INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI – Mahkamah Konstitusi (yang selanjunya disebut MK) sebagai lembaga peradilan tertinggi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang- undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar. Dalam putusannya MK dapat membatalkan peraturan yang bertentangan dengan UUD, namun MK tidak dapat dikatakan sebagai positive legislator (pembuat norma) karena MK merupakan negative legislator atau pembatal norma (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 540) yang kemudian hal ini mencerminkan keberadaan MK sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi.

Menurut Jimly Asshiddiqie dalam Soimin dan Mashuriyanto, MK yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstisusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing,

dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun

1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir, karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini MK dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945. (Soimin dan Mashuriyanto: 2013, Hal 51)

Pada dasarnya MK memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

MAHKAMAH KONSTITUSI DAN POLITIK

Keputusan yang dibuat oleh MK terhadap suatu kasus dapat dipengaruhi oleh 2 (dua) hal yaitu ideologi, kepentingan, dan pilihan politik masing- masing hakim konstitusi; dan pandangan dari pihak luar yaitu Akademisi, Sarjana Hukum dan Masyarakat. Alasan kenapa dalam setiap pembuatan putusan MK dipengaruhi oleh pilihan politik karena dalam proses rekruitmen hakim konstitusi tidak dapat dipungkiri akan terdapat campur tangan dari kepentingan politik (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 541). Salah satu kewenangan MK yaitu untuk memutuskan pendapat DPR mengenai pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil presiden. Dalam

memberikan putusan terhadap

pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau wakil presiden dapat dikatakan MK terseret dalam keputusan yang bersifat politis, karena putusan ini memiliki implikasi politik yang sangat kuat. Disamping itu putusan MK bersifat final dan memiliki kekuatan hukum tetap. Jadi dapat dikatakan bahwa Putusan MK terkait dengan impeachment Presiden akan sangat kuat keterlibatan politis dalam lembaga MK (Soimin dan Mashuriyanto: 2013, 65).

Proses pengajuan dan perekrutan hakim konstitusi didominasi oleh kepentingan politik dari pemegang kekuasaan. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa adanya intervensi politik dalam proses rekruitmen melalui jalur DPR dan Presiden (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay: 2006, 22). Di Indonesia proses pengajuan dan rekruitmen Hakim MK diajukan masing-masing 3 (tiga orang) oleh MA, 3 (tiga orang) oleh DPR, dan 3 (tiga orang) oleh Presiden sebagaimana teracntum dalam Pasal 24C ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 34 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang   Mahkamah   Konstitusi).  Proses

rekruitmen hakim konstitusi sangat erat dengan dengan politik sehingga dapat mempengaruhi independensi kedudukan MK sebagai lembaga peradilan yang terbebas dari berbagai cara dan bentuk konsesi atau pengaruh kepentingan politik (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay: 2006, 25).

Putusan MK yang menolak suatu peraturan perundang-undangan, tidak dapat dipisahkan dari politik karena putusan tersebut memiliki dampak politik bagi partai-partai politik yang ada di parlemen (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 541). Menurut Nuno Garoupa dan Tom Ginsburg, salah satu hal yang mendasari hakim konstitusi dalam membuat keputusan yaitu didasarkan pandangan hakim konstitusi mengenai prospek karir mereka kedepannya dan ketika masa jabatan mereka sebagai hakim sudah selesai. Di Indonesia masa jabatan Hakim Konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Adanya intervensi politik dalam MK terlihat dari adanya perbedaan pendapat atau pandangan dari hakim konstitusi

terhadap suatu permasalahan. Perbedaan

pandangan dari hakim konstitusi disebabkan karena masing-masing hakim ingin menunjukan kontribusinya dalam setiap pembuatan keputusan dan karena pilihan politik yang berbeda (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 542-546). Menurut Mahfud MD, pertentangan diantara para hakim konstitusi karena perbedaan pandangan sehingga putusan yang akan dihasilkan tidak bulat. Untuk menyiasati hal ini maka muncul dissenting opinion yang berusaha untuk menjembatani pertentangan yang terjadi terhadap suatu putusan. Menurut Nuno Garoupa dan Tom Ginsburg, perbedaan pendapat dari Hakim Konstitusi akan dapat menurunkan citra MK sebagai suatu lembaga peradilan tertinggi negara. Seharusnya suatu lembaga peradilan dapat menyelesaikan perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan sehingga menghasilkan keputusan yang utuh. Persetujuan atau kesepakatan diantara hakim dalam pengambilan suatu keputusan dapat mencegah intervensi politik dalam sistem peradilan. Citra MK dapat meningkat dimana putusan yang dikeluarkannya dapat memenuhi keadilan hukum di masyarakat dan terhindar dari campur tangan politik dan manipulasi politik (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg,

547).

HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG

Selain MK terdapat pula lembaga peradilan lain yaitu MA yang jauh dari intervensi/campur tangan politik dalam setiap pembuatan keputusan (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 542). Menurut Soimin dan Mashuriyanto pada dasarnya MK dan MA merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dengan tugas menyelenggarakan peradilan dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan (Soimin dan Mashuriyanto: 2013, 75).

Pasal 30 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengangkatan hakim agung berasal dari hakim karier dan nonkarier. Hakim Agung merupakan hakim karir yang berpengalaman paling sedikit

20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan berusia sekurang-kurangnya 45 Tahun. Sedangkan Hakim Agung yang berasal dari non karir yang salah satu persyaratannya yaitu berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun dan berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain

yang mempunyai keahlian di bidang

hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3   Tahun   2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Dari uraian ini maka diketahui bahwa dalam proses rekruitmen Hakim MA jauh dari intervensi politik sehingga putusan yang dibuatnya lebih mengedepankan pada suatu proses peradilan yang sesungguhnya.

Menurut Harjono dalam Soimin dan Mashuriyanto, antara MA dan MK, kedua-duanya merupakan lembaga tinggi negara yang terpisah tetapi memiliki hubungan yang bersifat horizontal fungsional. Yang artinya bahwa kedua lembaga ini tidak saling mensubordinsikan tetapi masing-masing mempunyai kompetensi secara mandiri. Akan tetapi meskipun keduanya memiliki kompetensi dan kewenangan yang berbeda, namun masing-masing sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan kehakiman atau judicial power. Oleh karena itu seharusnya tidak ada suatu perselisihan diantara kedua lembaga tersebut karena kewenangan dari MK dan MA berbeda.

Konflik antara MK dan MA juga terjadi di Indonesia dimana MK telah

mengeluarkan putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan pengajuan PK dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari 1 kali. Tidak berselang lama setelah MK mengeluarkan putusan ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang isinya bahwa permohonan Peninjauan Kembali (yang selanjutnya disebut PK) dalam Perkara Pidana hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Seharusnya MA mematuhi putusan MK tersebut karena sifat dari putusan MK yang lebih kuat dibandingkan dengan putusan dari lembaga peradilan lain.

HARAPAN DIMASA MENDATANG

MK tidak bisa dilepaskan dari campur tangan politik sehingga putusan yang dihasilkannya terkadang akan bersifat politis pula, hal ini terlihat dari proses rekruitmen Hakim MK yang diajukan oleh DPR, Presiden, dan MA. Selain proses rekruitmen alasan lain kenapa MK tidak bisa dilepaskan dari politik adalah karena MK melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dimana undang- undang merupakan produk politik yang dibuat oleh DPR. Dengan banyaknya

campur tangan dari politik maka dapat

mempertaruhkan citra dari MK sebagai lembaga peradilan tertinggi yang harus mandiri dan bebas dari campur tangan politik. Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa MA dan MK sebagai lembaga yudikatif harus bebas dari campur tangan badan eksekutif dan legislatif, hal ini dimaksudkan agar badan yudikatif dapat berfungsi secara wajar untuk menegakkan hukum dan keadilan serta menjamin hak asasi manusia. Diharapkan dengan dengan tidak adanya campur tangan dari kedua lembaga ini (eksekutif dan legislatif) dapat membuat keputusan yang diambil oleh badan yudikatif tidak memihak dan berat sebelah, serta berpedoman pada norma hukum dan keadilan (Miriam Budiardjo: 2015, 356). Selain itu untuk menghindari konflik antara MK dan MA mungkin dapat dilakukan harmonisasi diantara kedua lembaga yang saling terpisah ini karena kedua-duanya merupakan lembaga yang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakakukan karena adanya keterkaitan antara satu undang-undang dengan undang-undang lain serta dengan peraturan di bawah undang-undang (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay: 2006, 61-62). Jadi dapat  disimpulkan  bahwa  antara

kepentingan politik dan lembaga peradilan yang mandiri harus seimbang agar dapat menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan di masyarakat serta untuk menjaga citra dari MK sebagai lembaga peradilan tertinggi.

Categories:

Tinggalkan Balasan