KEBIJAKAN NEGARA NON PENAL DALAM MENGATASI MASALAH TERORISME
6 min readKEBIJAKAN NEGARA NON PENAL DALAM MENGATASI MASALAH TERORISME – Akhir-akhir ini marak terjadi aksi-aksi terorisme yang sudah menjurus pada penyerangan terhadap alat-alat negara, sebagai tindakan yang bertujuan untuk menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas atau menimbulkan korban jiwa massal yang mengakibatkan kehancuran terhadap obyek-obyek vital atau fasilitas- fasilitas umum dengan sarana kekerasan. Kenyataan tersebut menyebabkan hard approach yang telah dilakukan oleh pemerintah dengan menjatuhkan sanksi pidana yang berat menjadi sangat tidak efektif, sebab penanggulangan terorisme dengan hanya menyelesaikan gejala kausatik (causatic measures) telah terbukti gagal apabila upaya-upaya penal tidak diikuti dengan soft approach terhadap akar masalah terjadinya terorisme. Padahal soft approach baru dilaksanakan pemerintah sejak terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) .
Secara umum kebijakan soft approach diarahkan untuk melakukan pencegahan dengan beberapa langkah, Pertama melakukan pemecahan permasalahan yang penting dan mendesak dalam bidang pencegahan terorisme, Kedua perlindungan dari aksi terorisme dan terakhir adalah deradikalisasi terhadap kelompok inti dan militan terorisme 1.
Penggunaan kebijakan soft approach terutama dalam bidang pencegahan tidak dapat berjalan apabila tidak diketahui terlebih dahulu sebab-sebab terjadinya terorisme, oleh karena itu baik penulis mengutip pendapat salah satu pakar mengenai terjadinya terorisme.
Menurut Dr. Rozaq Asyhari2, terorisme lebih disebabkan oleh persoalan-persoalan yang kompleks dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memunculkan katalisator dan prakondisi terjadinya terorisme. Menurut Dr. Rozaq adanya modernisasi yang
2 Moh. Rozaq Asyhari, “Sesat Pikir Kontra
Terorisme”, Republika, Kol.3 Bidang 13, terbit 11 September 2012 memunculkan problema sosial, ekonomi di dalam masyarakat termasuk munculnya teknologi komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, kedua lokasi geografis yang mendukung terjadinya terorisme seperti kota-kota yang menyediakan fasilitas pendukung terorisme lebih baik ketimbang di desa, dan ketiga sistem politik dan sistem pemerintahan yang menimbulkan kesenjangan masyarakat terutama untuk memperoleh kesejahteraan.
Sementara itu empat faktor yang menjadi katalisator terjadinya terorisme adalah adanya diskriminasi keadilan terhadap kelompok tertentu, tersumbatnya saluran partisipasi politik, faktor sosial budaya dan adanya fasilitas dan persenjataan yang memadai.
menurut Dr. Rozaq apabila faktor- faktor yang menjadi prakondisi dan katalisator terjadinya terorisme itu dapat ditangani, maka tindakan penanggulangan tersebut merupakan suatu strategi kontra terorisme yang sangat efektif. Dapat disimpulkan secara umum soft approach merupakan pendekatan yang lebih meningkatkan kehadiran negara sebagai welfare state dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan dan meningkatkan akses keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat serta membuka sumbatan dalam saluran-saluran politik seluas-luasnya untuk menangkap aspirasi masyarakat.
