RECHTVAKUM DALAM PENYELESAIAN PINJAMAN GAGAL BAYAR PADA PINJAMAN ONLINE DI INDONESIA

RECHTVAKUM DALAM PENYELESAIAN PINJAMAN GAGAL BAYAR PADA PINJAMAN ONLINE DI INDONESIA – Seiring berkembangnya zaman, fasilitas kredit tidak hanya diberikan oleh instansi bank saja baik bank swasta maupun bank sipil. Namun, sekarang sudah mulai bermunculan fasilitas kredit online atau sebutan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 yaitu layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau peer to peer lending yang sangat memudahkan penggunanya atau debitur mengajukan kredit. Sasaran fasilitas layanan pinjaman uang secara online ini cukup luas, baik masyarakat berkemampuan tinggi sampai masyarakat berkemampuan rendah. Layanan pinjaman uang online sangat berkembang akhir-akhir ini dikarenakan penggunaan e-commerce yang tidak terlepas dari eksistensi internet yang telah meluas di kalangan masyarakat.

Peer to Peer Lending merupakan teknologi yang mempertemukan secara digital antara penerima pinjaman dengan pemberi pinjaman dan memberikan harapan akan adanya return yang kompetitif walau dengan modal kecil bagi setiap pemberi pinjaman (Tampubolon: 2019, 191). Pinjaman Online atau peer to peer lending merupakan platform yang berlandaskan rasa percaya antara para pihak yang bertemu di dunia maya internet (Galloway: 2010, 18).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Staff OJK bagian Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech pada tanggal 20 Januari 2020 di Jakarta bahwa Otoritas Jasa Keuangan mencatat setidaknya ada 164 platform online yang bergerak di bisnis peer to peer lending yang terdiri dari 25 platform yang berstatus mendapat izin, 139 platform masih berstatus terdaftar dan 152 platform konvensional dan 12 platform syariah.

Hal yang disayangkan adalah POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang sudah ada tersebut belum mampu menjangkau kepentingan perlindungan hukum terhadap pemberi pinjaman atau platform online apabila terjadi gagal bayar atau kredit macet (Tampubolon: 2019, 196). Dari segi lain, diperlukan peraturan yang mengatur apabila penerima pinjaman gagal bayar atau tidak melakukan kewajibannya dengan tepat waktu sangatlah diperlukan melihat perkembangan penyelenggara bisnis pinjaman online sudah sangat berkembang di Indonesia.

Liputan 6 dalam websitenya menyatakan bahwa perusahaan dari aplikasi mengerahkan penagih utang atau Debt Collector dengan cara meneror melalui pesan pendek di telepon seluler maupun di media sosial (liputan6.com Rabu, 23 Oktober 2019). Dengan bunga yang diberikan kepada para penerima pinjaman yang melewati jangka waktu pembayaran cukup mencekik dengan tempo yang sangat pendek, kebanyakan debitur berutang ke pinjaman online lain dengan tujuan untuk gali lubang tutup lubang. Selain itu, BBC Indonesia mencatat kasus atas nama Agustin Cahyani (23 Tahun) meminjam uang di salah satu platform online pada akhir September 2018 lalu sebanyak Rp 1,8 juta yang seharusnya jatuh tempo dalam 13 hari dan belum bisa dibayarnya sehingga penyelesaiannya yang dilakukan oleh platform tersebut dengan memberi denda berupa bunga sehingga Agustin harus mengembalikan uang sejumlah Rp 1,9 juta (bbc.com Rabu, 23 Oktober 2019). Pihak platform juga menelepon dan meneror penerima pinjaman agar segera dilunaskan pinjamannya.

Penulis menemukan dimana belum ada lembaga alternatif penyelesaian sengketa dalam hal ini penyelesaian pinjaman gagal bayar pada pinjaman online. Selain itu, Penulis melihat adanya kekosongan hukum atau rechtvakum dimana belum adanya peraturan yang mengatur apabila peminjam atau penerima pinjaman tidak menyelesaikan kewajibannya kepada platform online serta belum ada perlindungan bagi pihak penyelenggara dan pemberi pinjaman. Dalam penyelenggaraan bisnis pinjaman online ini, terdapat pengaturan hukum tentang proses penyelesaian sengketa pada transaksi online di Indonesia antara lain:

Peraturan Hukum yang Mengatur Mekanisme Penyelesaian Sengketa Transaksi Online.

