DISHARMONISASIKETENTUAN MENGENAI BADAN USAHA MILIK NEGARA, PERUSAHAAN NEGARA, DAN STATUS ANAK PERUSAHAAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
8 min readDISHARMONISASIKETENTUAN MENGENAI BADAN USAHA MILIK NEGARA, PERUSAHAAN NEGARA, DAN STATUS ANAK PERUSAHAAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN – Beberapa peraturan perundang- undangan termasuk undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang mengatur berbagai hal mengenai keuangan negara, perbendaharaan negara, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Apabila diteliti lebih lanjut terdapat disharmonisasi dan inkosistensi antara peraturan perundang-undangan tersebut mengenai beberapa hal, salah satunya adalah ketentuan mengenai istilah BUMN, Perusahaan Negara dan status anak perusahaan. Disharmonisasi dan inkonsistensi ini merupakan akar permasalahan dari begitu banyaknya BUMN, perusahaan negara, dan anak perusahaan yang didirikan dan pada praktiknya menimbulkan kebingungan serta menambah kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan keuangan negara dan BUMN.
Pengertian BUMN dan Perusahaan Negara
Pasal 1 angka 1 UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya bentuk BUMN terbagi menjadi 2 yaitu Pesero dan Perum. Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan (Pasal 1 angka 2 UU BUMN). Perusahaan negara didefinisikan dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 5 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
Definisi BUMN dalam UU BUMN menyatakan kata “seluruh atau sebagian besar” modalnya dimiliki negara sedangkan definisi perusahaan negara dalam UU Keuangan Negara menyatakan “seluruh atau sebagian” modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. UU BUMN menambahkan kata “sebagian besar” sedangkan UU Keuangan Negara hanya memberikan kata “sebagian” saja. UU BUMN menetapkan syarat untuk dapat dikatakan sebagai BUMN, maka negara harus mempunyai seluruh atau sebagian besar modalnya sedangkan UU Keuangan Negara yang hanya menentukan sebagian saja tanpa menjelaskan lebih lanjut sebagian kecil atau sebagian besar, sehingga sebagian kecil saja kepemilikan modal negara dalam perusahaan tersebut dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan negara. Disharmonisasi ini menimbulkan interpretasi bahwa BUMN adalah perusahaan negara tetapi tidak semua perusahaan negara adalah BUMN karena adanya perbedaan besaran kepemilikan modal tersebut.
Peraturan yang lebih rendah dari undang-undang yaitu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas (PP Tata Cara dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT) membuat pengertian yang belum pernah ada dan diatur dalam UU BUMN yaitu pengertian Perseroan Terbatas (PT) dalam Pasal 1 angka 44 yang menyatakan bahwa Perseroan Terbatas adalah perseroan terbatas yang tidak termasuk Persero. Jelas terlihat bahwa PT yang dimaksud dalam PP ini juga dapat berarti perusahaan negara yang bukan Persero. PP Tata Cara dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT menambah pelik masalah dalam pengertian BUMN, mana yang termasuk BUMN dan mana yang tidak termasuk BUMN tetapi baik BUMN maupunperusahaan yang tidak termasuk BUMN memperoleh penyertaan modal negara. Penyertaan modal negara terhadap BUMN dan PT menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan pertanggungjawaban keuangan negara, keduanya memperoleh modal dari negara baik untuk pendirian maupun untuk penambahan modal.
Penyertaan Modal Negara
UU BUMN mengatur bahwa setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UU BUMN). Hal ini berarti pendirian BUMN dilakukan berdasarkan PP, karena adanya penyertaan langsung yang dananya berasal dari APBN. Kata kunci dalam ketentuan ini ada pada kalimat “penyertaan langsung yang dananya berasal dari APBN”. Perusahaan negara dalam UU Keuangan Negara tidak mensyaratkan “penyertaan langsung dari APBN” sehingga pendirian perusahan negara tidak perlu melalui PP.Seharusnya setiap penyertaan modal negara baik secara langsung maupun tidak langsung dari kekayaan yang dipisahkan yang berasal dari APBN atau non APBN seperti kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya juga harus melalui PP. Hal ini sesuai dengan Pasal 41 ayat (3) UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) yang menyatakan bahwa penyertaan modal pemerintah pusat pada perusahaan negara/daerah/swasta ditetapkan dengan PP.