Menurut Laporan Patern of Global Terorisme tahun 2000 yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat3, fakta bahwa trend terorisme yang sering berkembang adalah terorisme bermotif agama dan ideologilah yang banyak terjadi, namun motif-motif itu tidak lepas hanyalah sebuah identitas yang kuat bagi para terorisme untuk melancarkan aksinya. Tanpa adanya prakondisi dan katalisator motif apapun yang akan dibangkitkan sebagai media identitas, terorisme akan gagal untuk berkembang, begitupun sebaliknya tanpa adanya motif yang dapat digunakan sebagai identitas personal dan komunal agar memicu masyarakat bersedia berbuat apa saja demi motif itu maka gerakan yang muncul tidak akan tersusun secara terencana. 3 Zuly Qodir, “Deradikalisasi Islam dalam Perspektif Pendidikan Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, Edisi No. 2 Vol. 1, Desember 2012, hlm 86.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa teroris mengambil agama dan ideologi sebagai identitas komunal agama merupakan isu paling sensitif pada masyarakat Indonesia dan lebih berpengaruh daripada identitas kesukuan. Untuk memuluskan langkah tersebut maka agama diradikalkan, dimunculkan paham- paham dalam agama tersebut atau suatu aliran keras yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara keras, drastis dan sikap ekstrem suatu aliran politik. Menurut Said Aqil Siroj4 radikalisasi ini tumbuh akibat sikap ghuluw yaitu bentuk ekspresi manusia dalam merespon persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran manusia. Kemudian berkembang menjadi tatharuf yaitu sikap berlebihan karena dorogan emosional yang berimplikasi terhadap empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat sehingga berujung pada sikap irhab yaitu sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi. Sikap irhab inilah yang menjadi dasar untuk membenarkan cara-cara kekerasan atas nama agama Islam sekalipun. 4 Said Aqil Siroj, “Darurat Terorisme”, Kompas, Kol. 2-5 Bidang 9, terbit 9 Juni 2014, hlm 6. Dengan didasari sikap irhab proses radikalisasi agama Islam dimulai dengan interpretasi terhadap ajaran agama serta pemahamannya yang kurang tepat dan keras sehingga melahirkan sosok ekstremis yang memusuhi orang-orang yang seagama maupun beragama lain karena perbedaan paham. Teks-teks agama pun digunakan dan disalahtafsirkan secara atomistik, parsial- monolitik (monolithic-partial), sehingga menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama dijadikan barang komoditi yang dapat dimonopoli dan ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi5.
Media dakwah yang mengajak ke orisinilaitas jaman Nabi Muhammad SAW dijadikan kedok untuk mencap thaghut terhadap segala yang berbau Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penyesatan juga terus dicapkan kepada kelompok- kelompok Islam lainnya yang mendukung pemerintah. Intoleransi terhadap umat beragama lainnya terus digelorakan.
Kegiatan radikalisasi umat Islam lebih
5 Zuly Qodir, “Deradikalisasi … op. cit., hlm 87.
diperparah lagi dengan jaringan dan pola perekrutan yang terorganisir rapi, kecil dan tidak tercium oleh aparat. Hasil kaderisasi tersebut umumnya sangat eksklusif tidak mau merubah jalan hidup dan pemikiran yang dibawanya seolah-olah tidak ada alternatif kebenaran lain yang akan ditemuinya meskipun bisa jadi ia hidup bergaul dengan masyarakat sekitar.
Untuk melakukan deradikalisasi terhadap orang-orang seperti ini akan memerlukan langkah yang lebih sulit. Radikalisasi secara umum lebih mudah daripada deradikalisasi orang-orang yang telah termakan oleh paham yang salah. Radikalisasi adalah mengisi kosongnya pintu hati oleh kosong oleh pemahaman agama yang benar (sehingga dicari orang-orang yang memang sangat jauh ilmu agamanya) untuk diisi paham-paham radikal, sementara untuk membaliknya maka diperlukan pemahaman tersendiri tentang apa mindset di balik ajaran radikal tersebut. Untuk itu baiklah penulis mengutip beberapa pandangan para ahli terkait mindset radikal. 6 Ansyaad Mbaai, “Strategi Menangkal Propaganda ISIS Islamic State of Iraq and Syria”, dalam www.bnpt.go.id Akses19 Februari 2016.
