JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM
7 min readJAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM – Salah satu prinsip negara hukum yaitu adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law) sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam usaha memperkuat prinsip di atas maka salah satu substansi penting perubahan UUD Tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selanjutnya Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan badan-badan lain tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia.
Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang (Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan Tahun 2004). Peran kejaksaan sebagai aparatur negara menempati posisi sentral dalam sistem peradilan pidana yang melaksanakan upaya dan proses penegakan hukum dalam rangka mewujudkan fungsi hukum dan supremasi hukum dalam wadah NKRI yang berdasarkan hukum. Kontribusi kejaksaan dan profesi jaksa sebagai penyelenggara dan pengendali penuntutan atau selaku dominus litis dalam batas yuridiksi negara memiliki peran penting dalam proses penanganan perkara yang pada
hakikatnya bertujuan untuk membangun tata kehidupan yang demokratis, sadar, dan taat hukum, serta menjunjung hak- hak asasi manusia.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai- nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Berkenaan dengan pengesampingan perkara oleh Jaksa Agung, dalam ketentuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan Tahun 2004 diatur bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang merupakan pelaksanaan asas oportunitas. Asas oportunitas adalah asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut dan tidak menuntut dengan syarat atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. Asas oportunitas yang terkandung dalam UU Kejaksaan Tahun 2004 merupakan kewenangan untuk menuntut perkara tindak pidana yang diberikan kepada Jaksa Agung.
Selain tugas penuntutan, Jaksa Agung juga memiliki tugas mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Berdasarkan UU Kejaksaan Tahun 2004, Jaksa Agung karena kewenangannnya dapat untuk tidak melakukan penuntutan apabila dengan dilakukannya penuntutan akan
berpotensi menimbulkan kerugian bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi ini diberikan wewenang untuk tidak menuntut suatu perkara ke pengadilan atas dasar kepentingan umum.
Dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan Tahun 2004 bahwa “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat. Mengesampingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Adapun maksud dan tujuan dari undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung adalah untuk menghindari agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas. Dengan demikian tidak semua jaksa selaku penuntut umum (JPU) yang diberi kewenangan melaksanakan asas oportunitas tersebut, hanya Jaksa Agung yang berwenang.
Kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas adalah hal yang tidak menuntut/alasan penghentian penuntutan karena alasan kebijakan yakni mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Menurut Prof. J.M.Van Bemmelen terdapat 3 (tiga) alasan untuk tidak dapat melakukan penuntutan, yaitu: (i) Demi Kepentingan Negara (straatsbelang); (ii) Demi kepentingan masyarakat (maatschapelijk belang); (iii) Demi kepentingan pribadi (particular belang).
Alasan pertama dalam hal kepentingan negara tidak menghendaki suatu penuntutan jika terdapat kemungkinan bahwa aspek-aspek tertentu dari suatu perkara akan memperoleh tekanan yang tidak seimbang. Sehingga kecurigaan yang dapat timbul pada rakyat, dalam keadaan tersebut menyebabkan kerugian besar pada masyarakat. Kepentingan umum dalam suatu negara hukum mempunyai peranan penting terhadap hukum, yaitu peranan aktif dan pasif. Dalam peranan aktif, kepentingan umum menutut eksistensi dari hukum dan sebagai dasar menentukan isi hukum agar tujuan hukum dapat dicapai. Jadi peranan aktif kepentingan umum dalam hal ini
adalah mengenai cita-cita hukum. Bagi bangsa Indonesia cita-cita hukum diwujudkan pada pokok-pokok pikiran yang terkandung dalm pembukaan UUD Tahun 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kepentingan umum mempunyai peranan pasif apabila dijadikan objek pengaturan daripada peraturan hukum, pelaksanaan asas oportunitas yang berlandaskan kepentingan umum harus dilihat dari dua segi peranan kepentingan umum baik aktif maupun pasif. Kepentingan umum yang diatur dalam suatu peraturan hukum apabila dilanggar tidak dapat dijadikan sebagai landasan oportunitas untuk menyampingkan perkara pidana. Sebab justru kepentingan umum menuntut agar diadakan penuntutan dimuka hakim pidana untuk dijatuhkan pidana setimpal. Untuk itu, kepentingan umum yang dapat dipakai sebagai landasan untuk menyampingkan perkara pidana harus dikemukakan dalam aturan hukum lain yang mengatur tentang kepentingan umum yang harus dilindungi dan dipelihara.