A. Undang-Undang

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Bab VIII perihal Penyelesaian Sengketa Pasal 38 ayat (1) menyatakan bahwa siapa saja dapat menggugat pihak penyelenggara yang menimbulkan kerugian. Pada Pasal 39 ayat (2) dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan sengketa dapat melalui arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang ini membagi 2 (dua) bagian untuk penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Gugatan ke pengadilan dapat dilakukan oleh konsumen, sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau instalasi yang mengalami kerugian.

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengawasi kegiatan bisnis peer to peer lending di Indonesia melakukan pelayanan pengaduan konsumen yang tercantum pada Pasal 29. Dalam Pasal ini dijelaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku. Pada Pasal 30, Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk melakukan pembelaan secara hukum untuk melindungi konsumennya yang mengalami kerugian.

B. Peraturan Pemerintah

1. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Pada Pasal 45 sampai Pasal 50 dijelaskan tentang persyaratan transaksi elektronik. Disebutkan juga bahwa penyelenggara transaksi elektronik menentukan pilihan hukum secara seimbang terhadap pelaksanaan transaksi elektronik dan harus dimuat dalam kontrak elektronik.

Peraturan ini juga menjelaskan peran pemeritah dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yaitu penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, fasilitasi infrastruktur, promosi dan edukasi, dan pengawasan.

Masyarakat berhak untuk mengajukan permohonan pemutusan akses informasi dan/atau dokumen elektronik apabila melanggar ketentuan yang ada, meresahkan dan mengganggu ketertiban umum, dan memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada.

C. Peraturan Menteri

1. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peraturan ini menugaskan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Menteri ini melingkupi kedudukan, tugas dan tanggung jawab PPNS, pemeriksaan kebenaran laporan atau pengaduan atau keterangan, penyidikan dan penindakan oleh PPNS dan koordinasi eksternal.

D. Peraturan Bank Indonesia

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Peraturan ini tidak mengatur tentang penyelesaian sengketa transaksi elektronik, namun peraturan ini pada Pasal 18 menyatakan bahwa kerja sama dengan penyelenggara teknologi finansial dalam hal jasa sistem pembayaran harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan penyelenggara teknologi finansial harus berstatus terdaftar.

E. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Konsumen dapat menyampaikan pengaduan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila terindikasi sengketa dengan pelaku usaha jasa keuangan. Konsumen juga bisa mendapat pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan ketentuan yang tertera dalam Pasal 41.

Apabila penyelesaian pengaduan tidak mencapai kata sepakat, maka konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar maupun melalui pengadilan. Yang dimaksud dengan di luar pengadilan yaitu melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan sengketa dalam sektor jasa keuangan yang diadukan oleh konsumen.

2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Pada peraturan ini tidak dijelaskan tentang penyelesaian apabila terjadi sengketa. Namun tercantum pada Pasal 21 yang menyatakan bahwa penyelenggara dan pengguna harus melakukan mitigasi risiko. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitigasi risiko adalah upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya dan dampak risiko. Peraturan ini juga menerapkan sanksi terhadap penyelenggara yang melakukan pelanggaran dan larangan dalam peraturan OJK ini antara lain peringatan tertulis, denda (untuk membayar sejumlah uang tertentu), pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin.

Sampai saat ini, belum adanya peraturan khusus yang mengatur tentang penyelesaian sengketa di bidang financial technology khususnya penyelesaian pinjaman gagal bayar di bidang peer to peer lending yang semakin hari semakin berkembang pesat bisnisnya di Indonesia. Sejauh ini Indonesia hanya memiliki peraturan yang mengatur secara umum tentang penyelesaian sengketa.

Categories:

Tinggalkan Balasan