URGENSI PENGATURAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DARI BERSIFAT SUKARELA (VOLUNTARY) MENJADI WAJIB (MANDATORY)
4 min readURGENSI PENGATURAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DARI BERSIFAT SUKARELA (VOLUNTARY) MENJADI WAJIB (MANDATORY) – Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau Corporate Social Responsibiltiy (CSR) dengan suatu kewajiban hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Selama ini belum ada payung hukum yang khusus mengatur tentang pelaksanaan TJSP sehingga perlu penormaan TJSP dari voluntary menjadi TJSP yang mandatory. Berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan, dapat dibedakan prinsip tanggung jawab dalam makna responsibility dengan tanggung jawab dalam makna liability. Pada prinsipnya hanya terletak pada sumber pengaturannya. Jika tanggung jawab itu belum ada pengaturannya secara eksplisit dalam suatu norma hukum, maka termasuk dalam makna responsibility. Sebaliknya, jika tanggung jawab itu telah diatur dalam norma hukum, maka termasuk dalam makna liability.
Namun, bila tanggung jawab dalam makna responsibility dihubungkan dengan tuntutan dan kompleksitas perkembangan dunia usaha dewasa ini, maka tanggung jawab yang dimaksud adalah berkaitan dengan etika bisnis. Dalam perkembangan etika bisnis itu sendiri, akhirnya muncul dalam bentuk Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility. (Busyra Azheri : 2012).
Selama ini pelaksanaan TJSP di Indonesia masih bersifat voluntary (sukarela) sehingga program-program yang telah dilaksanakan perusahaan tidak berkelanjutan. Adapun kegiatan perusahaan yang melaksanakan TJSP diantaranya berbentuk philanthropy, dimana perusahaan memberikan sumbangan langsung dalam bentuk derma atau belas kasih untuk kalangan masyarakat tertentu. Sumbangan tersebut biasanya berbentuk pemberian uang secara tunai, bingkisan/ paket bantuan atau pelayan secara cuma- cuma.
Jika selama ini konsep tanggung jawab dilaksanakan secara sukarela atau voluntary , maka pernyataan tersebut adalah contradiction in terminis atau keduanya merupakan istilah yang bertentangan. Sebab hal yang benar adalah tanggung jawab itu wajib dilaksanakan atau bersifat mandatory.Perusahaan menjalankan tanggung jawab secara voluntary karena belum ada regulasi khusus yang diatur oleh Pemerintah. Sehingga atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan masuk dalam Prolegnas 2015-2019 .
Peraturan perundang-undangan terkait
Mengingat urgensinya dan mempertimbangkan dinamika sosial kemasyarakatan baik pada tingkat lokal maupun global, dengan dinormatifkannya prinsip-prinsip TJSP maka sifat tanggung jawabnya dari voluntary berubah menjadi mandatory. Adapun peraturan perundang- undangan yang terkait sebagai berikut :
Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menyebutkan: “BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN”. Klausul “dapat” sebagaimana dinormakan dalam ayat (1) dimaknai tidak wajib, dalam arti kata untuk keperluan pembinaan masih bersifat sukarela atau voluntary.
Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) menyebutkan: “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Dengan ditegaskannya tanggung jawab sosial perusahaan sebagai kewajiban penanam modal, maka Pasal 15 UUPM telah meletakkan landasan yuridis perubahan paradigma sifat TJSP dari voluntary menjadi mandatory. Apalagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UUPM.
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Perseroan Terbatas (UU PT) menyebutkan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 74 secara eksplisit menyatakan bahwa TJSP merupakan suatu kewajiban (mandatory) bagi perseroan. Dengan adanya pengaturan seperti ini, berarti telah terjadi suatu perubahan terhadap
prinsip TJSP dari bersifat sukarela (voluntary) berubah menjadi keharusan (mandatory) dalam makna legal responsibility.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas menyebutkan : ”Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang; Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan Perseroan”.
Pasal 2 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-07/MBU/05 Tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, menyebutkan: “(1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini; (2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)”.
Selanjutnya, urgensi pengaturan TJSP dari bersifat sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandatory) juga dapat di telaah dari pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-VII/2008 yang menyatakan bahwa penormaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menjadi kewajiban hukum merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang- Undang untuk mengatur dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi. Pengaturan TJSL
dengan kewajiban hukum (legal obligation) lebih mempunyai kepastian hukum jika dibandingkan dengan CSR yang bersifat sukarela (voluntary). Penormaan TJSL akan dapat menghindarkan penafsiran yang beragam dari perusahaan, hal demikian dimaksudkan agar memiliki daya atur, daya ikat, dan daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL, sebaliknya pengaturan TJSL dengan sukarela (voluntary) tidak cukup kuat untuk dapat memaksa perusahaan melaksanakan TJSL, sehingga dengan meningkatkan CSR dari sukarela (voluntary) menjadi TJSL yang wajib (mandatory) diharapkan adanya kontribusi dari perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.