Apabila penyertaan modal negara tidak ditetapkan dengan PP maka melanggar Pasal 41 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara tersebut. Disharmonisasi terjadi mengenai ketentuan penetapan penyertaan modal negara melalui PP antara UU BUMN, UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara. UU Perbendaharaan Negara tidak mengatur penyertaan modal negara yang seperti apa, apakah secara langsung atau tidak langsung, berasal dari APBN atau non APBN, yang berarti bahwa setiap penyertaan modal negara baik langsung maupun tidak langsung yang berasal dari APBN maupun non APBN ditetapkan dengan PP.
Pasal 5 PP Tata Cara dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT, mengatur bahwa negara dapat melakukan penyertaan modal untuk pendirian BUMN atau PT; penyertaan modal negara pada PT yang didalamnya belum terdapat saham milik negara; atau penambahan penyertaan modal negara pada BUMN atau PT yang didalamnya telah terdapat saham milik negara. PT yang bukan merupakan Persero melalui PP ini dapat memperoleh penyertaan modal negara, sebagaimana telah diuraikan di atas bagaimana pertanggungjawaban keuangan negara terhadap penyertaan modal negara kepada PT yang bukan Persero. Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah Pusat dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara dan Pasal 55 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa laporan keuangan disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Ketentuan Pasal 55 UU Perbendaharaan Negara memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara. Perusahaan negara yang dimaksud dalam UU Keuangan Negara adalah seluruh perusahaan negara baik yang berbentuk Persero maupun bukan Persero yang modalnya diperoleh dari kekayaan negara yang dipisahkan. Seharusnya PP Tata Cara dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT tunduk pada ketentuan UU Keuangan Negara. Apabila terdapat kekayaan negara yang dipisahkan dalam PT tersebut, maka seharusnya PT tersebut
merupakan perusahaan negara yang wajib dilaporkan ikhtisar laporan keuangan negara kepada BPK oleh Menteri Keuangan.
Pasal 3 PP Tata Cara dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT mengatur penyertaan modal negara atau penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN dan PT yang dananya berasal dari APBN ditetapkan dengan PP, sedangkan penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN dan PT yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya ditetapkan dengan keputusan RUPS untuk Persero dan PT, dan keputusan Menteri untuk Perum, bukan dengan PP.
Pasal 22 PP Tata Cara dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT mengatur bahwa setiap pengurangan penyertaan modal negara pada BUMN dan PT ditetapkan dengan PP. Pertanyaan dari Pasal 3 dan Pasal 22 PP Tata Cara dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT adalah mengapa tidak setiap penyertaan modal negara, baik yang berasal dari APBN maupun yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya, ditetapkan dengan PP, sedangkan setiap pengurangan penyertaan modal negara pada BUMN dan PT ditetapkan dengan PP, sehingga terdapat inkonsistensi penggunaan penetapan PP dalam penyertaan modal negara.
Status Anak Perusahaan
Pengertian anak perusahaan belum diatur dalam UU BUMN. UU BUMN hanya menyebut secara singkat dan disisipkan pada Pasal 14 UU BUMN mengenai Kewenangan RUPS. Pasal 14 ayat (3) huruf g UU BUMN menyatakan bahwa pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai pembentukan anak perusahaan atau penyertaan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) tidak memberikan penegasan mengenai istilah anak perusahaan. Istilah anak perusahaan dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang sudah tidak berlaku lagi dan digantikan oleh UU PT, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “anak perusahaan” adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena:
lebih dari 50% (lima puluh) persen sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya;
lebih dari 50% (lima puluh) persen suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahannya; dan/atau
kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian Direksi dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaannya.
