PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA
8 min readPEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA – Pengakuan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai makhluk manusia sejatinya diakui sebagai hak yang inheren yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman ini menjadi entry point untuk memposisikan perempuan sebagai manusia yang bermartabat. Perbedaan biologis dengan laki-laki bukan alasan untuk serta merta menjadikannya sebagai manusia kelas kedua. Hal ini juga penting ditegaskan karena dalam situasi tertentu, perempuan merupakan bagian dari kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Peperangan dan konflik bersenjata misalnya telah membuktikan bahwa perempuan adalah korban terbesar pelanggaran hak asasi manusia seperti pemerkosaan, perdagangan budak, prostitusi, kerja paksa, dan sebagainya.
Secara politik, kaum perempuan dianggap sekundair dan tidak punya otonomi, karena suamilah sebagai kepala keluarga, yang menentukan urusan yang bersifat publik. Seorang perempuan yang telah kawin serta merta dianggap sebagai milik suaminya, atau jika belum kawin
milik ayah atau saudara laki-lakinya. Oleh karena itu kekerasan yang terjadi terhadap istri atau anak perempuan di rumah, seperti misalnya pemukulan, penyiksaan fisik/psikis, penelantaran, pemerkosaan dalam keluarga dan sebagainya tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM.
Beberapa negara memperlakukan dengan baik perempuan serta laki-laki mereka. Jurang sosial dan ekonomi di antara perempuan dan laki-laki di hampir seluruh bagian dunia masih sangat besar. Perempuan mayoritas orang miskin dunia dan jumlah perempuan yang hidup dalam kemiskinan pedesaan meningkat hingga 50% sejak tahun 1975. Perempuan juga merupakan mayoritas buta huruf dunia. Di seluruh dunia, perempuan memperoleh penghasilan 30% sampai 40% lebih kecil daripada penghasilan laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan yang sama. Di banyak negara perempuan tidak memiliki hak hukum yang sama dengan laki-laki dan karena itu diperlakukan sebagai negara kelas dua di kantor polisi dan di ruang pengadilan. Ketika di tahan atau dipenjarakan perempuan jauh lebih rentan terhadap perlakuan tidak senonoh daripada laki-laki khususnya bentuk penyalahgunaan yang didasarkan pada jenis kelamin seperti kekerasan seksual. Kondisi ini terus berlangsung karena bertahannya stereotipe dan praktik- praktik kepercayaan agama dalam balutan budaya yang merugikan perempuan. Hambatan utama mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan adalah melekatnya budaya patriarki dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Semua hak dapat dinalar melalui penalaran tentang HAM, namun ada HAM yang mempunyai kekhususan yaitu hak perempuan. Sekalipun perempuan adalah juga manusia, sehingga hak asasinya pun adalah HAM, namun karena ia perempuan maka ia mempunyai keihklasan dalam penalarannya. Sebelum adanya DUHAM PBB, seorang puteri Indonesia yang bernama Kartini pada tanggal 10 Juni 1901, menulis surat kepada rekannya di negeri Belanda yang menceritakan tentang harapan akan adanya emansipasi antara kaum perempuan dan lelaki, kebebasan berfikir mereka dan sebagainya. Disini Kartini telah membuka sebuah human right discourse (wacana
HAM), meskipun artikulasi mengenai hak- hak asasi masih amat sumir.
Perjuangan meningkatkan kedudukan dan menegakan hak perempuan terjadi pula pada tingkat dunia. Dimulai pada tahun-tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dunia I, pada tahun 1935 wakil pemerintah di Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mulai membahas kedudukan perempuan, dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil dan politik. Setelah berakhirnya PD II, berdiri PBB dengan ditandatanganinya Piagam PBB di San Fransisco pada tahun 1945. Piagam PBB merupakan instrumen internasional pertama yang menyebutkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam pendahuluan piagam ini, antara lain ditegaskan kembali kepercayaan bangsa-bangsa di dunia akan HAM, harkat dan martabat setiap manusia dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pada tahun 1948, DUHAM diadopsi oleh Majelis Umum (MU) PBB. Hal ini menunjukkan komitmen bangsa- bangsa di dunia untuk menjunjung tinggi dan melindungi hak kemanusiaan setiap orang tanpa perkecualian apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan lain. Setelah DUHAM, lahir berbagai instrumen HAM internasional mengenai aspek-aspek kusus tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, antara lain Konvensi tentang Hak Politik Perempuan Tahun 1953 yang diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1956.
Pada tahun 1975 diselenggarakan Konferensi Internsional Tahunan Perempuan dan Tribunal Internasional Tahunan Perempuan di Mexico City. Pemikiran para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum HAM sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk menghadapi persoalan diskriminasi terhadapa perempuan, yaiitu Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1976 dan mulai berlaku pada tahun 1979. Pada tanggal 18 Desember 1979, MU PBB mengadopsi Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW. Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada.
