MARAKNYA MISINFORMASI COVID-19 DI TWITTER BERESIKO PADA KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT: DIMANAKAH PERAN PEMERINTAH?

MARAKNYA MISINFORMASI COVID-19 DI TWITTER BERESIKO PADA KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT: DIMANAKAH PERAN PEMERINTAH? – Corona virus disease 2019 atau COVID-19 adalah penyakit saluran pernapasan yang mengakibatkan infeksi sindrom pernapasan akut dan bersumber dari novel coronavirus SARS-CoV2 (Tasnim et.al, 2020: 173). Sejak 2019, COVID-19 telah menjadi masalah global karena pandemi merupakan tantangan besar bagi sistem kesehatan negara-negara di dunia. Krisis ini terlihat dengan adanya pemberitaan COVID-19 secara intensif di berbagai media massa. Akan tetapi, dengan tidak adanya preseden terkait virus ini, telah memicu beragam misinformasi serta hoaks mengenai etiologi, obat penawar, dan cara pencegahan penyebaran virus COVID-19 (Tasnim et.al,2020:174). Informasi yang salah atau misinformasi dapat didefinisikan sebagai fakta palsu karena kurangnya bukti ilmiah (Kouzy et.al, 2020: 12). Sedangkan, hoaks menurut KBBI merupakan informasi bohong (Kemendikbud, 2021). Misinformasi dan hoaks tentang pandemi telah menyebar tanpa hambatan, karena tidak adanya kurasi dari pihak profesional. Kondisi ini tentu menjadi katalisator penyebaran hoaks dan misinformsi tentang COVID-19 di laman media sosial pribadi masyarakat.

Beragam berita seputar pandemi bersebaran di media sosial, seperti berita tentang kebijakan terbaru pemerintah untuk mengatasi pandemi, tips menjaga tubuh untuk selalu sehat, tempat penjualan alat-alat kesehatan hingga berita-berita yang mengandung misinformasi atau hoaks mengenai COVID-19. Salah satu contohnya, tentang propaganda kontra-vaksin. Propaganda ini menyatakan bahwa vaksin merupakan hal yang berbahaya bagi kesehatan dan bukan merupakan solusi dari virus COVID-19 (Adrianjara, 2021). Konten kontra-vaksin ini lumrah disajikan dengan video yang memperlihatkan tubuh yang terbaring lemas dampak dari vaksinasi COVID-19 (Adrianjara, 2021). Selain itu, beredar pula informasi terkait harga plasma konvalesen di lapangan dipermainkan oleh mafia, dengan harga berkisar Rp. 10 juta hingga Rp 13 juta (Adrianjara, 2021).

Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Fakultas Kesehatan Universitas Beirut di Amerika bahwa episentrum informasi COVID-19 yang salah tersebar di Twitter (Kouzy et.al, 2020: 14). Penelitian ini mencakup 673 tweet. Ditemukan bahwa 66% tweet diposting oleh individu atau kelompok informal, dan 19,2% milik akun Twitter yang telah terverifikasi (Kouzy et.al, 2020:14). Selanjutnya, terdapat 24,8% tweet termasuk dalam kategori misinformasi COVID-19, dan 17,4% diantaranya termasuk informasi yang sangat tidak sesuai dengan pandemi COVID-19 (Kouzy et.al, 2020: 15). Adapun, berikut bagan hasil olahan data oleh Harvard Kennedy School terkait misinformasi dan hoaks di Twitter (Bridgeman et.al, 2020: 32):