Dalam hal demi kepentingan masyarakat yang berarti tidak dituntutnya perbuatan pidana karena secara sosial tidak dapat dipertanggung jawabkan. Termaksud dalam kategori ini tidak menuntut atas dasar pemikiran-pemikiran yang telah atau sedang berubah dalam masyarakat. Kepentingan umum yang menjadi dasar didalam asas oportunitas sesuai Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan Tahun 2004, kepentingan umum yang mengendalikan pada tugas alat negara untuk kelancaran mengurus rumah tangga negara, dan kepentingan masyarakat yang mengendalikan pada perlindungan serta ketentraman untuk bebas dari gangguan kejahatan bagi semua orang. Agar dapat ditentukan apakah perkara pidana tersebut telah memenuhi syarat dalam proses penyampingan perkara dalam penyelesaian perkara pidana, dengan adanya kebijakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam melaksanakan penyampingan perkara yang terkait dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dilakukan oleh Jaksa Agung selaku Jaksa Tertinggi di Kejaksaan Agung sehingga perkara
tersebut tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan dengan dasar bahwa perkara pidana tersebut telah dikesampingkan dan tidak dapat diproses.
Selanjutnya yang menjadi alasan ketiga demi kepentingan pribadi, termasuk didalam kategori-kategori apabila kepentingan pribadi menghendaki tidak dilakukannya penuntutan ialah dalam persoalan-persoalan hanya perkara kecil, dan atau yang jika yang melakukan tindak pidana telah membayar kerugian dan dalam keadaan ini masyarakat tidak mempunyai cukup kepentingan dengan penuntutan atau penghukuman. Penyampingan perkara yang dilakukan demi kepentingan pribadi dapat merugikan, bahwa ada kalanya sudah terang-berderang seseorang melakukan suatu kejahatan, akan tetapi keadaan yang nyata adalah sedemikian rupa, sehingga kalau seseorang itu dituntut dimuka hakim pidana, kepentingan negara akan sangat dirugikan. Guna mencegah penyalagunaan kebijakan (diskresi) penuntutan maka wewenang tersebut ditiadakan pada tahun 1961, sejak itu hanya Jaksa Agunglah yang boleh menyampingkan perkara karena alasan kebijakan (policy). Oleh karena itu, menurut Soenardi dalam bukunya yang berjudul “Administration of criminal Justice in Indonesia With Special Reference to Invertigation” menyatakan, jaksa yang ingin menggunakan wewenang tersebut harus memohon pada jaksa agung untuk mengesampingkan perkaranya, namun dalam prakteknya pada tahun 1961 Jaksa Agung Republik Indonesia sangat jarang menggunakan wewenang tersebut.
Berkenaan dengan pengesampingan perkara, KUHAP dalam Pasal 14 huruf h menyebutkan: “Menutup perkara demi kepentingan hukum”. Pasal 14 huruf h KUHAP menentukan bahwa salah satu wewenang penuntut umum adalah perbuatan untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP menyebutkan pula perbuatan lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum, yaitu berupa penghentian penuntutan, sedang dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP menentukan pula wewenang lain, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum adalah perkara yang dihentikan penuntutannya dikarenakan tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana (Pasal 40 ayat (2) huruf a KUHAP). Keberadaan asas oportunitas dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP yang yang mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas.
Untuk menjamin kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan asas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi yang bersangkutan. Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka. Dengan demikian kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi. Pengaturan asas oportunitas menjadi kepentingan didalam sistem peradilan pidana khususnya di Indonesia agar aturan mengenai asas oportunitas yang sesuai dengan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan Tahun 2004 tidak menjadi aturan yang disalahgunakan oleh instansi atau lembaga-lembaga yang ada di dalam sistem peradilan pidana tanpa terkecuali Kejaksaan yang menjadi tugas dan kewenangan dalam melaksanakan asas oportunitas.
Kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan
hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan. Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.