Konvensi meletakkan pula strategi/langkah-langkah khusus sementara yang perlu dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini menjadi salah satu kerangka kerja internasional untuk perwujudan hak-hak perempuan.
Pada tahun 1980 diadakan Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Forum LSM di Copenhagen kemudian konferensi yang sama pun dilanjutkan pada tahun 1985 di Nairobi dan kemudian pada tahun 1990. Aktivitas ini berdampak pada kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional di PBB. Keberadaan Deklarasi Wina dan Kerangka Aksi (Vienne Declaration and Platform Action) 1993 sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang HAM merupakan momentum baru perkembangan konsep HAM yang melihat HAM secara universal, integral, dan saling terkait satu dengan lainnya. Tak kalah pentingnya, Deklarasi ini menegaskan konsepsi tentang hak asasi perempuan sebagai HAM yang universal.
Sebagai kerangka aksi, Deklarasi Wina kemudian menekankan agar hak asasi perempuan harus menjadi bagian yang integral dalam seluruh aktivitas dari HAM yang dijalankan oleh PBB dan setiap instrumen HAM yang terkait dengan perempuan. Tidak hanya di tingkat PBB tapi juga diharapkan pemerintah, organisasi antar pemerintah dan LSM juga diharapkan mengintensifkan upaya untuk promosi dan perlindungan hak asasi perempuan dan anak perempuan. Pada Konferensi ke-4 tentang Perempuan di Beijing 1995, dihasilkan pula Pedoman Aksi Beijing (The Beijing Platform for Action) yang meletakkan 12 area kritis terkait dengan pemenuhan hak asasi perempuan sebagai HAM.
Konseptualisasi hak asasi perempuan sebagai HAM dan kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM dan kerangka kerja untuk menghapuskannya meletakkan setiap instrumen HAM dimaknai ulang. Beberapa mekanisme HAM PBB yang berbasis pada perjanjian kemudian melakukan adopsi dengan mengeluarkan Komentar Umum/Rekomendasi Umum untuk mengkaji ulang persamaan antara hak antara laki-laki dan perempuan. Komentar Umum/Rekomendasi Umum tersebut yaitu:
Komite HAM untuk Hak Sipil dan Politik mengeluarkan Komentar Umum Nomor 28 Tahun 2000 tentang Persamaan Hak antara Laki-Laki dan Perempuan (Pasal 3) (General Comment NO. 28: Equality
of rights between men and women (article 3) tahun 2000). Pada Komentar Umum tersebut komite menegaskan bahwa setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi hak sipil dan politik, tidak saja harus mengadopsi langkah-langkah perlindungan tapi juga langkah-langkah posiitf di seluruh area untuk mencapai pemberdayaan perempuan yang setara dan efektif. Langkah ini termasuk pula penjaminan bahwa praktek-praktek tradisi, sejarah, agama, dan budaya tidak digunakan untuk menjustifikasi pelanggaran hak perempuan. Dengan adanya Komentar Umum ini Komite ingin memastikan bahwa negara pihak dalam membuat laporan terkait hak-hak sipil dan politik harus menyediakan informasi tentang bagaimana pengalaman perempuan yang banyak dilanggar haknya dalam setiap hak yang dicantumkan dalam Konvensi.
Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan meletakkan pula kerangka langkah-langkah khusus sementara (temporary special measures) untuk penghapusan diskriminasi langsung dan tidak langsung (direct and indirect discrimination) yang terjadi terhadap perempuan yang sangat mempengaruhi penikmatan hak asasi perempuan dalam rekomendasi Umum No.25 (2004). Dirasa penting membedakan adanya situasi khas perempuan secara biologis dan situasi yang tidak menguntungkan akibat dari proses penindasan dan situasi yang tidak setara yang cukup lama hadir. Komite menekankan bahwa posisi perempuan yang tidak beruntung tersebut perlu disikapi dengan pendekatan persamaan hasil (equality of result) sebagai tujuan dari persamaan secara substantif (substantive equality) atau de facto tidak saja persamaan secara formal (formal equality).