Maraknya propaganda terkait persepsi yang keliru tentang COVID-19 telah memperburuk ketakutan akan ketidakpastian virus ini di kalangan masyarakat. Kondisi ini tentu menyebabkan kesehatan mental yang buruk secara massal. Kesehatan mental secara definisi merupakan kesejahteraan batin dengan indikasi individu dapat menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan pada kehidupan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya (Zaoshi et.al, 2021: 67). Adapun, dengan banyaknya misinformasi COVID-19 dapat menimbulkan kebingungan pada keseharian masyarakat dan berdampak buruk bagi kesehatan mental masing-masing individu. Gangguan kesehatan mental ini dapat berupa kecemasan berlebihan, kepanikan, rasa kesusahan atau depresi, hingga pikiran untuk bunuh diri ataupun tindakan bunuh diri itu sendiri (Martens et.al, 2020: 74).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Center on Smart and Connected Health Technologies, UT Health San Antonio, Amerika, yang menganalisa postingan dari 17.865 akun pribadi media sosial masyarakat Tiongkok sebelum dan sesudah deklarasi COVID-19 di China pada 20 Januari 2020 (Zaoshi et.al, 2021: 69). Ditemukan bahwa postingan tentang emosi negatif seperti kecemasan, depresi dan kemarahan meningkat, dan postingan dengan emosi positif telah berkurang (Zaoshi et.al, 2021: 68). Selain itu, ditemukan pula tingkat bunuh diri semasa pandemi pun telah meningkat (Gunnell et.al, 2020: 468). Sehingga, dengan maraknya pemberitaan tentang COVID-19, terlebih dengan adanya misinformasi dan hoaks akan meningkatkan resiko kecemasan, depresi dan keinginan untuk bunuh diri di masyarakat.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pandemi COVID-19 telah disertai dengan apa yang disebut sebagai “infodemik”, yaitu penyebaran informasi keliru global yang menimbulkan masalah serius bagi kesehatan masyarakat (Mheidly et.al, 2020: 431). Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena dengan penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan memiliki kapasitas untuk mengubah pola transmisi virus dan memperburuk situasi pandemi (Kouzy et.al, 2020: 16). Informasi pada dasarnya bisa disebarkan di berbagai media, namun dalam lingkup media sosial, seperti Twitter, memiliki andil cukup besar dalam meningkatkan persepsi yang salah (Twitter, 2021). Adapun Twitter dalam menangani perkara ini telah membuat “COVID-19 Misleading Information Policy”, atau kebijakan untuk misinformasi COVID-19 yang tersebar di Twitter. Dalam praktiknya, kebijakan ini dilakukan berdasarkan hasil koordinasi Twitter dengan mitra profesional, seperti otoritas kesehatan masyarakat dan pemerintah. Hal ini bertujuan agar Twitter dalam meninjau konten, dapat mengacu langsung pada informasi dari sumber yang telah tervalidasi (Twitter, 2021).

Pada dasarnya kebijakan merupakan instrumen pemerintah, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, tetapi juga governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik (Suharto, 2008: 78). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik (Suharto, 2008: 79). Sehingga, dalam krisis global ini terdapat 193 negara telah mengambil langkah-langkah baik secara ekonomi ataupun sosial dan mengadopsi perubahan kebijakan dalam menanggapi pandemi (IMF, 2021). Indonesia sendiri, terdapat berbagai strategi yang dikeluarkan pemerintah untuk meminimalisir penyebaran virus. Salah satunya, dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) , telah diadakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk Jawa dan Bali. Selain itu, pemerintah secara berkala juga menginformasikan kepada masyarakat terkait jumlah kasus COVID-19 setiap harinya di Indonesia serta memberikan edukasi kepada masyarakat terkait COVID-19 (Mheidly et.al, 2020: 416). Akan tetapi pemerintah Indonesia belum secara konkret membuat kebijakan terkait penanganan infodemik ini. Padahal media sosial memiliki peran besar dalam mengatasi dan menjaga kesehatan mental masyarakat di masa pandemi.

Penyebaran informasi yang tervalidasi, yakni dengan identifikasi kasus yang transparan, berbagi data, dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat merupakan hal yang dibutuhkan di masa infodemik ini. Pemerintah juga dapat mengambil peran dalam memberi hambatan pada penyebaran misinformasi dan hoaks. Hambatan tersebut berupa regulasi khusus terkait kontrol penyebaran misinformasi dan hoaks COVID-19 di media sosial, menetapkan standar verifikasi berita terkait pandemi, dan sanksi yang konkret bagi para penyebar misinformasi dan hoaks terkait COVID-19. Hal ini dilakukan karena diperlukan keseragaman persepsi secara kolektif pada masyarakat, sehingga dapat menyelesaikan pandemi dan infodemik ini dengan efisien dan efektif.

Categories:

Tinggalkan Balasan