Pengertian anak perusahaan secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang yaitu Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor: Per-13/MBU/09/2014 Tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap Badan Usaha Milik Negara (Permen BUMN tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap BUMN).Bab I sub bab IV angka 19 Salinan Lampiran Permen BUMN tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap BUMN mengatur bahwa Anak Perusahaan BUMN adalah:
Anak Perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN yang bersangkutan;
Anak Perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN lain;
Perusahaan patungan dengan jumlah gabungan kepemilikan saham BUMN minimum 90%.
Bab I sub bab IV angka 20 Permen BUMN tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap BUMN mengatur bahwa Perusahaan Terafiliasi BUMN adalah perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh Anak Perusahaan BUMN, gabungan Anak Perusahaan BUMN, atau gabungan Anak Perusahaan BUMN dengan BUMN.
Berdasarkan pengertian anak perusahaan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa anak perusahaan bukan merupakan Persero tetapi anak perusahaan merupakan perusahaan negara sebagai akibat dari adanya penyertaan modal negara di dalam modal anak perusahaan yang diperoleh dari perusahaan induknya.
Saran
Permasalahan utama dan merupakan sumber permasalahan dari berbagai pengaturan terkait BUMN, perusahaan negara, dan anak perusahaan adalah pengertian atau definisi dari BUMN, perusahaan negara, dan anak perusahaan. Disharmonisasi pengertian atau definisi BUMN, perusahaan negara,
dan anak perusahaan yang diatur pada berbagai peraturan perundang-undangan menimbulkan ketidakpastian dan celah hukum dalam penyelenggaraannya. Harmonisasi antar peraturan perundang- undangan terjadi apabila pertama, tidak ada lagi pengertian bahwa BUMN adalah perusahaan negara tetapi tidak semua perusahaan negara adalah BUMN, seharusnya setiap BUMN adalah perusahaan negara dan setiap perusahaan negara adalah BUMN; kedua, setiap penyertaan modal negara baik langsung maupun tidak langsung yang berasal dari APBN maupun non APBN ditetapkan dengan PP.
Adapun saran yang diberikan penulis adalah sebagai berikut:
Rumusan definisi BUMN dalam norma sebaiknya “BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Tidak perlu menyebut kata “secara langsung” karena kata “secara langsung” ini menimbulkan intrepretasi acontrario bahwa apabila penyertaan secara tidak langsung maka tidak perlu ditetapkan dengan PP sehingga perusahaan negara yang didirikan melalui penyertaan secara tidak langsung adalah bukan BUMN yang berakibat pada status anak perusahaan adalah bukan BUMN.
Tidak perlu lagi menyebutkan nilai “paling sedikit 51%” melainkan konsisten dengan Pasal 1 angka 5 UU Keuangan Negara, “…. badan usaha yang yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat”. Penggunaan nilai “paling sedikit 51%” menyebabkan anak perusahaan bukan lagi Persero, tetapi apabila menggunakan “seluruh atau sebagian” maka anak perusahaan dapat ditarik ke dalam pengertian Persero sehingga anak perusahaan adalah Persero. Sehingga rumusan norma mengenai definisi “Perusahaan Persero adalah BUMN yang berbetuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya memperoleh keuntungan”. Apabila norma ditentukan sebagaimana tersebut, maka anak perusahaan akan menjadi Persero, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan anak perusahaan seperti asset, laporan keuangan, dan lain lain mendapat perlakuan sebagaimana layaknya Persero berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penyertaan modal negara yang berasal dari APBN maupun non APBN seharusnya ditetapkan dengan PP, sehingga bunyi normanya adalah sebagai berikut “Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas dan penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN atau perseroan terbatas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.
Perlu adanya norma ketentuan umum mengenai definisi anak perusahaan yang unsur-unsurnya dapat diambil dari pengertian anak perusahaan dalam Salinan Permen BUMN tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap BUMN.