Komite tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengeluarkan Komentar Umum No.16 (2005) tentang Persamaan Hak antara Laki-Laki dan Perempuan dalam menikmati seluruh hak ekonomi, sosial, dan budaya (Pasal 3) (The equal rights of men and women to the enjoyment of all economic, social, and cultural rights). Komite menegaskan bahwa perempuan seringkali diabaikan haknya untuk menikmati hak-hak asasi mereka karena status yang dinomorduakan oleh tradisi dan praktek budaya dan
berdampak pada posisi perempuan yang tidak beruntung. Komite mencatat ada banyak pengalaman perempuan yang tidak dapat menikmati haknya sebagaimana tercakup dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya seperti hak atas perumahan yang layak, hak atas makanan yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas standard kesehatan yang layak dan hak atas air. Dengan rekomendasi ini, Komite meletakkan kerangka tentang persamaan (equality), non diskriminasi (non discrimination) dan langkah- langkah sementara (temperature measure) yang menjadi acuan bagai para negara yang terikat dengan Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ternyata tidak mengakui adanya penindasan di sektor privat. Kedua Kovenan tersebut lebih melindungi persoalan kekerasan di sektor publik terutama kekerasan terhadap perempuan yang berhubungan dengan negara. Secara spesifik DUHAM juga tidak memberikan perhatian pada perempuan, walau dalam artikel dua DUHAM secara jelas tidak membolehkan adanya perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Kelemahannya adalah bahwa dokumen itu sangat umum sehingga penafsirannya didominasi oleh cara pandang yang sempit dan mengandung kekuatan tertentu. Sistem yang ada sekarang ini lebih mengacu pada sistem partiarki yang mengkonstruksikan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena cara pandang yang sempit serta adaya sistem partiarki di dalam masyarakat yang membedakan sektor publik dan sektor privat.
Lebih dari itu jika dilihat secara kritis, ternyata Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik secara sepihak hanya melindungi warga negara di sektor publik yang berhubungan dengan kekuasaan negara atau perlindungan individu dari tindak kekerasan oleh negara. Sementara itu dalam Pasal 7 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya hanya melindungi perempuan sebatas dalam memperoleh perlakuan upah yang sama di sektor publik tetapi tidak menyangkut persoalan kekerasan perempuan di sektor privat. Akibat kelemahan tersebut dan untuk mengupayakan perlindungan bagi perempuan maka setelah satu atau dua
tahun sesudah tahun DUHAM dibentuk pada 1948 dibentuk Commision on The Status of Women (CSW).
Sebagaimana rumusan yang ada dalam hukum internasional mengenai HAM, prinsip-prinsip HAM perempuan tidak secara eksplisit dirumuskan dalam dokumen instrumen internasional. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa yang disebut manusia dengan sendirinya mencakup makhluk perempuan dan laki- laki. Padahal dalam kenyataannya ketika prinsip-prinsip hak asasi manusia diterapkan dalam suatu konteks masyarakat yang partiarki dimana peran- peran berdasarkan jender masih begitu kuatnya bahkan terlembaga dalam struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada dalam masyarakat tersebut, justru ketidakadilan jenderlah yang dihasilkan. Sejauh ini penegasan bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia itu tidak teraktualisasikan dengan nyata baik dalam formulasi kebijakan maupun peraturan perundang- undangan yang ada maupun dalam perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu pelangaran hak asasi perempuan terus menerus terjadi di segala bidang kehidupan, di ranah privat maupun publik dan di semua tingkatan sosial, baik yang dilakukan oleh individu, masyarakat maupun negara. Salah satu sebabnya adalah karena kurangnya pengetahuan dalam menggunakan instrumen HAM itu sendiri khususnya yang berkaitan dengan dokumen internasional tentang hak-hak asasi perempuan.
Komitmen bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM semakin kuat. Hal ini ditandai dengan dimuatnya prinsip-prinsip HAM itu dalam sebuah bab tersendiri dalam amandemen pertama UUD Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR pada sidangnya bulan Agustus tahun 2000 yang lalu. Namun demikian sekali lagi prinsip- prinsip hak asasi perempuan masih tetap “invisible”, tidak eksplisit dalam amandemen tersebut meskipun beberapa pasal di dalamnya dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan lebih jauh untuk menegakkan hak asasi perempuan tersebut. Misalnya jika UUD Tahun 1945 tidak memuat prinsip anti
diskriminasi atas dasar apapun, amandemen UUD Tahun 1945 yang pertama ini telah memuatnya dan bahkan memuat pula prinsip “affirmative action”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28.
Terdapat tiga alasan pokok untuk memberi perhatian kepada HAM perempuan, yaitu: pertama, untuk memberi informasi kepada kaum perempuan bahwa mereka mempunyai hak asasi manusia dan berhak menikmatinya. Kaum perempuan tidak dapat melaksanakan hak-hak mereka secara berarti kecuali kalau mereka tahu bahwa mereka memilikinya. Kedua, untuk membuka dan melawan pelanggaran terhadap hak-hak yang didasarkan pada jenis kelamin atau jender, dan yang ketiga, untuk membentuk suatu praktek hak asasi manusia baru yang sepenuhnya memperhatikan hak asasi manusia kaum perempuan.