kebutuhan tersebut? apakah dalam hal ini Mahkamah Agung, Komisi Yudisial atau DPR? Adapun selanjutnya ketentuan Pasal 7 UU 5 Tahun 2004 ini pun telah direvisi menjadi Pasal 7 UU 3 Tahun 2009, dan telah hilang kalimat “apabila dibutuhkan” sehingga sistem rekrutmen Hakim Agung yang tadinya bermakna yakni sistem karir dengan pengecualian bilamana dbutuhkan telah berubah yakni dengan secara tegas dalam Pasal ayat (2) 6B UU 3 Tahun 2009 menyatakan bahwa selain calon hakim agung sebagaimana yang berasal dari hakim karir, calon hakim agung juga berasal dari nonkarier.
Selanjutnya bila kita melihat dari sisi sejarahnya, sebenarnya sistem rekrutmen berdasarkan sistem karir dengan pengecualian ini pun bukanlah hal yang baru diterapkan dalam UU 5 Tahun 2004. Adanya jalur pengecualian dari hakim karir ini telah muncul dalam UU 14 Tahun 1985. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 UU 14 Tahun 1985, khususnya pada ayat (2) yang menyatakan bahwa “Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum”. Lebih lanjut lagi, sebelum keberlakuan dari UU 14 Tahun 1985, sebetulnya sistem rekrutmen yang berlaku di Indonesia pada dasarnya adalah sistem terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua perundang- undangan yang mengatur mengenai Mahkamah Agung sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (selanjutnya disebut UU 1 Tahun 1950) dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU 13 Tahun 1965).
Dalam UU 1 Tahun 1950, terkait dengan persyaratan calon hakim agung
diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan “Untuk dapat menjadi Hakim Mahkamah Agung, Panitera Mahkamah Agung dan Jaksa Agung orang harus mempunyai ijazah penghabisan dari Perguruan Tinggi bagian hukum, kecuali jika Presiden memberi dispensasi”. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan persyaratan calon hakim agung diatur dalam Pasal 41 ayat
(3) UU 13 Tahun 1965 yang menyebutkan syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai pejabat-pejabat sebagaimana disebutkan dalam ayat (1).
Dalam Pasal 41 ayat (3) UU 13 Tahun 1965 diatas sama sekali ada dinyatakan bahwa untuk diangkat sebagai hakim agung haruslah seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai hakim, hal ini berbeda dengan Pasal 7 baik itu dalam undang-undang aslinya yakni UU 14 Tahun 1985 maupun undang-undang perbaikannya yakni UU 5 Tahun 2004 dan UU 3 Tahun 2009. Dengan demikian,
pengaturan dalam Pasal 41 ayat (3) UU 13
tahun 1965 maupun Pasal 4 UU 1 Tahun 1950 telah menunjukkan bahwa dahulu sejatinya calon hakim agung awalnya tidak dipersyaratkan apakah harus berasal dari kalangan hakim atau tidak, atau dengan kata lain tidak membedakan
Calon hakim agung berdasarkan jalur apakah karir atau non karir.
Apakah Jalur NonKarier Merupakan Jalur Yang Konstitusional?
Terkait jalur perekrutan hakim nonkarir yang sedang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Binsar M Gultom dan Lilik Mulyadi selaku Pemohon dalam perkara nomor 53/PUU- XIV/2016, perlu dipahami bahwa jalur perekrutan hakim nonkarir bukanlah jalur yang inkonstitusional, hal ini dikarenakan jalur ini lahir sebagai wujud sistem yang merupakan delegasi kewenangan yang dimandatkan UUD NRI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang yakni dalam Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Kalimat “diatur dengan undang- undang” ini berarti konstitusi telah mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang baik itu DPR maupun Presiden untuk membuat suatu sistem pengaturan sehingga hal ini sejatinya merupakan Open Legal Policy dari pembentuk undang-undang.
Hal lainnya yang juga menguatkan alasan bahwa MK tidak pernah membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut
merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU-
VI/2008 terkait dengan perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang- Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU- III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.
Dengan demikian terkait dengan jalur hakim nonkarir dalam perekrutan hakim agung sebagimana dipermasalahkan oleh pemohon dalam judicial review ke Mahkamah Konstitusi, hal ini bukanlah jalur yang inkonstitusional karena hal ini merupakan Open Legal
Policy dari pembentuk undang-undang sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal ini, konstitusi dalam Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 telah mendelegasikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang dan secara atributif DPR dan Presiden selaku pembentuk undang-undang telah mendapatkan kewenangan yang dilekatkan kepadanya untuk mengatur lebih lanjut terkait dengan Mahkamah Agung dengan undang-undang. Sehingga, pilihan kebijakan membuka jalur nonkarir selain jalur karir sebagaimana umumnya dalam perekrutan hakim adalah konstitusional karena hal ini semata adalah tindaklanjut dan penjabaran dari Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.