TITIK KOORDINAT PANCASILA DALAM GRUNDNORM – Perdebatan dimulai dengan pendapat Immanuel Kant terhadap The Pure Theory Of Law dengan tanya jawab yang sangat menarik, dijelaskan bahwa “Kant asks: “How is it possible to interpret without a metaphysical hypothesis, the facts perceived by our senses, in the laws of nature formulated by natural science?” In the same way, the Pure Theory of Law asks: “How is it possible to interpret without recourse to meta-legal authorities, like God or nature, the subjective meaning of certain facts as a system of objectively valid legal norms? . . .” The epistemological answer of the Pure Theory of Law is: “By presupposing the basic norm that one ought to behave as the constitution prescribes. . . .” The function of this basic norm is to be found in the objective validity of a positive legal order.” Secara epistimologi penjelasan awal ini menjelaskan dasar pandangan Hans Kelsen bahwa “the basic norm presupposed by legal science authorizes the first constitution and does not refer to any nonlegal authority like God or nature”. Kemudian fungsi norma dasar ini adalah untuk menemukan objek validitas dari tatanan hukum positif.
Selanjutnya Joseph Raz menjelaskan tentang fungsi epistimologi di dalam norma dasar ia mengatakan bahwa “The concept of the basic norm provides legal theory with an objective and value-free concept of legal normativity. “The presupposition of the basic norm does not approve any value transcending positive law. “It does not perform an ethical political but only an epistemological function.” Pandangan tersebut menjelaskan bahwa tidak ada hubungan dari hukum positif dengan kehendak dari berbagai segi seperti psikologis, sosiologis, etis dan politik. Sehingga dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa grundnorm ada sebagai fungsi epistimologi.
Pemahaman mendalam yang ingin dicapai oleh norma sebuah, suatu aturan mengekpresikan fakta bahwa yang seharusnya (ought) bertindak dengan cara tertentu, tanpa mengimplikasikan bahwa sungguh-sungguh menginginkan orang tersebut bertindak demikian. Pertanyaannya adalah What specific problems was the basic norm supposed to answer? And how did he envision the task of legal science?, bahwa setiap “seharus” (Ought) berakar dalam suatu “kehendak“ (is). Theo Huijbers menjelaskan bahwa harus ada kehendak yang netral dan objektif (presupposing) untuk mendapatkan suatu dasar. Oleh karena itu bersifat objektif, maka kehendak itu tidak melekat pada adanya atau tidak adanya subjek. Dapat terjadi bahwa subjek yang memaklumkan norma sudah tiada, namun norma itu tetap berlaku, oleh karena berlakunya sifat objektif. Dengan demikian Kelsen sampai pada kesimpulan bahwa terdapat suatu norma dasar atau grundnorm yang berfungsi sebagai sumber keharusan dalam bidang hukum.
Norma dasar itu dapat dirumuskan dalam bentuk suatu kaidah hukum yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam suatu bidang hukum. Kaidah itu berbunyi sebagai berikut : orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang ditentukan (Man soll-sich so verthalten wie die Verfassung vorschreibt). Bagi Kelsen norma dasar itu berfungsi sebagai syarat transendental-logis (transcendental-logische Voraussetzung) berlakunya semua tatanan hukum (legal order). Sehingga sampai kepada keinginan Kelsen bahwa “Pure Theory of Law understood as a theory of legal cognition, of legal knowledge’ and that ‘the sole aim of the Pure Theory is cognition or knowledge of its object, precisely specified as the law itself”. Sampai kepada teori hukum murni, hukum dipahami sebagai legal kognisi, pengetahuan hukum, dan satu satunya tujuan dari teori hukum murni adalah kognisi atau objek dari pengetahuan, sehingga hukum berdiri sendiri.
Mencari titik koordinat Pancasila dalam sebuah norma dasar menelusuri original intent dari sejarah, Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang di atasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya. Dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasyim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.
Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini di samping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain. Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Menarik memang mencoba menempatkan titik koordinat Pancasila dalam kerangka pemikiran Hans Kelsen mengenai norma dasar, jika dikaitkan dengan paparkan oleh Hans Kelsen mengenai pendapatnya “The function of this basic norm is to be found in the objective validity of a positive legal order.” Ini yang menjadi pertanyaan yang harus dikaji lebih awal, bahwa apakah Pancasila mempunyai fungsi validitas dari tatanan hukum positif Indonesia ?, jika melihat sejarah Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunannya yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat. Sehingga ini yang menjadikan problematik dalam menentukan Pancasila sebagai fungsi validitas dalam tatanan hukum Indonesia seperti yang inginkan oleh Kelsen karena “the basic norm presupposed by legal science authorizes the first constitution” sedangkan Pancasila sendiri dalam pembentukan disusun bersama dalam penyusuan konstitusi pertama.
Dikaji lebih dalam seperti yang dijelaskan di atas bahwa sebelum itu Soekarno menjelaskan mengenai dasar negara yang disebut sebagai Philosofische grondslag ataupun
Sejalan dengan pendapat Notonegoro yang mengatakan bahwa Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif untuk mencapai ide dalam Pancasila, serta menguji hukum positif. Sehingga banyak pendapat mengatakan bahwa falsafah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia seperti Hakan Gusstafson mengatakan bahwa Norm is a norm…, terkait perdebatan mengenai “Ought” dan “Is”. Theo Huijbers menjelaskan bahwa harus ada kehendak yang netral dan objektif untuk mendapatkan suatu dasar, yang Kelsen katakan terdapat suatu norma dasar atau grundnorm yang berfungsi sebagai sumber keharusan dalam bidang hukum. Norma dasar itu dapat dirumuskan dalam bentuk suatu kaidah hukum yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam suatu bidang hukum. Kaidah itu berbunyi sebagai berikut : orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang ditentukan (Man soll-sich so verthalten wie die Verfassung vorschreibt), hingga muncul norma dasar atau grundnorm Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Penelusuran menempatkan titik koordinat Pancasila berada dalam dua titik. Titik pertama, Pancasila tidak dapat digolongkan sebagai bagian dari hukum positif karena sudah melampaui tata hukum positif (transcedental-logic), karena yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya berupa suatu norma yang mengikat, hanya dalam kondisi bahwa norma dasar dipresuposisikan sebagai sesuatu yang valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan trancendental logical pressuposition. Titik kedua, Pancasila secara konstitusional dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut mendudukkan apa yang terkandung di dalam Pancasila sebagai dasar negara (vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XI/2013 yang dikuatkan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XVI/2018). Dari kedua titik tersebut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi penentu validitas seluruh tata hukum positif sehingga Pancasila diyakini sumber dari segala sumber hukum.
Tinggalkan Balasan