OMNIBUS LAW DAN DEMOKRASI KITA
3 min readOMNIBUS LAW DAN DEMOKRASI KITA – Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah menyetujui bersama-sama Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja. Presiden selanjutnya tinggal mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang. Apabila Presiden tidak mengesahkan, RUU tersebut tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, artinya secara substansi RUU tentang Cipta Kerja telah resmi menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Cipta Kerja merupakan undang-undang yang dapat disebut sebagai Omnibus Law atau ada yang menyebut istilah undang-undang sapu jagad karena undang-undang ini bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain. Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak ada ketentuan secara spesifik tentang Omnibus Law. Artinya Omnibus Law hanya penamaan dari publik saja. Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disetujui, mengalami pro dan kontra dikalangan masyarakat luas. Banyak yang setuju dan banyak juga yang tidak setuju. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini kerap diramaikan dengan unjuk rasa, yang pada intinya menentang pemberlakuan Omnibus Law Cipta Kerja. Banyak kalangan yang menolak karena dianggap merugikan dan berpotensi melukai keadilan. Di beberapa tempat, unjuk rasa penolakan Omnibus Law Cipta kerja diwarnai dengan perusakan terhadap fasilitas-fasilitas umum. Bahkan ada kepala daerah yang kecewa dan emosi terhadap ulah oknum pendemo yang merusak fasilitas umum. Di DKI Jakarta, kerugian akibat unjuk rasa yang mengakibatkan kerusakan diperkirakan mencapai miliaran rupiah.
Kondisi tersebut sesungguhnya menarik dalam kacamata hukum dan demokrasi. Kacamata hukum, untuk melihat kondisi dari Omnibus Law Cipta Kerja dan langkah selanjutnya yang harus dilakukan. Kacamata demokrasi untuk melihat sejauh mana respon masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan negara dan hal itu menggambarkan kondisi demokrasi kita. Dilihat dari kacamata hukum, Omnibus Law Cipta Kerja bukan merupakan kebijakan Pemerintah, akan tetapi usul inisiatif Pemerintah sebagai salah satu Lembaga pengusul undang-undang. Persetujuan antara Pemerintah, DPR dan DPD telah memfinalisasi regulasi untuk diundangkan. Artinya, Omnibus Law Cipta Kerja secara hukum tinggal dilaksanakan. Pertanyaannya adalah, bagaimana nasib pihak yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Hukum di Indonesia menyediakan jalur-jalur atau pintu untuk meninjau kembali suatu regulasi. Judicial Review atau pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi merupakan cara konstitusional yang ideal untuk melakukan challenge terhadap materi Omnibus Law yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dan keadilan. Memang Judicial Review di Mahkamah Konstitusi belum tentu membatalkan suatu materi undang-undang yang dianggap tidak memberikan keadilan, karena belum tentu dampak yang dirasakan sebagian masyarakat yang dianggap tidak adil otomatis inkonstitusional.
Jalur konstitusional lain dalam meninjau kembali suatu regulasi yaitu dengan melakukan revisi. Revisi suatu regulasi sangat memungkinkan dan hal tesebut sering terjadi dalam banyak regulasi sehingga melahirkan perubahan. Revisi dapat diinisiasi oleh DPR, Pemerintah, maupun DPD. Alasan revisi tentu bisa bermacam-macam, salah satunya yaitu untuk menyesuaikan keadaan. Namun, kendala yang dihadapi, revisi terkadang memakan waktu yang relatif lama karena harus di bahas kembali oleh pembentuk undang-undang. Solusi lain, adalah dengan jurus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu. Perppu merupakan cara konstitusional untuk membentuk undang-undang dan biasanya hal tersebut juga dilakukan saat terjadi polemik setelah undang-undang disetujui. Misalnya terkait polemik Undang-Undang tentang Pilkada yang kemudian diterbikan Perppu. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemerintah bersedia menerbitkan Perppu untuk menegasikan regulasi yang telah dibentuk sebelumnya berdasarakan inisiasi atau prakarsanya Pemerintah sendiri? Itulah beberapa cara-cara konstitusional untuk menyikapi Omnibus Law Cipta Kerja terutama bagi yang menolak kehadiran regulasi tersebut.
Kemudian dilihat dari kacamata demokrasi, dapat menggambarkan potret demokrasi di Indonesia. Penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja dengan cara unjuk rasa merupakan hak bagi setiap warga negara dan dijamin oleh konstitusi. Artinya masyarakat boleh menyampaikan pendapat dan melakukan unjuk rasa. Kondisi yang tidak boleh adalah apabila penyampaian pendapat dan unjuk rasa diwarnai dengan merusak fasilitas umum. Tentu hal tersebut merupakan tindak kriminal dan dapat diproses secara pidana. Jimly Asshiddiqie (2005) menyatakan bahwa Indonesia menganut constitutional democracy atau demokrasi konstitusional. Artinya demokrasi yang dijalankan berdasarkan hukum tertinggi yaitu konstitusi. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Inilah konsepsi demokrasi konstitusional di Indonesia. Artinya, jika dioperasionalkan dalam kaitan unjuk rasa terhadap Omnibus Law Cipta Kerja, penyampaian pendapat dalam bentuk unjuk rasa merupakan bagian dari demokrasi, tetapi harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi. Rambu-rambu hukum harus ditaati. Perusakan terhadap fasilitas umum tentu merupakan hal yang tidak boleh dilakukan. Selain melanggar hukum, juga tidak ada substansi dan relevansi antara pengrusakan dengan penyampaian pendapat atau unjuk rasa. Justru, pengrusakan terhadap fasilitas umum yang dilakukan saat unjuk rasa mencederai demokrasi itu sendiri dan menodai potret demokrasi kita yang sedang maju.