Pola pikir (mindset) radikal menurut Wahid dan Ma’arif bertumpu pada ilusi pemecahan segala problem masalah dengan pendirian negara Islam, menganggap paling paham dan paling benar tentang segala doktrin agama sehingga dengan dasar tersebut pula mereka merasa punya otoritas memaksa dan menghakimi orang atau kelompok yang berbeda pemahaman atas nama Tuhan6.
Menurut Dr. Naji Ibrahim & Syaik Ali Halaby7, pola pikir radikalisme yang menjurus kepada terorisme dengan mengatasnamakan agama Islam cukup dapat dikenali dari dua ciri yang utama yaitu adanya paham takfiri dan pemahaman yang sempit dan sangat ekstrim terhadap definisi jihad sebagai jalan yang mudah menuju surga.
Memerangi terorisme bukan belum pernah dilakukan Pemerintah dengan metode soft approach, beberapa langkah sudah dilakukan pemerintah melalui BNPT pertama-tama adalah dengan memperbaiki konsep jihad yang digembar-gemborkan pelaku ke berbagai lapisan masyarakat demi
7 Ibid.
mencari pengikut-pengikut baru. Memutus mata rantai teror memang bukan hal yang mudah sebagaimana sulitnya melakukan deradikalisasi terhadap orang-orang yang sudah radikal. Terkadang pelaku yang sudah dilakukan pembinaan di lembaga pemasyarakatan berpura-pura berkelakuan baik, tampak sudah mau berideologi Pancasila dan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia namun di balik itu semua hanyalah kedok agar segera dilepas untuk dapat kembali kepada pengikutnya.
Strategi penanggulangan terorisme yang telah dilakukan oleh BNPT secara umum dapat digolongkan menjadi dua yaitu8
: 1) Program Kontra Radikalisasi yang ditujukan terhadap masyarakat yang belum terpapar paham radikal, dan 2) Program Deradikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok yang sudah terpapar paham radikal dengan melaksanakan kegiatan penangkalan, rehabilitasi, resosialisasi dan reedukasi.
Program Kontra Radikalisasi dan Deradikalisasi dilaksanakan kepada lapisan-
8
https://damailahindonesiaku.
9 Ibid.
masyarakat Indonesia yang rentan turut menjadi sasaran radikalisme.
Bentuk konkret strategi kontra radikalisasi dan deradikalisasi adalah untuk mencegah timbulnya prakondisi dan katalisator terjadinya terorisme. Dalam bidang ekonomi adalah melakukan pelatihan kewirausahaan terhadap mantan teroris yang telah menjalani hukuman pidana, dalam bidang pendidikan, BNPT melakukan koordinasi dengan Kementrian Pendidikan dan Kementrian Agama untuk melakukan seleksi terhadap materi-materi buku pelajaran dan terhadap yayasan yang menyelenggarakan tugas pendidikan agar menutup pintu masuk paham terorisme, untuk kontra propaganda terutama lewat media telematika, BNPT berkoordinasi dengan Kementerian Teknologi dan Informatika agar menutup dan menyensong website yang berisi ajakan, video atau artikel yang mengajarkan paham radikal.
Guna mengatasi motif terorisme yang berkedok agama Islam tidak ada jalan lain BNPT juga harus memperbaiki konsep jihad yang salah kaprah yang dijadikan dasar bagi para pelaku terorisme. Selama ini khusus mengenai persoalan agama, BNPT hanya menyerahkan kepada tokoh-tokoh agama atau kepada Kementrian Agama agar berkoordinasi melakukan penanggulangan di instansi-instansi pendidikan dan instansi keagamaan seperti pesantren. Hemat penulis sudah waktunya kini BNPT sebagai kepanjangan tangan Negara dalam mengatasi masalah terorisme di Indonesia juga melakukan pengkajian keagamaan yang utuh untuk dijadikan dasar dalam melawan ajaran sesat yang dibawa oleh teroris.